Seperti yang ramai diberitakan berbagai media, pada Senin (25/10), UGM menerima rekomendasi dari Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Rekomendasi ini terkait Peraturan Rektor Nomor 408/P/SK/HT/2010 tentang Pemberlakuan Kartu Identitas Kendaraan (KIK) di Kawasan Kampus UGM. Melalui laporan tertulisnya, ORI menyatakan bahwa peraturan KIKdi UGM terindikasi maladministrasi. Sebab berdasarkan pasal 23 A UUD 1945, pungutan disinsentif seperti KIK harus diatur melalui undang-undang. Dalam pasal ini jelas tertulis, âpajak dan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.â Atas dasar itu ORI mengharuskan UGM untuk menghapus peraturan tersebut. UGM memiliki waktu selambat-lambatnya enam puluh hari untuk melaksanakan rekomendasi tersebut. Jangka waktu ini terhitung sejak UGM menerima rekomendasi ORI.
Dalam rekomendasinya, ORI memperbolehkan UGM mengatur keadaan lalu lintas di wilayah kampusnya melalui kebijakan portal dan penjagaan satpam. Kebijakan yang disoroti hanyalah menyangkut disinsentif berbayar. Pasalnya, selama ini uang disinsentif KIK masuk ke rekening Rektor UGM di Bank Negara Indonesia (BNI) cabang UGM. Selain menyalahi aturan, menurut ORI, hal ini juga rawan terhadap penyelewengan. Disinsentif berbayar sendiri telah diberlakukan UGM sejak tahun Januari 2011.  Kebijakan ini mendapat kecaman dari mahasiswa dan masyarakat karena dianggap sebagai bentuk eksklusifitas dan komersialisasikampus. Namun, nyatanya hingga kini, kebijakan tersebut terbukti masih berjalan di UGM.
Asisten penerimaan pengaduan ORI DIY-Jateng, Nurcholish, menjelaskan bahwa sebenarnya rekomendasi ini merupakan jalan terakhir. Jika dengan mediasi saja sudah dapat diselesaikan, ORI tidak akan membuat rekomendasi. âTahap ini hanya akan ditempuh apabila terjadi kebuntuan dalam menyelesaikan permasalahan,â ungkap Nur lebih lanjut. Ia menambahkan, selama ini ORI sudah melakukan tahap-tahap pendahuluan yang ternyata tidak dihiraukan UGM. âTentu saja sejak awal kebijakan KIK keluar, kami sudah memantau. Sebab, memang ada pengaduan,â kisahnya. Pengaduan tersebut disampaikan oleh Kelompok Kerja (Pokja) Akuntabilitas Perguruan Tinggi (PATI). âNamun dari prosesnya, ternyata menuntut dikeluarkannya rekomendasi,â beber Nur.
Rekomendasi yang diambil ORI berawal dari laporan dari M. Irsyad Thamrin S.H., MH dan rekan-rekannya yang tergabung dalam PATI mengenai kebijakan KIK. Menindaklanjuti pengaduan tersebut, pada tanggal 18 Mei 2011 ORI DIY-Jateng mengundang pihak UGM untuk meminta klarifikasi mengenai mekanisme pemberlakuan KIK. Dalam pertemuan yang dihadiri Direktur Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset UGM, Dr. Singgih Hawibowo dan Kepala Bidang Hukum dan Tatalaksana UGM, Dr. Enny Nurbaniningsih, S.H., M.Hum. tersebut, diperoleh penjelasan. Diantaranya, pelurusan pemahaman bahwa disinsentif merupakan bentuk komersialisasi. Pihak UGM menjelaskan disinsentif bukanlah retribusi/ pungutan. Sebab, esensi retribusi/ pungutan mengharapkan pengguna kendaraan bermotor meningkat. Sedangkan melalui disinsentif, menurut mereka, UGM justru ingin menerapkan hal sebaliknya. Pada prinsipnya, sivitas akademika dan tamu UGM tetap bisa memasuki lingkungan kampus dengan gratis melalui mekanisme KIK dan voucher. Pengecualian hanya berlaku bagi angkatan 2011 kebawah. Selanjutnya mengenai transparansi, Singgih menyatakan sudah sesuai mekanisme aturan di Diknas. Setiap tahun pun, UGM selalu diaudit oleh akuntan publik dan beberapa tahun ini mendapat hasil audit âwajar tanpa pengecualian.â
ORI kembali meminta klarifikasi dari pihak UGM pada tanggal 31 Januari 2012, dengan mendatangi langsung Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset (DPPA) UGM. Ditemui langsung oleh Direktur DPPA UGM, Dr. Singgih Hawibowo, ORI mendapat penjelasan terkait arus keluar masuk dana hasil dari KIK. Dari penjelasan tersebut, ada empat hal inti yang menjadi permasalahan. Pertama, disinsentif berbayar KIK merupakan bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagaimana telah diketahui dan mendapat persetujuan oleh Kementerian Keuangan. Â Kedua, dana yang masuk seluruhnya disetorkan ke rekening universitas dan digunakan untuk kegiatan kemahasiswaan atau operasional. Laporan pertanggungjawaban dana yang umumnya bisa mencapai Rp 800.000,- (delapan ratus ribu rupiah) dalam sehari ini, dilaporkan langsung ke rektorat. Ketiga, pelaksanaan program KIK sampai saat ini murni dikelola oleh pihak UGM. Tidak ada kerjasama dengan pihak manapun. Keempat, di tahun 2013 status UGM akan berubah dari Badan Hukum Milik Negara (BHMN) menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Dengan perubahan status tersebut, akan ada perubahan dalam mekanisme penentuan tarif melalui persetujuan Menteri Keuangan.
Setelah mempertimbangkan pengaduan PATI dan penjelasan dari pihak UGM, serta berbagai keputusan dan peraturan perundang-undangan yang relevan, ORI menyatakan pendapat. Berdasarkan aksesibilitas publik, kebijakan UGM melakukan pembatasan kendaraan bermotor dirasa kurang tepat. Kebijakan yang didasarkan keinginan mengurangi pencemaran udara dan suara di lingkungan kampus ini dianggap hanya menyelesaikan sebagian kecil masalah. Menurut ORI, akan lebih strategis jika dilakukan kontrol terhadap arus keluar masuk manusia di lingkungan kampus.
ORI juga menyoroti aspek legalitas kewenangan memungut disinsentif. Apabila pemasukan dari disinsentif KIK dianggap sebagai PNBP, pemasukan tersebut seharusnya disetor ke kas negara. Hal ini sesuai dengan PP 66 tahun 2010. Akan tetapi ORI tidak menemukan dokumen yang dapat meyakinkan bahwa UGM berhak memungut disinsentif sebagai PNBP. Dengan demikian, pemungutan disinsentif ini melalui mekanisme yang tidak sebagaimana mestinya. Kesimpulannya, ORI mengapresiasi upaya UGM untuk mewujudkan kampus yang educopolis. Namun, pemungutan disinsentif lewat instrumen peraturan rektor merupakan bentuk maladministrasi karena tidak sesuai dengan ketentuan umum tentang PNBP. Mengacu pada pendapat tersebut, sebagai langkah terakhir ORI memberikan empat  poin rekomendasi kepada Rektor UGM, antara lain:
- Menata ulang sistem dan mekanisme pengendalian aksesibilitas publik untuk masuk-keluar lingkungan Universitas Gadjah Mada dengan basis pendekatan kendali pada orang, bukan kendaraan bermotor.
- Menyiapkan sarana prasarana pendukung dan penyangga secara simultan bertahap seperti sepeda, kendaraan bermotor non emisi secara gratis areal parkir di luar lokasi kampus, sarana kebersihan, dsb.
- Menghentikan pungutan disinsentif dan menggantinya dengan mekanisme identitas tunggal untuk civitas akademika, dan kartu identitas khusus untuk masyarakat umum yang akan masuk ke lingkungan Universitas Gadjah Mada.
- Menyetorkan ke dalam Rekening Kas Negara Bendahara Umum Negara c.q Menteri Keuangan RI seluruh dana disinsentif yang selama ini dikumpulkan melalui pemberlakuan KIK.
Kalangan mahasiswa pada umumnya menyambut positif rekomendasi ORI. Lalu Rahadian, mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan angkatan 2009 berpendapat, kejadian ini menjadi harapan baru bagi mahasiswa. âSudah sejak 2010 kami memperdebatkan KIK, akhirnya ada angin segar juga. Dengan ini KIK memang telah terbukti salah,â ujarnya lugas. Ia menyatakan mahasiswa tetap harus mengawasi kebijakan baru UGM untuk menggantikan KIK. âKalaupun nanti KIK dihilangkan dan mahasiswa bisa keluar masuk gratis tapi akses masyarakat umum tetap dibatasi, kan sama saja,â tandas mahasiswa yang juga aktivis Gerakan Tolak Komersialisasi Kampus (GERTAK) ini.
Sikap senada ditunjukkan Dewan Mahasiswa Fakultas Hukum âDema Justisia.â Emir Rizan selaku kepala divisi aksi departemen propaganda mengungkapkan, pihaknya sedang mengkaji lebih dalam isu ini untuk dapat memutuskan tindakan. âKami sedang mengkaji surat rekomendasi ORI, bahkan bersama dosen. Nanti kalau bisa kita juga akan aksi.â
Ketika ingin dikonfirmasi, Kabid Humas UGM tidak bisa memberi keterangan karena sedang berada di Makasar. Sedangkan salah seorang staf Humas UGM yang berhasil ditemui menolak berkomentar. âSaya tidak berwenang memberi keterangan terkait hal itu. Silakan temui langsung Ibu Wiwit (Wijayanti, Kabid Humas UGM, red),â ujarnya mengelak.
Sementara itu, berdasarkan keterangan yang dilansir di situs resmi ORI, Wijayanti menyatakan bahwa pihak UGM telah menerima rekomendasi ombudsman tersebut. Ia menyatakan UGM masih akan mengevaluasi dan menggodok mengenai kebijakan KIK. âKami sadar bahwa pemberlakuan disinsentif KIK bukan jalan yang ideal. Namun, kami masih belum menemukan instrumen pengganti selain disinsentif supaya kebijakan KIK tetap berjalan,â tuturnya. Proses evaluasi kebijakan inilah yang disinyalir membuat UGM belum memberikan jawaban resmi ke ORI hingga saat ini.
Apabila nantinya rekomendasi ini tidak diindahkan oleh UGM maka akan berakibat sanksi yang didasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 53 tahun 2010 tentang Pegawai Negeri Sipil (PNS).  Menurut keterangan Nurcholish, jika rekomendasi ini diabaikan maka yang kena adalah penanggung jawabnya (rektor). âBerdasarkan PP tersebut, ya paling banterbisa jadi dia (rektor) kena mutasi,â komentar asisten pelayanan pengaduan ORI DIY-Jateng ini.[Hamzah Zhafiri Dicky, M. Ageng Yudhapratama R.]