Dalam keremangan cahaya, seorang pria berkaus putih naik ke panggung. Ia membawa plastik, sapu lidi, daun pisang, serta berbagai alat di tangannya. Selama beberapa saat ia menata peralatan yang itu. Suaranya lalu melengking tinggi. Ia memulai dongengnya tentang sepasang gadis dan pemuda dari Aceh.
Alkisah, gadis Aceh yang bernama Inong itu hendak kuliah di Yogyakarta. Kekasihnya yang bekerja sebagai PNS pun bersedih. Di bawah pohon kelapa, Inong dan si pemuda mengikat janji untuk tetap setia. Namun, Inong seakan lupa dengan janjinya. Hanya berselang seminggu setelah kedatangannya di Yogyakarta, Inong mulai melirik laki-laki lain. Seorang pemuda asal Papua yang juga teman kuliahnya, kini menjadi kekasih Inong. Sementara itu, kekasih Inong di Aceh mulai putus asa. Sudah lama ia tak mendapat kabar dari sang pujaan hati. Telepon dan pesan yang dikirim pun tak pernah berbalas. Si pemuda lalu mendapat ide gila. “Apa sebaiknya aku menggantung diri saja?”
Ia mencoba menggantung diri di pohon pisang. Gagal. Pilihannya pindah ke pohon kelapa. Namun setelah dua hari berada di atas pohon itu, si pemuda tetap tak berani melaksanakan niatnya. Genap seminggu ia berada di sana, beberapa orang mulai membujuk. “Ayo turun!” kata mereka. Sebuah stasiun televisi pun ikut meliput aksi nekatnya.
Sabtu (1/6) malam lalu, Agus PM Toh, si pria berkaus putih itu sengaja didapuk menjadi bintang tamu. Kehadirannya meramaikan acara Seudati, Seni Budaya Aceh untuk Indonesiayang digelar mahasiswa Aceh dari berbagai universitas di Yogyakarta. Lewat narasinya, penutur hikayat asal Aceh ini memukau penonton di Balairung Hall, University Club, UGM.
Seniman yang sejak 1990 berguru pada penutur hikayat senior, Adnan PM Toh, menyampaikan kisahnya lewat barang-barang sederhana. Bermodalkan perkakas dapur, Agus PM Toh memperkuat penggambaran narasinya. Dengan plastik merah, Agus PM Toh berganti rupa menjadi seorang wanita. Ia juga menggambarkan matahari yang bersinar cerah dengan tutup tempat sampah dari plastik berwarna merah.
Bagi Agus PM Toh, kesederhanaan berbagai benda itu yang justru mampu membuatnya menggambarkan banyak hal. Ia banyak belajar dan meniru dari anak-anak yang bisa bermain dengan benda-benda sederhana ini. “Dengan benda yang sudah jadi, hal itu justru tak menimbulkan imajinasi,” akunya.
Melalui pementasan perdana ini, para mahasiswa Aceh berusaha bersilaturahmi sekaligus mengangkat harkat-martabat Aceh lewat seni. Hal itu diungkapkan Kasyful Humam selaku ketua panitia. Berbagai penampilan seni yang ditampilkan di sini antara lain tari tradisional Aceh oleh berbagai komunitas seni. Selain itu, terdapat juga pembacaan syair dari penyair Aceh ternama, Vikar W.Eda.
Melalui medium seni ini pula, mereka mencoba menepis berbagai isu negatif tentang Aceh. Agus PM Toh menyebutkan salah satu isu tentang bendera bintang bulan yang sempat berkibar di Gayo dalam narasinya. “Daripada ribut, biarkan saja dua bendera ini berkibar bersama,” katanya memberikan solusi. Ucapannya mendapat tepuk tangan meriah dari penonton. Mereka seakan setuju bahwa ribut-ribut seputar suatu isu tak akan memberikan solusi.
Sementara itu, Agus PM Toh membawa misi tersendiri dalam dongeng yang dibawakannya. Ia berusaha menyelipkan pesan dan harapannya di akhir narasi. Mahasiswa kembali ke kampung, itulah mimpinya saat ini. Ia mengamati, selama ini 70-80 persen mahasiswa Aceh yang kuliah di luar kota justru tak kembali ke kampungnya. “Mau bagaimana lagi, saat Aceh sedang mengalami konflik lama seperti ini, tentu lebih menguntungkan bagi mereka tinggal di perantauan daripada di kampung asal,” komentarnya. Meski begitu, Agus PM Toh tetap berharap, kelak para mahasiswa itu kembali.
Mimpi itu diperlihatkan Agus PM Toh di akhir kisahnya. Inong yang tak sengaja melihat liputan tentang kekasihnya di televisi, lalu memutuskan hubungan dengan si pemuda Papua. Tanpa ragu gadis itu kembali ke Aceh, tanah kelahirannya.
Di Aceh, Inong bertemu dengan kekasih lamanya. Mereka hidup bahagia. Dengan ilmu yang dipunya, Inong dan si pemuda Aceh membangun kampungnya. Oleh karena kampungnya masih sering mengalami mati listrik, mereka pun memproduksi listrik dengan mengandalkan tenaga surya. Saat melihat banyak tanah di Aceh hingga Sumatra Utara yang tak terpelihara, mereka juga mulai menanam kelapa. Di tangan mereka, masa depan kampung menjadi lebih tertata. [Inez Christyastuti Hapsari]