Pada 1948 ketika perang dingin berkecamuk di dunia, Hatta merumuskan sebuah strategi politik luar negeri. Lewat sebuah metafor “mendayung di antara dua karang” Hatta menginisiasi kebijakan luar negeri bebas aktif. Bebas berarti tidak memihak kekuatan manapun, sedang aktif menunjukkan tanggapnya Indonesia atas isu internasional. Untuk memperingati konsep kunci kebijakan luar negeri ini, UGM menyelenggarakan Seminar bertajuk Refleksi 65 tahun Politik Luar Negeri Bebas Aktif pada Senin (2/9) di Balai Senat Gedung Rektorat UGM. Acara ini diselenggarakan atas kerjasama Institute of International Studies dan Pusat Studi Pancasila UGM.
Promotor acara, Siti Muthi’ah Setyawati mengatakan seminar ini bertujuan merefleksi dan mengevaluasi implementasi politik luar negeri Republik Indonesia (PLNRI) bebas aktif. Menurutnya, transformasi tatanan global menuntut adanya modifikasi ulang kebijakan luar negeri Indonesia. “Tiap Presiden harus punya strategi tersendiri untuk menjawab peluang atau ancaman negaranya saat itu,” terang Muthi’ah. Transformasi yang dimaksud Muthi’ah adalah pergeseran isu tradisional seperti politik keamanan menjadi isu kontemporer seperti ekonomi.”Kekuatan dunia bukan lagi terbagi berdasar ideologi tetapi kekuatan ekonomi,” jelas Muthi’ah.
Sejalan dengan Muthi’ah, Dewi Fortuna Anwar, Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Politik mengatakan Indonesia sekarang bukan hanya mengayuh antara dua karang tetapi banyak karang. “Bukan hanya pertentangan dua ideologi yang menjadi ancaman, melainkan juga pertentangan ekonomi, misal kekuatan Amerika-China,” jelas Deputi Politik Sekretaris Wakil Presiden ini.
Mengkritik prinsip bebas aktif ini, Daniel Novotny, Dosen Universitas Metropolitan Praha berkata, “Kebijakan Indonesia paradoks dengan implementasinya.” Menurutnya, di tengah kapasitas sumber daya alam dan wilayahnya yang besar Indonesia belum menjalankan peran berarti sebagai negara bebas dan aktif. Di lain pihak, Rizky M. Umar, salah satu pembicara yang makalahnya terpilih sebagai bahan seminar, menuding aspek pembangunan sebagai salah satu hambatan politik bebas aktif Indonesia. Siti Muthi’ah menyebutnya sebagai “dilemma between aid and independence”. Di satu sisi Indonesia berusaha mewujudkan pembangunan ekonomi, tapi di sisi lain pembangunan ini membutuhkan bantuan asing yang meruntuhkan independensi negara.
Salah seorang peserta dari Belgia, Rouldge, mempertanyakan isu ini dengan mengambil contoh kebijakan impor kedelai Indonesia yang terkesan pro barat. Menurutnya, Indonesia justru menguntungkan Amerika dan menelantarkan rakyatnya sendiri. Menanggapi hal itu, Dewi Fortuna, yang juga menjadi think tank kebijakan luar negeri Indonesia angkat bicara. Menurut Dewi, menciptakan koherensi antara Kementrian Luar Negeri dan Kementrian Ekonomi adalah hal sulit. “Isu ini masih menjadi PR bersama pemerintah Republik Indonesia,” tukas Dewi.
Akan tetapi, Daniel melihat hal ini dengan cara berbeda. Menurutnya koherensi antara isu ekonomi dan politik luar negeri akan tercapai jika adanya skala prioritas. Indonesia harus memilih isu mana yang harus didahulukan; apakah masalah ekonomi atau tuntutan untuk bebas dan aktif. Isu-isu ini layaknya karang yang berbeda ukuran. “Indonesia harus cerdas memilih mana karang yang harus dihindari dan mana yang harus ditabrak,” pungkas Daniel. [Ganesh Cintika]