
©Kanza/BAL
Kontrasepsi bukan sekadar alat, melainkan cermin ketimpangan yang masih melekat. Beban dipikul perempuan, tanggung jawab dibagi tak sepadan, akibat patriarki dan kapitalisme yang bersinggungan. Kontrasepsi seakan menjadi simbol, simbol ketimpangan melintas zaman yang didera perempuan.
“Seseorang tidak dilahirkan, melainkan menjadi seorang perempuan,” (Beauvoir 1949). Kata-kata abadi dari Simone de Beauvoir ini bergema dengan sangat menyakitkan dalam setiap wacana tentang kontrasepsi. Dalam hal ini, kontrasepsi sering kali menjadi bagian dari kebijakan pembangunan di negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia (Seltzer 2002). Kebijakan tersebut salah satunya diwujudkan melalui program Keluarga Berencana (KB) yang pada praktiknya cenderung membebankan perempuan. Terlebih, menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), partisipasi laki-laki untuk mengikuti program KB juga masih sangat rendah. Padahal, perempuan tidak ditahbiskan secara biologis untuk memikul tanggung jawab reproduksi, melainkan tanggung jawab yang dibebankan oleh masyarakat. Beban ini sangatlah berat, ditambah lagi dengan ekspektasi yang tidak setara, risiko medis yang terus-menerus, dan norma-norma patriarkis yang membebaskan laki-laki dari tanggung jawab bersama.
Mulai dari pil hormonal, alat kontrasepsi dalam rahim hingga implan dan suntikan, sebagian besar metode kontrasepsi memang telah dirancang untuk perempuan. Sementara itu, laki-laki diharapkan untuk mengandalkan pilihan yang sangat terbatas, yaitu kondom atau vasektomi. Ketidaksetaraan ini tidak berasal dari kebutuhan biologis, tetapi lebih sebagai konstruksi sosial yang memosisikan perempuan sebagai penjaga gerbang reproduksi. Akibatnya perempuan yang menanggung efek samping berupa perubahan mood, migrain, penambahan berat badan, dan lebih buruk lagi (Skovlund dkk 2016). Lantas, mengapa perempuan harus menanggung beban fisik dan emosional ini padahal pada dasarnya kontrasepsi adalah tanggung jawab bersama?
KB untuk Pembangunan
Pemaksaan kontrasepsi terhadap perempuan di Indonesia berkaitan erat dengan meletusnya peristiwa Gerakan 30 September di tahun 1965 (Dewi dan Kasuma 2014). Peristiwa tersebut membuka jalan bagi kebangkitan rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Proses konsolidasi kekuatan Orde Baru diwarnai dengan brutalitas. Kelompok antikomunis melakukan kampanye kekerasan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta organisasi-organisasi progresif yang serupa.
Selama proses berdarah ini, gerakan perempuan turut terkena imbasnya. Organisasi perempuan progresif ternama, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), ditindas dengan brutal. Banyak anggotanya dipenjarakan, dibunuh, bahkan dilecehkan. Kampanye Gerwani, terutama yang berkaitan dengan pemajuan hak-hak perempuan, segera dilarang oleh kubu antikomunis yang sedang membangun jalannya untuk berkuasa (Wieringa 2010) .
Setelah tragedi berdarah itu, tepatnya 1967, rezim Soekarno secara resmi berakhir dan digantikan oleh Orde Baru. Orde Baru dibangun dengan fondasi ibuisme negara yang berasal dari paternalisme yang sangat kuat (Dewi 2007). Menurut Suryakusuma (2011), ibuisme negara menempatkan posisi laki-laki sebagai elemen inti negara. Implementasi ibuisme negara dalam Orde Baru dapat dilihat dari penempatan perempuan sebagai elemen sekunder yang hanya boleh berkiprah dalam keluarga tanpa perlu mencampuri urusan politik. Tujuannya adalah untuk mengendalikan posisi perempuan dalam masyarakat demi mendukung kebijakan negara.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Orde Baru pun meminimalkan representasi dan peranan perempuan dengan tujuan membentuk ulang cara pandang masyarakat. Citra perempuan sebagai sosok militan tangguh, yang umumnya muncul di kampanye Gerwani, berganti menjadi sosok perempuan pada masa feodal yang ruang hidupnya hanya terbatas pada masak, manak, macak (3M) alias urusan rumah tangga (Dewi dan Kasuma 2014).
Depolitisasi berupa penghancuran gerakan perempuan selama peristiwa 65 dan restrukturisasi peran perempuan dalam kebijakan-kebijakan Orde Baru, mengindikasikan kuatnya fondasi paternalistik rezim tersebut. Setelah depolitisasi, Orde Baru bergerak lebih jauh untuk mengontrol otonomi perempuan Indonesia atas tubuhnya yang diwujudkan dengan kebijakan KB. Kebijakan ini merupakan wujud pengendalian posisi perempuan melalui kontrol alat reproduksi mereka demi mendukung kebijakan pengendalian penduduk negara yang menjadi salah satu tujuan utama Orde Baru (Dewi 2007).
Soeharto menganggap bahwa pengendalian angka kelahiran dapat menyelesaikan masalah kemiskinan dan kelaparan dengan menandatangani Declaration on Population pada tahun 1967 (Dewi dan Kasuma 2014). Penandatanganan ini juga didasari atas desakan dari kelompok teknokrat yang berperan penting dalam penyusunan kebijakan di awal Orde Baru (Hull 2005). Para teknokrat ini khawatir pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dapat mengancam pertumbuhan ekonomi.
Pengendalian jumlah penduduk akhirnya masuk sebagai salah satu kebijakan utama dalam menyokong pembangunan ekonomi di era Orde Baru. Hal ini dapat dilihat dari didirikannya Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) pada 1968 yang kemudian dikembangkan ke tingkat kementerian pada 1970 (Hull 2005). Selain itu, pada Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA), yang merupakan kebijakan pembangunan ekonomi ala Orde Baru, KB menjadi salah satu program utama. Rezim Orde Baru sangat berambisi dalam kebijakan pengendalian populasi yang dianggap penting dalam memperkuat fondasi pembangunan ekonomi serta pengentasan masalah kemiskinan (Rock 2003).
Dalam mewujudkan ambisinya, rezim Orde Baru mengampanyekan program KB secara gencar dan masif. Mereka mengerahkan satuan tugas penyuluhan ke desa-desa serta mengoordinasi organisasi perempuan bentukan rezim-seperti Dharma Wanita dan PKK- untuk terlibat dalam sosialisasi alat kontrasepsi kepada calon akseptor atau perempuan penerima program KB (Chandrakirana dkk 2009). Kegiatan ini dikoordinasikan lewat BKKBN yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Rezim kala itu menggunakan sistem target yang harus dipenuhi sehingga KB disosialisasikan dengan intensif dan represif. Tidak hanya itu, rezim menawarkan berbagai jenis alat kontrasepsi untuk menarik sebanyak mungkin calon akseptor. Tawaran tersebut berkisar dari IUD, susuk, pil KB, hingga permen antihamil berbentuk prangko yang dipakai dengan cara dijilat (Dewi dan Kasuma 2014).
Selain menawarkan alat kontrasepsi yang variatif, rezim Orde Baru juga menciptakan program Safari KB. Program ini diadakan setiap hari-hari besar, seperti Hari Peringatan Kemerdekaan, Hari Ibu, hingga Hari ABRI. Dalam Safari KB, aparat keamanan turut dilibatkan dalam kampanye penyuluhan alat kontrasepsi (Dewi dan Kasuma 2014). Mereka sering kali diterjunkan untuk menjemput paksa akseptor KB yang “bandel” dari rumah ke rumah dibarengi dengan kekerasan verbal seperti mengecap para perempuan yang menolak sebagai PKI atau Komunis (Chandrakirana dkk 2009). Kehadiran aparat dalam program ini memperlihatkan watak represif rezim terhadap kaum perempuan kala itu.
Tak cuma soal rezim yang represif, penggunaan alat kontrasepsi sendiri juga bermasalah. Dalam kajian medis, beberapa kasus penggunaan alat kontrasepsi, misalnya IUD, telah menimbulkan sejumlah efek samping (Hutchings dkk 1985), seperti pendarahan berlebih saat menstruasi, rasa sakit pada alat kelamin, serta infeksi. Secara sosial, perempuan cenderung menjadi korban dengan adanya kebijakan KB yang dipaksa. Perlu diingat bahwa kebijakan tersebut diterapkan lewat kekuatan tangan besi demi mencapai target akseptor KB yang ditetapkan oleh penguasa. Dengan kata lain, rezim kala itu mendesak kepatuhan pada perempuan untuk dipasangi alat kontrasepsi (Kumalasari 2018). Kebijakan ini telah mengekang perempuan sedemikian rupa dengan mencabut hak mereka atas organ reproduksinya (Susilo dan Kodir 2016).
Kontrasepsi, Sistem Ekonomi, dan Jejak Patriarki
Fakta bahwa perempuan menanggung beban disproporsional dalam lanskap masyarakat dan medis dari metode kontrasepsi bukanlah suatu hal yang terjadi dalam ruang hampa. Hal ini merupakan bagian dari persinggungan antara proses historis sistem ekonomi kapitalisme, patriarki, dan akumulasi primitif dalam membentuk tenaga kerja serta tubuh reproduksi perempuan. Tujuannya agar perempuan bisa dikontrol, dikomodifikasi, dan dibebani untuk pengelolaan populasi tenaga kerja.
Akumulasi primitif, seperti yang dimaksud oleh Karl Marx, adalah proses ketika kepemilikan komunal seperti tanah dan yang lain-lain menjadi basis untuk pembangunan struktur ekonomi kapitalis. Selain terciptanya buruh upahan dan kapital, proses ini juga mengukuhkan sistem patriarki dengan mendefinisikan ulang perempuan dalam masyarakat. Salah satu tokoh feminis, Silvia Federici, menganggap bahwa hal tersebut secara konstitutif melibatkan penaklukan perempuan melalui mekanisme kasar dan agresif seperti witch hunts ‘perburuan penyihir’ dalam sejarah Eropa awal. Perempuan didisiplinkan dan dikurung dalam peran-peran reproduktif yang melayani ekonomi kapitalis dan masyarakat kelas secara luas. Dalam hal ini, pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar untuk ekstraksi nilai lebih menjadi sangat penting dalam mereproduksi tenaga kerja, tetapi direndahkan secara sistematis.(Federici 2004).
Berangkat dari itu, kapitalisme melanggengkan dan memelihara patriarki dengan penguatan peran reproduktif perempuan dan peran gender tradisional. Perempuan secara disproporsional dibebani dengan pekerjaan domestik yang tidak dibayar seperti mengurus anak dan rumah tangga serta mendukung pekerja yang mensubsidi struktur kapitalisme. Pembagian kerja tersebut dibingkai secara artifisial sebagai suatu hal yang alami atau biologis, mengaburkan eksploitasi sistemik terhadap perempuan di bawah kapitalisme dan masyarakat kelas secara universal (Engels 1884). Salah satu contoh penguatan peran gender tradisional dan kaitannya dengan ketidakseimbangan beban kontrasepsi adalah kepercayaan terhadap mitos bahwa sterilisasi laki-laki atau vasektomi akan memengaruhi kejantanan. Dalam hal ini, tak sedikit pasangan rumah tangga yang khawatir sang suami akan menjadi lemah jika melakukan prosedur kontrasepsi sehingga tidak dapat bekerja maksimal sebagai pencari nafkah keluarga.
Lebih dari itu, patriarki beroperasi secara ideologis dalam suprastruktur masyarakat kapitalis untuk melumrahkan penindasan terhadap perempuan. Sistem tersebut memastikan bahwa laki-laki menjadi penerima utama dari kerja yang berbayar, sementara perempuan menanggung beban kerja domestik dan peran reproduksi. Eksploitasi ini mempertahankan hierarki kelas dan penindasan berbasis gender (Vogel 1983).
Fokus industri bioteknologi pada kontrasepsi perempuan adalah contoh yang sangat jelas tentang persimpangan antara patriarki dan kapitalisme. Secara biologis, proses reproduksi perempuan dinilai lebih mudah diprediksi dan diintervensi, seperti ovulasi atau siklus menstruasi. Dalam hal ini, fokus disproporsional terhadap perempuan tidak hanya mengenai praktikalitas, tetapi juga merefleksikan bias sistemik yang memprioritaskan kendali atas fertilitas perempuan. Pada saat yang sama, kondisi ini juga menyebabkan berkembangnya metode kontrasepsi yang sebagian besar menargetkan perempuan, seperti pil KB, suntik, implan (susuk), spiral atau IUD, dan sterilisasi atau tubektomi. Sementara itu, penelitian kontrasepsi laki-laki diabaikan karena kurangnya insentif profit dan pemeliharaan beban tenaga kerja domestik yang tidak dibayar ke perempuan (Sitruk-Ware 2018; Wang 2022).
Insentif kapitalis semakin memperburuk ketidakseimbangan ini. Faktanya, hanya sedikit perusahaan farmasi yang tertarik mengembangkan kontrasepsi laki-laki. Peneliti pun menganggap hal ini tidak terlepas dari alasan bisnis (Alexandra 2019). Dalam hal ini, industri farmasi dan bioteknologi memprioritaskan model profit yang berulang, yang lebih mudah dicapai dengan menjual metode kontrasepsi hormonal perempuan yang memerlukan penggunaan berkelanjutan. Sebaliknya, kontrasepsi laki-laki, seperti perawatan hormonal atau vasektomi yang dapat dihentikan atau reversible, dianggap kurang menguntungkan (Plana 2015; Spantig 2024). Akibatnya, pengembangan metode kontrasepsi untuk laki-laki pun menjadi sangat lambat. Bersamaan dengan kuatnya sistem patriarki, terbatasnya pilihan metode bagi laki-laki ini turut membentuk anggapan bahwa kontrasepsi adalah urusan perempuan (Wahyudi 2019).
Akhir Kata
Di bawah rezim Orde Baru, perempuan menjadi sasaran kontrasepsi demi mendukung kebijakan pengendalian populasi yang diyakini dapat mengentaskan kemiskinan dan kelaparan. Perempuan menjadi sasaran kontrasepsi akibat pembagian peran gender tradisional yang tidak proporsional. Beban fisik dan emosional akibat kontrasepsi yang ditanggung perempuan pada akhirnya tidak terlepas dari patriarki dan kapitalisme.
Penulis: Rizky Miftah Satwika Hermawan Putra, Mahira Putu Ariandhini, dan Raditya Mainaka Timurangin (Magang)
Penyunting: Petra Noor Imanuel Aronds
Ilustrator: Kanza Anieq
Daftar Pustaka
Alexandra, Rae. 2019. “How Women’s Birth Control Burdens are Exacerbated by Pop Culture.” KQED, 18 Desember. https://www.kqed.org/arts/13870360/how-womens-birth-control-burdens-are-exacerbated-by-pop-culture.
Beauvoir, de Simon. 1949. The Second Sex. Librairie Gallimard.
Chandrakirana, Kamala, Ayu Ratih, dan Andy Yentriyani. 2009. Kita Bersikap: Empat Dasawarsa Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perjalanan Berbangsa. Komnas Perempuan.
Dewi, Kurniawati Hastuti. 2007. “Demokratisasi dan Dekonstruksi Ideologi Gender Orde Baru.” Jurnal Penelitian Politik 4 (1): 59-68. https://www.academia.edu/download/62856325/Dekontruksi_Ideologi_Gender_ORBA_Kurniawati_H_Dewi.pdf.
Dewi, Vitriyana Kusuma, dan Gayung Kasuma. 2014. “Perempuan Masa Orde Baru (Studi Kebijakan PKK dan KB tahun 1968-1983).” Verleden: Jurnal Kesejahteraan 4 (2): 157-172. https://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-verleden9193203233full.pdf.
Engels, Friedrich. 1884. The Origin of the Family, Private Property and the State. Marx/Engels Internet Archive. https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/origin_family.pdf.
Federici, Silvia. 2004. Caliban and The Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation. Autonomedia.
Hull, Terence H. 2005. People, Population, and Policy in Indonesia. Equinox Publishing.
Hutchings, Jane E., Patti J. Benson, Gordon W. Perkin, dan Richard M. Soderstrom. 1985. “The IUD After 20 Years: A Review of Worldwide Experience.” International Family Planning Perspectives 11 (3): 77–86. https://doi.org/10.2307/2947998.
Kumalasari, Luluk Dwi. 2018. “Politik Perempuan Berbasis Gender.” Community: Pengawas Dinamika Sosial 2 (3). http://jurnal.utu.ac.id/jcommunity/article/view/97.
Pandey, Geeta. 2022. “NFHS-5: Why Birth Control Remains a Woman’s Burden in India.” BBC, 27 Juni. https://www.bbc.com/news/world-asia-india-61906015.
Plana, Olivia. 2015. “Male Contraception: Research, New Methods, and Implications for Marginalized Populations.” American Journal of Men’s Health 11 (4): 1182–89. https://doi.org/10.1177/1557988315596361.
Rock, Michael T. 2003. “The Politics of Development Policy and Development Policy Reform in New Order Indonesia.” William Davidson Institute Working Paper 632, The William Davidson Institute at The University of Michigan Business School, Michigan. https://deepblue.lib.umich.edu/bitstream/handle/2027.42/40018/wp632.pdf?sequence=3.
Seltzer, Judith R. 2002. The Origins and Evolution of Family Planning Programs in Developing Countries. 1st ed. RAND Corporation. http://www.jstor.org/stable/10.7249/mr1276wfhf-dlpf-rf.
Sitruk-Ware, Regine. 2018. “Getting Contraceptives for Men to the Market Will Take Pharma’s Help.” STAT News, 11 Mei. https://www.statnews.com/2018/05/11/contraceptives-for-men-pharma/.
Skovlund, Charlotte Wessel, Lina Steinrud Mørch, Lars Vedel Kessing, dan Øjvind Lidegaard. 2016. “Association of Hormonal Contraception with Depression.” JAMA Psychiatry 73 (11): 1154–1162. https://doi.org/10.1001/jamapsychiatry.2016.2387.
Spantig, Aline. 2024. “Male Contraception: A Growing Business with Game Changers?” DW, October 20, 2024. https://www.dw.com/en/male-contraception-is-a-growing-business-but-new-products-need-more-funding-v1/a-70453644.
Sugandi, Ahmad Thovan. 2024. “Kontrasepsi: Berat Beban ke Perempuan.” Detik News, 9 Juli. https://news.detik.com/x/detail/spotlight/20240709/Kontrasepsi-Berat-Beban-ke-Perempuan/.
Suryakusuma, Julia I. 2011. State Ibuism: The Social Construction of Womanhood in New Order Indonesia. Komunitas Bambu.
Susilo, Daniel, dan Abdul Kodir. 2016. “Politik Tubuh Perempuan: Bumi, Kuasa, dan Perlawanan.” Jurnal Politik 1 (2): 317–330. https://scholarhub.ui.ac.id/politik/vol1/iss2/5.
Vogel, Lise. 1983. “Marxism and the Oppression of Women: Toward a Unitary Theory.” Rutgers University Press.
Wahyudi, M. Zaid. 2019. “Pil KB Pria Masih Jauh dari Harapan.” Kompas, 27 Maret. https://www.kompas.id/baca/utama/2019/03/27/pil-kb-laki-laki-masih-jauh-dari-harapan.
Wang, Christina Chung-Lun. 2022. “Male Birth Control Is in Development, but Barriers Still Stand in the Way.” Scientific American, 13 Oktober. https://www.scientificamerican.com/article/male-birth-control-is-in-development-but-barriers-still-stand-in-the-way/.
Wieringa, Saskia Eleonora. 2010. Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Galangpress.