Oleh: Yuliana Ratnasari
AJIP hanya ingin bertemu Sekar meski hanya sekali saja. Ia harus berjumpa dengan Sekar untuk memastikan kabar yang sudah tersiar di telinga orang-orang. Setidaknya Sekar dapat menunjukan simpati padanya, demi hari-hari yang telah mereka curi diam-diam. Demi puisi-puisi cinta yang selalu ia selipkan lewat jendela kamar wanita pujaannya itu. Demi jalanan berkapur yang selalu mereka lewati tiap pagi. Demi kenangan naik kereta angin saat hari senja. Demi tatapan sembunyi-sembunyi di tengah kerumunan buruh-buruh pabrik. Demi cintanya yang belum terungkap dan mengendap-endap penuh harap. Setidaknya ia bisa menaruh hormat pada kenangan itu. Setidaknya.
Awalnya ia meragukan perkataan Rosyid, kawannya yang juga bekerja dengannya di pabrik tembakau. Beberapa hari yang lalu Rosyid tak sengaja melintas di depan rumah Sekar. Dilihatnya Sekar sedang berbincang dengan seorang pemuda. Wajahnya tampan mirip bintang film Donny Damara. Perawakannya tingi besar. Matanya menatap Sekar dengan takjub. Senyum malu-malu terlihat mengembang di wajah Sekar. Ajip berkelakar kepada dirinya, pemuda itu mungkin saja saudara jauh yang sedang datang berkunjung.
Namun, rasa sangsi itu lantas berubah menjadi frustrasi. Pasalnya, sudah tiga hari Ajip tak kunjung berjumpa dengan Sekar. Sudah tiga hari pula Sekar tak masuk kerja. Pun buruh-buruh lainnya tak ada yang tahu pasti kabarnya. Muncul desas-desus bahwa Sekar dijual ayahnya pada seorang encik-encik yang terkenal sebagai germo di kampung sebelah. Rumor lain yang berhembus, Sekar kabur dari rumah karena dirinya tak sudi dijodohkan dengan seorang duda yang sebaya dengan ayahnya. Sekejam apapun kabar yang menyebar, pikir Ajip, itu hanyalah kabar burung.
Di suatu pagi rasa frustrasi yang telah ia lalui selama berhari-hari mengeras menjadi amarah. Rosyid yang terengah-engah bercerita, Sekar akan menikah dengan pemuda mirip Donny Damara itu. Kabar itu ia dapatkan dari seorang kerabat Sekar. Katanya lagi, pemuda bernama Salman itu memiliki sebuah toko roti di kota. Kini, teranglah sudah segala perkara. Wanita pujaannya itu tak mau menemuinya lagi karena mabuk kepayang oleh pesona Salman, si pengusaha roti.
Dengan amarah yang membuncah Ajip masih terus mengayuh sepeda tuanya. Isi kepalanya dipenuhi wajah Sekar, senyum Sekar, rambut hitam Sekar… Ia tahu puisi-puisi cinta darinya pasti disimpannya dengan baik. Ia pun tahu diam-diam Sekar juga kerap memandangnya setiap ia sibuk mengemas tembakau. Dan, ia tahu Sekar pun mencintainya. Yang ia tidak tahu, kenapa Sekar tega mengkhianati kenangan mereka.
SESAMPAINYA di rumah Sekar, perasaan Ajip kian tak menentu. Rumahnya sepi dan pintunya tekunci. Jika tidak mengingat tubuhnya yang ceking, ia pasti sudah mendobrak masuk. Kemudian, ia teringat sinetron-sinetron picisan yang pernah ia tonton. Saat-saat seperti ini si tokoh wanita akan meninggalkan sebuah surat untuk si lelaki, yang paling tidak berisi permintaan maaf. Iseng ia menengok ke bawah pot di depan rumah Sekar, di balik keset, dan lubang ventilasi di atas pintu. Tak ada surat dari Sekar untuknya. Ia beruntung, pikirannya masih malar. Ia memang tak butuh surat darinya. Ia hanya perlu bersua langsung dengan Sekar.
WALAUPUN sudah tua, sepeda kesayangan Ajip itu dapat melesat dengan cepat. Kota yang biasanya ia tempuh dalam waktu satu jam tampaknya bisa menjadi setengah jam saja dengan kecepatan pedal yang ia kayuh saat ini. Meski tak begitu yakin, ia percaya Sekar sedang berada di kota, di toko roti milik Salman. Dalam perjalanannya pagi itu, jalan beraspal yang ia lalui seakan terbakar dan retak. Sawah-sawah yang mengelilinginya menjadi hangus. Bunga-bunga tak mau merekah. Burung-burung pun hanya diam di sarang tak ingin melayang. Hatinya dibakar cemburu. Tak sekadar menjumpai Sekar, ia pun ingin tahu seperti apa laki-laki yang merebut wanita pujaannya.
Sekonyong-konyong ia sudah sampai di serambi toko dengan papan nama yang bertuliskan “Salman Bakeri”. Beberapa saat ia tertegun. Walau saat ini ia hanya seorang buruh pabrik, nilai ujian Bahasa Inggrisnya tak begitu jelek. Sependek pengetahuannya, ‘bakeri’ tak pernah ada dalam Bahasa Inggris. Sementara itu, seruan seorang gadis yang penuh gelora mengingatkan Ajip untuk masuk ke dalam toko.
“Selamat pagi, Tuan! Silakan masuk!”
“Ada Sekar?”
“Oh, Mbak Sekar sedang keluar. Silakan duduk dulu, Tuan.”
Kabar hubungan Salman dan Sekar tak menjadi kesangsian lagi bagi Ajip. Dialah yang lebih dulu memendam cinta untuk Sekar, bukan Salman. Tetapi Salmanlah yang mendapatkan Sekar. Maka, lengkaplah sudah penderitaan Ajip. Hidupnya pun kini hanyalah mimpi buruk.
Tahulah Ajip bahwa Rosyid memang seorang kawan yang baik. Ia tak pernah berdusta. Meski Ajip tak pernah tahu Donny Damara, tapi ia tahu wajah seorang bintang film. Pemuda yang tengah tersenyum melayani tamu itu memiliki wajah layaknya bintang film. Benar kata Rosyid, wajah Salman memang tampan. Hidungnya mancung, tubuhnya atletis, dan matanya teduh. Senyumnya pun indah hingga menyilaukan mata. Tak hanya itu, gerak-geriknya menunjukan hormat pada wanita. Pesona yang dimiliki Salman itulah yang tak mampu dihalau oleh para wanita.
Ajip pun terkesiap. Ia menjadi paham mengapa Sekar rela meninggalkannya. Lagipula, laki-laki yang tengan berjalan ke arah Ajip ini adalah seorang pengusaha. Hidup Sekar pasti akan lebih baik.
“Maaf menunggu, perkenalkan saya Salman. Mau bertemu Sekar?” ujar Salman
Ajip sepenuhnya mengerti dengan orang-orang macam Salman ini. Ketampanan yang berpadu dengan kesopanannya menghasilkan pesona yang sangat kuat. Pesona itu pun seperti membawa Ajip ke dalam jurang keputusasaan yang membuat ciut nyalinya. Kenyataan memang pahit. Mau tak mau ia harus terima bahwa Salman memang pantas untuk Sekar. Dengan bergegas ia pun keluar dari toko. Salman yang setengah bingung segera menyusul Ajip.
“Lho, Mas, Mas…!”
Sementara itu, dari arah seberang seorang wanita dengan senyum sumringah datang setengah berlari sambil berteriak: “Ajip, Ajip!”
Namun, Ajip tak lagi peduli. Tak didengarnya suara-suara yang memanggil. Ajip mengayuh dengan laju. Badannya semakin panas dibakar cemburu. Perutnya mual, mau muntah. Nampaknya, ia tak sanggup disuruh terima kenyataan. Tak mau ikut campur, matahari pun hanya sanggup terbenam di balik mega hitam.
Yuliana Ratnasari, seorang mahasiswa pecinta karya-karya SGA yang kini sedang menempuh pendidikan sarjananya di Jurusan Sastra Indonesia UGM 2010.