“AKU sangat modern dalam pemikiran, tetapi sangat konservatif dalam keimanan.” Itu kalimat terakhir kakakku ketika ia mengakhiri khotbah sore itu.
Seperti biasa, kakakku mulai menceracau. Kali ini dia mengomentari kacaunya sistem kesehatan di negara kami. Dia bilang jaminan kesehatan atau kartu sehat dan semacamnya, yang dijanjikan Sang Maha Mulia, tidak cocok untuk rakyat seperti kami. “Seharusnya Sang Maha Mulia menjamin kebebasan berpikir kepada kita, sebelum menjamin hal lain,” kata kakakku.
Kami tinggal di negara yang mulut penduduknya bisu, telinganya tuli, matanya buta, dan otaknya tumpul. Tidak seorang pun rakyat boleh berpendapat kecuali orang tersebut barangkali gila. Kakakku adalah salah seorang dari rakyat yang gila itu. Ada tempat khusus untuk orang seperti kakakku di negara kami. Mereka menyebutnya Rumah Sakit. Bukan Rumah Sakit seperti di negaramu, yang dipakai untuk menyembuhkan orang sakit. Atau Rumah Sakit Jiwa untuk menyembuhkan orang yang punya masalah kejiwaan. Rumah Sakit ini adalah tempat untuk menampung orang-orang yang jiwa dan pikirannya dianggap sakit oleh Sang Maha Mulia, bukan oleh diagnosis dokter.
“Dengar kawan-kawan! Kita adalah orang-orang yang sakit. Semua rakyat negeri ini menderita penyakit yang sama,” lanjut kakakku. Penghuni Rumah Sakit ini, yang hampir semuanya kurus kering, duduk mengelilingi kakakku. Perawakan tubuh kakakku tak jauh berbeda dari mereka.
Mereka semua khusyuk menyimak khotbah sore itu. Para sipir yang berjaga diam-diam ikut mendengarkan ceracau seorang gila. Demikianlah jemaah kakakku bertambah kian hari.
“Penyakit apa, wahai kau orang yang dianggap gila?” tanya seorang wanita dari kerumunan pendengar. Matanya dipenuhi kebencian, dan ada bercak bitot pada matanya. Tubuhnya kurus, kulitnya pucat, dan matanya membeliak seolah akan keluar dari rongga mata. Jelas sekali wanita ini mengalami gizi buruk dan komplikasi penyakit kronis.
“Penyakit yang tidak seorang pun sadar bahwa dia telah terjangkiti,” jawab kakakku.
Mata wanita itu semakin melotot penasaran saat berusaha menangkap maksud kakakku. “Apa itu?” tanya sipir Rumah Sakit yang dari tadi menguping. Semua jemaah kontan menoleh ke arahnya. Sipir itu berpura-pura tidak acuh, sambil berlalu meninggalkan pos jaganya dia mengumpat kakakku.
“Lihatlah kawanku! Mereka yang mengumpat itu tidak sadar bahwa penyakitnya semakin parah,” bisik kakakku. Jemaah tertawa, dan umpatan para sipir itu semakin keras.
“Ayo jelaskan yang kaumaksud, atau aku akan berpikir bahwa kau ini memang gila,” kata perempuan malnutrisi tadi. Air muka kakakku berubah serius. Jemaah sontak terdiam.
“Tolong, jangan katakan itu. Aku tidak mau dianggap gila oleh orang hebat sepertimu,” jawab kakakku memelas.
“Aku tidak bisa berlama-lama. Lihat tubuhku, mulai hancur karena penyakit yang namanya susah kuingat. Mereka bilang banyak masalah di dalam tubuhku. Padahal satu-satunya masalahku adalah rantai yang mengikat otakku,” lanjut perempuan itu.
Jemaah menggumam, para sipir tetap mencuri dengar, dan kakakku kelihatannya sedang menunggu celotehan lain wanita ini. Namun, yang ditunggu malah mendehem panjang, menarik napas dalam, kemudian duduk ke tempatnya semula. Tidak ada celoteh yang diharapkan kakakku.
“MASALAH kita, masalah rakyat negeri ini, adalah rantai di otak kita. Rantai yang menghalangi kita berpikir bebas, yang membuat otak kita tumpul dan malas berpikir. Percuma ada jaminan kesehatan, atau kartu-kartu lain yang menjamin hidup kita. Tanpa jaminan berpikir bebas semua hanya omong kosong. Ibarat kotoran yang tidak bisa disiram dari kloset. Meski sudah dibuang dari tubuh, keberadaannya masih akan mengganggu kita suatu saat nanti,” kata kakakku.
“Artinya kita harus menuntut hak kita untuk bebas berpikir dan bersuara?” tanya seorang pendengar.
“Tidak, kita tidak perlu menuntut,” jawab kakakku.
“Lalu bagaimana?” tanya yang lain.
“Kita hanya perlu menulari masyarakat dengan penyakit yang membuat kita berada di tempat ini,” jawab kakakku sambil tersenyum. Para jemaah juga tersenyum. Dari mata kakakku, kubayangkan jam dinding pun pastilah turut tersenyum. Lantai, pintu, jendela, kursi, meja, dan alam ikut tersenyum. Semua tersenyum kecuali sipir yang menguping, yang tidak mengerti arah pembicaraan khotbah sore itu.
“Aku masih belum mengerti penyakit yang sedang kita bicarakan ini, apa kau mau membiarkan kami, yang tidak mengerti, justru menjadi kebingungan?” Wanita malnutrisi itu kembali berdiri.
“Penyakit yang kita bicarakan adalah apa yang sedang kita rasakan. Cara Sang Maha Mulia menggerus otak dan tubuh kita supaya menjadi rakyat impiannya, aturan-aturannya yang membuat para pemikir negeri ini punah, dan suara-suara yang selalu kita dengar setiap pagi, yang mengagung-agungkan namanya melebihi Tuhan, itulah penyakit yang sejati.” Kakakku melanjutkan.
“Sang Maha Mulia menempatkan kita di sini karena kita dianggap tidak waras dengan kemampuan kita berpikir yang lebih baik daripada orang kebanyakan. Coba lihat lelaki yang memakai gaun wanita itu,” ujar kakakku sambil menunjuk ke arahku.
“Dia adalah orang gila, yang sejatinya gila menurut Sang Maha Mulia, bahkan mungkin menurut kita.”
“Kita tidak sedang membahas orang pesakitan gila itu. Dia di sini karena tidak ada yang bisa dikerjakannya di luar sana. Tapi, aku, kita yang lain, di sini karena Sang Maha Mulia menghendaki demikian.” Salah seorang jemaah kesal karena aku dilibatkan dalam pembicaraan penting mereka.
“Ayolah, lanjutkan.” Jemaah lainnya mengamini.
“Baik, rakyat negeri ini tidak sadar bahwa mereka terjangkit penyakit mematikan. Memang hal itu mungkin tidak membunuh diri mereka, tetapi itu membunuh kesadaran mereka. Dan hakikatnya kesadaran adalah hal terpenting dalam hidup seseorang. Kau tidak akan sembuh dari penyakit macam apa pun kalau tidak punya kesadaran untuk mengobatinya. Kau tidak akan tahu benar atau salah jika kesadaran dalam dirimu dimatikan,” lanjut kakakku. Aku senang mereka kembali mengabaikan keberadaanku.
“Dan penyakit yang kita derita, sehingga Sang Maha Mulia memasukkan kita ke tempat ini, bisa menghidupkan kesadaran rakyat di luar sana,” kata kakakku. Jemaah menggumam, tampak menganggut-anggut seolah-olah mulai paham.
“Sayangnya, ada rantai yang membelenggu otak masyarakat kita, yang dibentuk secara sengaja oleh Sang Maha Mulia, yang membuat kesadaran mereka mati dan tidak bisa bereinkarnasi. Begitu juga kita, otak kita harus dibebaskan dari rantai sialan ini.”
“TULIS penyakit yang membuat kalian merasa berpenyakitan!” seru wanita malnutrisi.
Para jemaah itu mulai mencatat, menuliskan sesuatu di baju, ataupun pada kulit mereka. Kakakku kemudian berdiri. Ia mengambil daun dan mulai mencatat. Sipir yang tadi mengumpat, berbalik mendekat ke lingkaran khotbah kakakku. Alih-alih memeriksa keadaan, para sipir itu diam-diam duduk mengikuti para jemaah, di mana di sana ia melihat para jemaah yang sedang menulis.
“Apa yang kalian tulis?” tanya sipir itu.
“Kami menulis surat bebas untuk pikiran kami. Kami menulis untuk diri kami sendiri, sebuah pernyataan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi kami berpikir dan bersuara,” teriak seorang jemaah. Para sipir yang duduk di antara para jemaah tampak ketakutan melihat sang bos datang. Sipir gendut yang mengumpat tadi ternyata bos mereka, yang mengatur gaji mereka, yang mengatur hari ini mereka akan makan apa, yang mengatur pikiran mereka.
“Kalian orang-orang gila yang tidak diharapkan negeri ini, tetapi mau menulis surat bebas? Jangan mimpi, dasar pesakitan! Kalian para sipir, yang digaji Sang Maha Mulia untuk menghukum para pesakitan ini, sudah gila juga rupanya? Kalian akan membuat pernyataan bebas untuk pikiran kalian?” bentaknya. “Bahkan aku tak yakin kalian punya pikiran.”
“Dengar! Aku sudah berbaik hati membiarkan kalian berkumpul setiap sore di sini, kupikir itu bisa membantumu sembuh dari kegilaan jiwa kalian. Agar tidak bertambah lagi sampah seperti dia,” lanjut pria gendut itu sembari menunjuk ke arahku.
“Rupanya membiarkan kalian berkumpul tiap sore membicarakan hal-hal aneh yang tidak kupahami malah membuat otak kalian semakin tumpul, tidak bisa mensyukuri apa yang Sang Maha Mulia berikan kepadamu. Lihat aku! Tubuhku gemuk, uangku banyak, istriku cantik-cantik, dan anak-anakku pandai. Lihat kalian! Tubuhmu rusak, kurus, terlihat menjijikkan. Kalian tidak punya harta dan keluarga yang bisa dibanggakan. Semua karena kalian terus mengingkari apa yang Sang Maha Mulia berikan.”
“Kalian tidak tahu bahwa rakyat di luar sana bahagia. Kami senang dengan Sang Maha Mulia. Kami tidak merasa terganggu dengan rantai yang membelenggu otak kami. Selama Sang Maha Mulia melengkapi kebutuhan kami, kami akan tenang. Kami tidak merasa perlu bersusah payah untuk berpikir dan bersuara, karena dengan diam pun kami bisa hidup.” Sipir gendut itu mulai menceracau. Kakakku tampak hanya senyum-senyum puas. Ceracau sang bos sipir itu ditanggapi dengan senyum puas para jemaah. Si penceracau menjadi bingung melihat para jemaah tersenyum. Anak buahnya juga tampak bingung.
“Bos besar, baru saja Anda terjangkiti penyakit seperti kami. Baru saja Anda menggunakan suara Anda untuk mengungkapkan pemikiran Anda. Dan itulah impian kami, membuat negara ini berpikir dan bersuara. Bagaimanapun bentuknya. Sebab, pikiran dan suara kita yang seharusnya menentukan kehidupan bangsa kita. Sang Maha Mulia adalah pengejawantahan dari suara-suara rakyat,” jawab kakakku.
Bos sipir itu terdiam, dia mulai memahami bahwa rantai di otaknya sudah terlepas sejak dia membiarkan para pesakitan itu berkumpul. Begitu pula para bawahannya. Mereka menyadari bahwa khotbah kakakku tiap sore telah melahirkan kembali kesadaran mereka. Sang bos besar mengambil daun, dan ikut duduk bersama para jemaah, menulis surat pernyataan pembebasan pikirannya.
“Aku sangat modern dalam pemikiran, tapi sangat konservatif dalam keimanan. Kita semua bebas berpikir, tapi kusarankan cukup meyakini satu hal. Imanmu adalah imanmu, dan imanku adalah imanku. Tidak ada yang bisa mengubah itu kecuali iman kita masing-masing.”
Sejak sore itu, aku tidak lagi duduk di bawah pohon. Kakakku memberikan tempat terbaiknya untukku. Sebuah ruangan 3×4 meter, tanpa jendela dan lampu. Semata-mata untuk mengurungku bersama pikiranku yang dianggapnya gila.
Anisa Lailatul Fitria, kelahiran 24 Maret 1993,
mahasiswi Program Studi Gizi Kesehatan
Fakultas Kedokteran UGM angkatan 2011