Sejak Juni 2012 ini, pembantaian dan pengusiran yang dialami muslim Rohingya, Arakan, Myanmar mencuat di berbagai media massa. Banyaknya informasi yang tersebar dengan beragam versi, tak ayal membuat publik bingung, informasi mana yang benar. Alasan itu membuat beberapa mahasiswa UGM yang menamakan diri sebagai kelompok UGM Peduli Rohingya membuat sebuah diskusi. âKita butuh ruang pencerdasan untuk membangun opini dan wacana publik, juga membangkitkan kepedulian mahasiswa terhadap kasus Rohingya,â kata Imroatul Mukhlishoh, sebagai panitia acara.
Diskusi dilangsungkan di Hall Gelanggang UGM pada Kamis (2/8) sore dengan mengambil tema âMenilik Nestapa Muslim Rohingyaâ. Tiga pembicara dari latar belakang berbeda dihadirkan untuk melihat kasus Rohingya dari berbagai perspektif. Drs. Dafri Agussalim, M. A., Ketua Jurusan Hubungan Internasional UGM, Ust. Irfan S. Awwas, Ketua Majelis Mujahidin Idonesia, dan Hafidz, aktivis HMI.
Dafri berpendapat kejadian di Rohingya adalah ironi bagi sebagian besar negara modern. Ini terjadi akibat masyarakat modern yang cenderung terlalu sering melakukan sekat-sekat dalam kehidupan bernegara. âHal ini memburuk ketika sekat-sekat terjadi pada pemerintah dengan rezim otoriter seperti Myanmar,â ungkapnya. Menurut Dafri, pemerintah di negara otoriter sangat sensitif dalam menghadapi dan menangani perbedaan, baik itu perbedaan strata sosial, ras dan etnis, hingga soal keyakinan. Terkadang pula, kejadian-kejadian kontroversial seperti yang terjadi dalam kasus Rohingya justru dimanfaatkan oleh pemerintah setempat untuk mendapat justifikasi dari negara lain.
Abainya media dan masyarakat Myanmar terhadap kasus ini juga memperburuk keadaan. Telah puluhan tahun sejak 1978, masyarakat Rohingya mengalami diskriminasi. Selama itu pula, mereka tidak mendapatkan hak atas tanah dan fasilitas publik. âIsu ini tenggelam karena pemberitaan cenderung menyudutkan orang-orang yang membela kaum Rohingya,â Dafri memprediksi. Di Indonesia sendiri, pemberitaan oleh media massa masih bisa dihitung jari.
Irfan pun sependapat dengan Dafri. Ia melihat banyak pihak justru mengecilkan peran umat Muslim yang menunjukkan solidaritasnya. âJangan karena pandangan sempit orang-orang soal kasus ini, kita jadi bungkam. Ada yang bilang kenapa kita membela Rohingya, sementara Ahmadiyah tidak. Ini berbeda kasusnya. Kita harus melepaskan diri dari segala ketakutan,â ujar Irfan. Menurut Irfan, kasus yang terjadi di Rohingya sudah tidak sebatas melibatkan permasalahan ras dan agama, namun juga sisi kemanusiaan masyarakat dunia. Tragedi kemanusiaan ini memang sudah berlangsung selama dua puluh empat tahun dan masyarakat dunia bungkam terhadap hal ini. Hanya pada tahun 2012 ini kasus ini mencuat ke permukaan setelah terjadi rangkaian pembantaian dan kekerasan komunal sepanjang awal tahun
Indonesia juga perlu melakukan sesuatu. Menurut Irfan, masyarakat Indonesia dapat membantu dalam banyak hal. Pertama-tama, bantuan dapat dilakukan dengan membantu pengungsian dan deportasi masyarakat Rohingya. Seperti diberitakan media, Presiden Thein Sein mengatakan kaum Rohingya dapat diungsikan keluar dari Myanmar apabila ada negara yang bersedia menerima mereka. Pada tahun 2012 ini, sebanyak 800.000 orang Rohingya menghuni wilayah Arakan, Myanmar, dan perlu mendapatkan perlindungan.
Selain itu, Irfan juga mengusulkan agar umat Muslim Indonesia dapat menggiring opini masyarakat. Diskriminasi kaum Rohingya sudah semestinya dituntaskan sebelum merenggut lebih banyak korban. Hal ini penting dilakukan, karena menurut Irfan, penguasa Timur Tengah sudah tidak bisa diharapkan untuk membantu dalam kasus Rohingya. âKatakan kalau Anda tidak setuju dengan pemerintah Myanmar. Belum ada yang menjadi wakil Indonesia untuk menyampaikan itu,â ujar Irfan.
Hafidz sendiri lebih menekankan pada pentingnya peran masyarakat sipil dalam menghadapi kasus seperti ini. Myanmar telah menyatakan diri sebagai negara demokrasi, namun tindakan yang diambil pemerintah sama sekali tidak menunjukkan unsur demokrasi. Pemerintah otoriter, sedangkan masyarakat sipilnya juga lemah. âDemokrasi tidak akan berjalan selama kekuatan masyarakat sipil masih lemah,â paparnya.
Esoknya (3/8), aksi damai âSave Rohingyaâ digelar elemen masyarakat yang menggabungkan diri dalam Gerakan Masyarakat Peduli Rohingya (GEMPUR). Tak kurang dari 200 massa berkumpul di Nol Kilometer Malioboro dengan beragam atribut yang menunjukkan sikap mereka terhadap pembantaian. Kalimat Save Rohingya! pun tak henti digaungkan.
Mereka membuat tiga tuntutan. Pertama, mengecam dan mengutuk keras aksi pembantaian, intimidasi dan pengusiran terhadap Muslim Rohingya. Kedua, mengajak seluruh masyarakat Indonesia memberikan dukungan moral dan material kepada warga Rohingya untuk mendapatkan hak-haknya. Ketiga, meminta pemerintah Indonesia bersikap tegas dan melakukan upaya konkret dalam menyelamatkan Muslim Rohingya dengan; mengusir duta besar Myanmar, mendesak ASEAN mengeluarkan Myanmar dari keanggotaan, meminta PBB membawa Presiden Myanmar sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan di pengadilan HAM, dan menerima serta melayani dengan baik pengungsi Muslim Rohingya yang datang ke Indonesia. Semua tuntutan itu akan terus dilakukan hingga etnis Muslim Rohingya mendapat pengakuan sebagai warga Negara Myanmar dan mendapatkan hak-haknya. [Dewi Kharisma Michellia, Fitria Nurhayati]