Puluhan mahasiswa perwakilan dari beberapa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di UGM memenuhi Ruang Sidang I Gedung Rektorat. Mereka mendatangi diskusi yang bertajuk ‘Diskusi dan Konferensi Pers Uang Kuliah Tunggal’. Diskusi yang diadakan oleh BEM KM UGM pada Sabtu (16/3) membahas tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang akan diterapkan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) seluruh Indonesia.
Kebijakan UKT diawali dengan adanya Surat Edaran dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti). Surat Edaran tersebut berlandaskan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 dan telah keluar sebanyak lima kali, sejak Februari 2012 sampai Januari 2013. Kini Surat Edaran dari Dirjen Dikti tersebut sedang dalam proses uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Komite Nasional Pendidikan (KNP).
Peraturan Menteri (Permen) akan segera dibuat untuk mendukung adanya kepastian hukum terhadap kebijakan ini. Pihak Perguruan Tinggi Negeri bersama dengan Kementerian Pendidikan khususnya UGM akan mengadakan rapat untuk menentukan Permen tersebut. “Peraturan Menteri yang akan kami diskusikan nantinya berisikan formula dan besaran-besaran biaya dalam penerapan UKT,” ungkap Pratikno, Rektor UGM.
Membuka acara, Faisal Arief Kamil, Menteri Kajian Strategis BEM KM UGM memberikan penjelasan mengenai kajiannya tentang UKT. Dalam kajiannya itu, Faisal mengkritisi masalah nominal biaya kuliah penerapan UKT yang lebih tinggi daripada biaya kuliah sebelumnya. “Dengan sistem UKT biaya kuliah lebih besar ketimbang biaya kuliah saat SPMA masih berlaku,” keluhnya. Hal tersebut memberikan alasan 13 BEM di UGM menolak kebijakan UKT ini. “Kami menyatakan menolak terhadap kebijakan UKT,” ucap Yanuar Rizki Pahlevi, Presiden BEM KM UGM.
Menanggapi hal itu Ainun Na’im, anggota Majelis Wali Amanat (MWA) UGM, menjelaskan, UKT akan menjadi cermin pendidikan tinggi yang adil. Adil yang dimaksud adalah membuat anak yang kekurangan secara finansial tetap bisa mengenyam pendidikan tinggi. Keadilan ini bukan berarti kesetaraan dalam pembayaran kuliah, melainkan kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu UKT direncanakan tidak diterapkan dalam satu tarif. “UKT akan diterapkan dalam beberapa skala,” ujarnya.
Skala yang disebutkan Ainun berentang antara nol rupiah sampai yang penuh membayar UKT. Rencananya, UKT dibagi menjadi lima golongan, yaitu pertama golongan A yang diperuntukkan bagi siswa sangat tidak mampu secara finansial, sehingga dibebaskan dalam pembiayaan. Golongan B sebagai penikmat bidik misi, C merupakan pembayar nominal UKT 50 %, sedangkan D wajib membayar 70% dari nominal UKT dan E harus membayar penuh UKT. Pembagian pembiayaan tersebut nantinya akan didasarkan dari gaji orang tua.
Dalam sesi tanya jawab, Khairul Umam, Filsafat ’12 menanyakan perihal Biaya Operasional PTN (BOPTN) yang terbatas. BOPTN sendiri merupakan salah satu biaya yang diberikan oleh pemerintah pada PTN. Pembatasan BOPTN memberi kekhawatiran akan pembiayaan pada perawatan bangunan. Kekhawatiran tersebut dijawab oleh Ainun, menurutnya masih ada anggaran lain dari pemerintah selain BOPTN. ”Pemerintah tidak hanya memberikan BOPTN, tapi juga anggaran lain seperti anggaran peningkatan sarana-prasarana dan anggaran kompetensi dosen,” bebernya.
Berkenaan dengan BOPTN, Ainun menambahkan, permasalahan sebenarnya adalah lamanya distribusi penyaluran dana, sedangkan kegiatan kampus harus tetap dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan. Atas alasan itulah penghapusan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) dirasa sangat memberatkan. “Dana yang ada tidak mampu menyubsider semua pembiayaan,” ungkap Pratikno.
Pratikno menambahkan, penghapusan SPMA akibat dari UKT tidak hanya berdampak pada kegiatan kampus, tapi juga subsidi silang. Dengan sistem subsidi silang, mahasiswa yang orang tuanya berpenghasilan tinggi secara tidak langsung membiayai mahasiswa yang orang tuanya berpenghasilan rendah. Sistem subsidi silang tentu sangat membantu mahasiswa yang kekurangan secara finansial. Hal itu memungkinkannya untuk tetap mengenyam ilmu bersama. Ditambah lagi, selama ini subsidi silang digadang-gadang sebagai bentuk komitmen UGM sebagai kampus kerakyatan.”UGM adalah kampus kerakyatan baik secara sikap dan juga keilmuan,” tegas Pratikno.
Sebagai ganti dari SPMA yang berskala, Pratikno menyetujui rencana penerapan UKT berskala. Namun sistem pembagian UKT menjadi beberapa golongan ternyata masih menyisakan berbagai keraguan terutama oleh Yanuar Rizki Pahlevi, Presiden BEM KM UGM. Keraguan keberhasilan akan UKT berskala berkiblat pada permasalahan penyaluran dana bidik misi yang telah berlangsung selama ini. Penyaluran dana bidik misi ternyata belum tepat sasaran. “Bahkan saya pernah mendapat cerita bahwa yang mendapat bidik misi dapat membeli i-pad,” ketus Yanuar.
Menanggapi hal itu, Pratikno memaparkan bahwa beasiswa bidik misi yang telah dikuotakan pemerintah menjadi tidak tepat sasaran karena beberapa kendala. Mahasiswa yang ada di UGM menurutnya tidak memenuhi kuota yang telah disediakan. Sisa kuota yang ada dapat melahirkan peluang banyaknya penyimpangan. Berkaitan dengan penyaluran beasiswa itu, Senawi, Direktur Mahasiswa UGM sangat berharap mahasiswa bisa turut memantau penikmat bidik misi. Pemantauan dilakukan dengan melapor pada Direktorat Kemahasiswaan jika terjadi penyimpangan.
Memasuki penghujung diskusi, Luthfi Hazan Husin, anggota MWA mengungkapkan keraguan akan diberlakukan UKT. Luthfi mempermasalahkan adanya perbedaan jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) yang diambil tiap semester. Sedangkan UKT merupakan uang kuliah tunggal yang tiap semester besarnya adalah sama. Dengan adanya perbedaan jumlah SKS, akan tidak adil jika yang mengambil SKS banyak sama dengan yang mengambil SKS sedikit. Ia berpendapat, “Jika SKS yang diambil sedikit, biaya kuliah pun harus sesuai.”
Menutup diskusi, Yanuar berpendapat bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Namun, kebijakan UKT yang bermaksud menghilangkan diskriminasi justru tetap mempertahankan diskriminasi itu dengan adanya UKT berskala. Mahasiswa yang memiliki kekurangan secara finansial ditanggung oleh mahasiswa yang memiliki orang tua berkecukupan. Padahal menurutnya, pendidikan tinggi seharusnya adalah tanggung jawab negara. “Kebijakan UKT mencerminkan lepasnya tanggung jawab negara mengelola pendidikan tinggi di Indonesia,” pungkasnya. [Nuresti Tristya Astarina]