
istimewa
Dalam dua tahun belakangan, keberadaan Suriah memiliki peran besar dalam konstelasi politik dunia. Kondisinya yang tengah didera konflik pemerintahdengan sipil memancing atensi tinggi dari negara-negara maju. Pergolakan internal yang kian memanas antarakeduabelahpihak membuat Suriah menjadi arena penting bagi banyak pihak untuk berebut pengaruh politik. Wacana inilah yang tertuang dalam diskusi bertajuk Masa Depan Konflik Suriah di Tengah Ancaman Penggunaan Senjata Kimia, Rabu (12/12). Agenda mingguan Middle East Studies Indonesia (MESI) UGM ini mengambil tempat di Meeting Room World Bank Perpustakaan Pusat UGM. Hadir dalam diskusi ini Michael Yuli Arianto, Hestutomo Restu Kuncoro, dan Kishino Bawono dari MESI selaku pemakalah.
Mengawali diskusi, Michael memaparkan tentang perkembangan konflik Suriah dalam dua tahun terakhir. Ketegangan bermula dari demonstrasi menuntut turunnya Basshar Al Assad selaku presiden Suriah pada pertengahan Maret 2011. Sebulan berselang, rezim Assad merespon dengan menerjunkan tentara untuk menghalau para demonstran. “Puncaknya 19 Juli 2012, muncul banyak serangan bom dan penculikan dari kedua belah pihak,” papar Michael. “Kemudian pada 3 Oktober 2012, konflik meluas dengan keterlibatan Turki akibat masalah perbatasan,” tambah mahasiswa Hubungan Internasional UGM ini.
Meluasnya konflik ini ke tataran internasional, menurut Michael, menyebabkan banyak bermunculannya kelompok-kelompok kepentingan (belligerent).Selain pemerintah dan oposisi, muncul Iran, Liga Arab, Turki, Inggris, Rusia, Cina, serta Amerika Serikat. “Turki sendiri mendukung oposisi agar pengungsi perang tidak pindah ke Turki,” papar Michael. Sementara Iran, Rusia, dan Cina mendukung pemerintahan Assad. “Sudah sejak lama Rusia dan Cina memasok senjata kimia di Suriah,” ungkapnya.
Posisi Assad yang kian terdesak, menurut Kishino, membuat banyak pihak menduga ia akan menggunakan senjata kimia untuk mempertahankan posisinya. Senjata kimia yang terdiri dari gas mustard, gas syaraf, dan Agent Orange ini tergolong dalam Weapon of Mass Destructionatau senjata pemusnah massal. “Secara politis, penggunaan WMD dilarang dalam perang,” tutur Kishino. “Akibatnya akan ada alasanbagipihakasinguntuk intervensi ke dalam kasus Suriah,” tambahnya.
Lebih jauh, Michael mengemukakan soal pentingnya balance of power di Timur Tengah. Menurutnya, serangan Amerika ke Irak mengubah posisi Iran sebagai buffer negara Timur Tengah dari pengaruh Syiah terhadap Iran. “Sebenarnya konstelasi politik Timur Tengah semenjak era Saddam Husein akan berubah dengan adanya minyak dan nuklir,” jelas Michael. “Namun semenjak 9/11, posisi negara buffer ini tidak ada lagi,” tambahnya.
Menanggapi respon internasional yang kian intens, Hestutomo berpendapat bahwa ini merupakan momen penting bagi perubahan dalam konstelasi politik global. Pria yang akrab disapa Tomi ini meyakini partisipasi Amerika Serikat dan negara-negara Eropa dalam konflik Suriah sebagai ajang berebut hegemoni. “Timur Tengah akan menjadi ajang peperangan interpolar antara negara-negara di dunia,” tegas Tomi. “Ini hanya bagian kecil dari perang hegemoni, yang perlu diperhatikan adalah negara-negara besar lainnya seperti Rusia dan Cina,” tutup Tomi.(Ferdi Febianno Anggriawan)