“Kesehatan jiwa sudah sepantasnya tidak dipandang sebelah mata.”
Kesehatan merupakan sebuah kondisi terintegrasi yang meliputi keseimbangan fisik, intelektual, emosional, dan spiritual. Harmonisasi elemen-elemen tersebut akan memengaruhi kesehatan secara utuh. Kondisi emosional dan spiritual memegang peran kunci dalam mengatur nilai-nilai kehidupan yang ideal. Kedua elemen tersebut sifatnya tidak kasat mata dan sering terabaikan. Tidak heran jika kedua elemen tersebut selalu luput dari perhatian dan rentan terhadap penyakit. Salah satu ancaman bagi kondisi emosional dan spiritual adalah somatisasi.
Somatisasi merupakan sebuah penyakit kejiwaan yang cukup misterius dan dapat terjadi tanpa disadari. Penderitanya merasakan keluhan-keluhan fisik. Anehnya, keluhan-keluhan yang dirasakannya tidak dapat dibuktikan secara melalui diagnosis dokter maupun uji laboratorium.
Penderita somatisasi mengeluh sakit pada badan dan merasa tertekan secara emosional. Selain itu, penderita mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan masyarakat dan keluarga. Mereka biasanya melakukan penarikan diri dari lingkungan sosial dan pribadinya cenderung labil. Hal ini disebabkan oleh gangguan psikis yang dialaminya. Penderita cenderung sulit untuk memahami dirinya secara normal. Somatisasi dapat dialami oleh anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orang yang telah lanjut usia.
Somatisasi merupakan topik yang unik dan menarik untuk diperbincangkan. Oleh karena itu, Hennie Kurniawati seorang mahasiswi Pasca Sarjana Fakultas Psikologi mengangkat somatisasi sebagai topik dalam tesisnya. Tesisnya berjudul, ”Somatisasi Ditinjau dari Kesejahteraan Spiritual dan Regulasi Emosi”.
Hennie mengungkapkan berbagai masalah terkait dengan somatisasi dari sisi kesejahteraan spiritual dan regulasi emosi. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat mengenal somatisasi dan mengetahui cara merawat penderitanya. Kesejahteraan spiritual merujuk pada keadaan yang harmonis untuk menjalin hubungan dengan Tuhan maupun bebagai elemen di luar diri manusia. Hal tersebut meliputi keyakinan pribadi, kebermaknaan agama, kebermaknaan kebendaan, dan mengarah pada hubungan yang sifatnya vertikal (dengan Tuhan) maupun horizontal (dengan manusia lainnya). Manusia yang telah mencapai kesejahteraan spiritual dapat hidup secara harmonis dengan makna, tujuan, dan nilai-nilai kehidupan yang telah dipegang teguh. Regulasi emosi merujuk pada pengendalian emosi yang sifatnya situasional. Aspek-aspek yang terlibat dalam regulasi emosi adalah kognisi, perasaan, dan psikomotorik. Kognisi adalah kemampuan untuk mengelola dan mengatur emosi saat menjalani kehidupan dan mengalami berbagai kejadian. Perasaan merupakan suasana hati yang dapat bersifat positif maupun negatif. Psikomotorik didefinisikan sebagai dorongan untuk berperilaku sesuai dengan apa yang dipikirkan dan kemampuan mengekspresikan emosi.
Hennie menggunakan metode kuantitatif, yaitu dengan melakukan purposive sampling untuk menjabarkan somatisasi secara akurat dalam penelitian ini. Dari 48 pasien rumah sakit Ananda Purwokerto yang diduga terkena somatisasi, peneliti memilih 27 pasien yang dianggap menampakkan gejala somatisasi secara dominan. Hal ini dilakukan untuk menghindari bias dalam penelitian. Secara klinis, terdapat skala somatisasi yang digunakan untuk mengukur tingkat somatisasi yang diderita oleh seseorang. Skala itu disebut dengan Severity of Somatic Symtoms Scale. Di sisi lain, peneliti mempertimbangkan faktor pemicu terjadinya somatisasi, yaitu kejadian-kejadian yang mendorong stres. Penderitaan, rasa kehilangan, dan cobaan kehidupan dapat memengaruhi munculnya somatisasi. Faktor pertahanan yang terdiri atas ketahanan diri dan kepribadian juga mengambil peran penting dalam menentukan somatisasi. Faktor-faktor tersebut memberikan pengaruh pada kesejahteraan spiritual dan regulasi emosi individu. Peneliti menggunakan analisis korelasional untuk mengetahui kontribusi kesejahteraan spiritual dan regulasi emosi terhadap somatisasi
Sebagai sebuah penyakit, somatisasi merupakan penyakit yang kompleks. Semakin kacau kondisi kejiwaan manusia, maka semakin besar peluang untuk terkena somatisasi. Terdapat berbagai macam faktor yang memengaruhi terjadinya somatisasi. Pertama adalah faktor sosio-demografi yang meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan, dan tingkat pendidikan. Kedua, faktor biologis yang ditentukan oleh gen dan hormon. Ketiga, faktor psikologis yang memengaruhi kepribadian, adaptasi, motivasi, dan tekanan emosional. Keempat adalah faktor spiritual. Faktor spiritual di sini dapat diartikan sebagai keyakinan atau religiositas yang sudah terinternalisasi dan dapat memengaruhi sikap individu. Tercapainya kesejahteraan spiritual akan membuat seseorang menemukan makna kehidupan yang ideal. Kemudian yang kelima adalah faktor konteks kebudayaan. Yang terakhir adalah faktor sosial ekonomi yang memicu berbagai konflik.
Penderita somatisasi memiliki kesejahteraan spiritual dan regulasi emosi yang berperan negatif dan signifikan. Berperan negatif artinya penderita somatisasi memiliki kesejahteraan spiritual dan regulasi emosi yang cenderung kurang baik. Penderita somatisasi mengalami gangguan dan kesulitan dalam mengatur aspek spiritual dan emosi.
Kesejahteraan spiritual dan regulasi emosi merupakan unsur terpadu dalam memahami somatisasi. Kesejahteraaan spiritual merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap somatisasi. Hal tersebut dinilai mampu meningkatkan respon yang adaptif terhadap pengendalian emosi seseorang. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan spiritual seseorang, semakin rendah risiko untuk mengidap somatisasi. Begitu juga dengan orang yang mempunyai kemampuan regulasi emosi yang tinggi, kemungkinan besar tidak akan terkena somatisasi. Agar terhindar dari somatisasi, manusia harus pandai dalam menjaga dan menyeimbangkan kesejahteraan spritual dan regulasi emosi.
Peninjauan terhadap peran kesejahteraan spiritual dan regulasi emosi melalui skala yang terperinci membuat penelitian ini akurat. Keterkaitan antara kesejahteraan spriritual, regulasi emosi, dan somatisasi dijabarkan dengan jelas. Hasil dari penelitian tersebut dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu psikologi. Selain itu, hasil penelitian juga dapat digunakan sebagai panduan bagaimana memperlakukan penderita somatisasi dan perawatannya.
Sangat disayangkan, peneliti kurang memberi perhatian pada aspek-aspek lain yang dapat mempengaruhi somatisasi. Dapat dikatakan bahwa pembahasan somatisasi dalam penelitian kurang memperhatikan indikator-indikator lain yang tidak kalah penting. Faktor lain yang dapat digunakan untuk meninjau somatisasi adalah watak penderita. Watak dapat memberikan pengaruh tipe dan intensitas keluhan yang terjadi pasca-somatisasi. Selain itu, peneliti tidak memaparkan pertimbangan atas risiko yang dialami oleh penderita somatisasi sehingga pembahasannya dapat dinilai kurang tuntas.
Pentingnya kesehatan psikis seringkali terlupakan. Kebanyakan manusia hanya berfokus pada aktivitas dan terlena pada rutinitasnya saja. Masalah kejiwaan masih dianggap sebagai hal yang remeh. Padahal, penyakit psikis sewaktu-waktu dapat mengancam siapa saja. Selain itu, penyembuhan gangguan psikis cenderung lebih sulit dan relatif lama dibandingkan dengan penyakit fisik yang umumnya terjadi. Pengenalan terhadap gangguan kejiwaan memang tidak mudah. Aspek psikis merupakan hal yang sifatnya abstrak. Untuk mengenalinya, kita perlu memberi perhatian pada keadaan emosional dalam diri. Mekanisme pertahanan diri merupakan kunci bagi kedamaian hati agar terhindar dari berbagai macam gangguan psikis. Kehidupan akan terasa sempurna dengan sinergi antara aspek fisik dan psikis yang senantiasa terjaga. [Anggrelika P.Krestaryaningwidhy]