
©Selpha/Bal
Perihal normal dan tidak normal dalam memandang kondisi mental menjadi akal-akalan industri farmasi untuk memutar roda kapital. Melalui klaim-klaim psikiatri, individu dipaksa percaya begitu saja. Ia menganggap dirinya akan baik-baik saja walau mentalnya telah dikapitalisasi.Â
Pada mulanya, otak manusia memang didesain untuk memproduksi zat kimia yang membuat dirinya mengalami ketakutan dan kecemasan. Berdasarkan teori unchanging brain, sebagian orang memang lahir dengan keadaan saraf yang belum memadai atau mental limitations, sedangkan sebagian lagi memang sudah lahir dengan otak yang sehat. Keadaan otak yang sehat akan membantu setiap orangnya mampu mengefisiensikan kemampuan saraf untuk berkembang dengan baik secara mental, sedangkan yang lainnya tidak karena otak dianggap tidak dapat diubah kondisinya (Doidge 2007).
Walau demikian, orang-orang yang mengalami mental limitations dan yang tidak tetap akan mengalami insomnia, kecemasan, atau saraf yang kelelahan. Pasalnya, kondisi saraf yang dipaksa untuk bekerja secara berlebihan akibat faktor eksternal–bukan biologis–akan menciptakan efek-efek ketakutan, kecemasan, dll. sebagai respons otak yang kelelahan. Oleh karena itu, seharusnya kecemasan menjadi salah satu bentuk kenormalan atas diri manusia itu sendiri.Â
Namun pada tahun 2002, muncul sebuah artikel propaganda akan sebuah jenis obat antipsikotik yang menawarkan solusi untuk “menekan” otak manusia agar berhenti memproduksi kecemasan. Bertajuk “Don’t Ask, Don’t Tell, but Benzodiazepines are Still The Leading Treatments for Anxiety Disorder” oleh Stephen M. Stahl, artikel itu juga menawarkan penggunaan jenis obat benzodiazepine dan serotonergik secara bersamaan dapat mengecilkan efek dari penggunaan hanya satu jenis obat saja. Mengejutkannya setelah penerbitan artikel ini, penjualan benzodiazepine meningkat dalam pengobatan psikiatri.Â
Benzodiazepine sebagai jenis obat antidepresan memang sudah sering digunakan untuk menghentikan efek kecemasan jangka panjang. Namun, penggunaan jenis obat ini juga menyebabkan efek samping dan Stahl sendiri tanpa sungkan-sungkan sudah menyebutkan pula kelemahannya. Meski begitu, Ia menjelaskan bahwa benzodiazepine yang dikonsumsi berbarengan dengan serotonergik menjadi solusi paling mujarab untuk mengobati kecemasan (Stahl 2002).Â
Dalam jurnal yang ditulis oleh Agarwal dan Landon (2019), preskripsi penggunaan benzodiazepine di Amerika Serikat meningkat dari angka 27,6Â juta pengguna pada 2003, menjadi 62,6 juta preskripsi pada tahun 2015. Hal ini memang tidak menihilkan kemanjuran dari benzodiazepine untuk menetralkan ketegangan saraf yang mengakibatkan kecemasan berlebihan. Namun, dalam beberapa penelitian memaparkan temuan terhadap dampak buruk penggunaan benzodiazepine.Â
Konsumsi dari benzodiazepine tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan plasebo antipsikotik lainnya. Itu yang pertama. Kedua, saat seseorang secara rutin mengonsumsi benzodiazepine, ia akan merasa sarafnya sudah rileks sehingga bisa merasa kecanduan. Ketiga, setelah pasien berhenti menggunakan benzodiazepine, ia akan kembali merasa cemas (rebound anxiety). Rebound anxiety dapat meningkat dua atau bahkan tiga kali lipat dari kondisi sebelumnya, dengan gejala psikis lainnya yang mengikuti seperti sakit kepala, tremor, atau bahkan kejang (Whitaker 2010). Kondisi-kondisi demikianlah yang dimanfaatkan oleh institusi medis dan farmasi untuk mengkomersialisasikan gangguan mental.
Hegemoni Diagnosis Penyakit Mental
Semenjak tahun 1952, American Psychiatric Association (APA) telah menetapkan standar diagnosis kelainan jiwa. Kemudian, standar itu diperbarui dan digantikan menjadi Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis. DSM menjadi acuan yang banyak digunakan dokter dan psikiatri dalam mengkategorisasikan manusia ke dalam spektrum normal dan tidak normal (disorder) dalam dunia psikiatri (Frazer-Caroll 2023). Kategorisasi ini hadir dengan versi yang pertama, DSM satu yang direvisi untuk memperjelas kategori penyakit mental. Kemudian, DSM menjadi populer pada tahun 1980 dengan munculnya DSM edisi ketiga yang menambahkan lebih banyak kategori penyakit dan membantu peningkatan praktik psikiatri di Amerika. Peningkatan ini juga dipengaruhi oleh penggunaan DSM sebagai kurikulum utama dalam pendidikan psikiatri. Dari sini, klaim ontologis dan kanon biomedis dalam DSM menjadi identitas medis psikis yang terus dipertahankan (Kawa dan Giordano 2012).
Perubahan klaim diagnosis penyakit mental akhirnya melebarkan spektrum ketidaknormalan manusia. Seorang Psikolog Anak, Shoshana Levin Fox mengungkapkan bahwa saat ini anak-anak jauh lebih mudah untuk diberikan diagnosis Autism Spectrum Disorder (ASD)–autisme. Dalam tulisan opininya, ia melihat kemudahan dalam pemberian diagnosis karena semakin luasnya cakupan gejala autisme anak di dalam DSM kelima pada tahun 2013.
“Di lain sisi, tidak semua anak-anak dengan permasalahan sensorik pasti autistik. Sayangnya, semakin luasnya gejala autisme membuat semakin banyaknya saya temui anak-anak yang didiagnosa oleh praktisi sebagai Autism Spectrum Disorder” (Fox, 2024).
Melebarnya spektrum DSM melahirkan beberapa poin kritik yang mempertentangkan keabsahan dari diagnosis APA. Pertama, kritik epistemik tentang definisi kesehatan mental (Kinghorn 2020). Kedua, sektor sosial-budaya dan historisitas sebagai latar belakang orang yang dianggap pasien kejiwaan (Breadström 2019). Ketiga, peran industri farmasi dan asuransi lewat media dalam pembuatan DSM (Pickersgill 2014). Keempat, keabsahan metodologis akan kategori-kategori diagnosis dalam DSM (Phillips dkk. 2012).
Semua kritik ini tidak menemukan titik tengah karena pada akhirnya pengkategorisasian spektrum penyakit mental memang hanya bisa diberikan oleh orang-orang dengan lisensi khusus, seperti psikiater dan/atau psikolog. Pemberian kuasa ini dikarenakan anggapan bahwa mereka memiliki landasan epistemik yang lebih objektif, runtut, dan definitif (Pies 2007). Lalu, bagaimana dengan individu yang mengalaminya sendiri? Mengapa mereka tidak bisa memberikan penjelasannya sendiri?
Sederhananya, ketiadaan penggunaan kata ahli untuk mengklaim diagnosis penyakit mental justru menyisihkan pengalaman pasien. Pada gilirannya, kondisi ini menihilkan keabsahan dari pengalaman individu (Ficker 2007). Penihilan keabsahan pengetahuan individu akan diturunkan dalam tindakan sinisme yang lahir dari konstruksi masyarakat yang hanya percaya pada ahli. Nantinya, individu yang didiagnosis penyakit mental hanya akan mendapatkan pelabelan “disabilitas mental” dengan dilandasi intuisi bahwa manusia “normal” berbeda dengan yang tidak normal (Poole, dkk. 2012). Penggunaan klaim-klaim bahwa pengalaman individu tidak cukup kredibel atas kedisabilitasan yang dimiliki memberikan ruang politisasi lebih besar terhadap tindakan diagnosis penyakit mental. Walakin, DSM menjadi sumber yang semakin kuat bahkan satu-satunya dalam mengklasifikasikan sesiapa anak manusia.Â
Sampai saat ini, pemutakhiran-pemutakhiran terhadap DSM masih dilakukan untuk mengembangkan pengklasifikasian penyakit, yang akhirnya membuat penggolongan penyakit mental menjadi terlalu muluk. Pelebaran ini menyebabkan inflasi diagnosis psikiatri dan mendorong penggunaan obat-obatan sebagai solusinya (Frances 2013). Klaim inflasi diagnosis juga sudah disampaikan oleh Whitaker (2010), bahwasannya peningkatan jumlah pasien dengan diagnosis penyakit tidak menurun walaupun jumlah penggunaan obat-obat antipsikotik dalam dunia psikiatri tetap meningkat.Â
Ruang inflasi membukakan pintu seluas-luasnya bagi psikiatri untuk memedikalisasi individu dan industri farmasi untuk mempolitisasi penyakit mental. Pasalnya, industri farmasi hanya bisa bertahan hidup lewat pemanfaatan “kebutuhan” manusia untuk bertahan dalam pengkalsifikasian sehat dan tidak sehat. Kebutuhan klasifikasi normal atau sehat yang berfungsi secara sosial diselesaikan lewat konsumsi obat-obatan (Rajan 2006). Jadi, bukan sebuah kebetulan pelebaran DSM-V yang menaruh perilaku umum menjadi kelainan (Frances 2013) dan produksi obat-obatan berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah spektrum ketidaknormalan yang dilahirkan oleh institusi untuk memegang kuasa diagnosis (Rajan 2006). Dengan kondisi yang demikian, sah untuk menyebutkan klaim dari kalangan anti-psikiatrik yang diungkapkan Foucault (1961), bahwa psikiatri hadir hanya sebagai sebuah alat kontrol sosial bagi mereka yang “menyimpang”.
Medikalisasi Kejiwaan dalam Kapitalisme
APA mendefinisikan penyakit mental sebagai sebuah penyakit yang memasukkan ketidakmampuan, sifat, atau kombinasi dari keduanya dalam mengontrol emosi. Ketidakmampuan ini akhirnya menyebabkan seseorang untuk menjalankan lakunya sebagai bagian dari sosial karena dianggap tidak akan mampu memberikan kontribusi. Saat tidak bisa menjalankan lakunya sebagai bagian dari struktur sosial, pekerjaan, ataupun keluarga, maka ia dikategorikan sebagai orang dalam gangguan atau permasalahan kejiwaan.Â
Kategorisasi manusia inilah yang digunakan oleh APA untuk menciptakan spektrum-spektrum normal dan tidak normal yang dilahirkan lewat diagnosis. Namun, sebenarnya penggolongan semacam ini sudah mulai muncul semenjak sistem industri masuk ke dalam rongga-rongga struktur masyarakat. Ia menyelinap di sela waktu-waktu pertumbuhan pabrik dan perputaran modal dalam menghasilkan sebuah produk untuk dipasarkan. Hal ini terlihat sejak meningkatnya data terkait jumlah pasien di rumah sakit jiwa pertama Inggris–Bethlem Royal Hospital (Andrews, dkk. 1997). Berpindah ke masa saat ini, serangkaian laporan peningkatan masalah kejiwaan pekerja akibat jam kerja yang tak bisa lagi diatur oleh teknologi dirinya–tekanan mulai bermunculan.Â
Penjelasan tersebut juga tercantum dalam laporan tekanan pekerjaan yang dipaparkan oleh Financial Times pada tahun 2024, tingkat kematian dalam perusahaan produksi dan pengembang permainan digital–Netmarble–meningkat pada tahun 2014. Lalu, pada tahun 2021, pekerja perusahaan Nerve bahkan ditemukan tidak bernyawa dengan catatan bunuh diri yang berisikan alasannya untuk bunuh diri. Semua kematian para pekerja ini disebabkan oleh jam lembur dan tekanan kerja yang ekstrem. Bahkan, Kepala Rumah Sakit Kangbuk Samsung menyebutkan bahwa ada 60 persen pekerja Korea Selatan yang mengalami tekanan kerja ekstrem akibat konflik pekerjaan dengan karyawan lainnya (Song 2024).
Kemunculan sistem kerja yang bobrok mendesak pekerja untuk keluar dari kondisi optimalnya. Hal ini didasari kebutuhan kapital untuk mendapatkan keuntungan yang mengharuskan setiap pekerja mengikuti iklim kerja yang demikian kurangnya. Sementara, para pekerja tidak diberikan ruang untuk “menikmati” pekerjaannya (Rovnick 2012).Â
Belum lagi menyebutkan industri farmasi yang dengan baik mengemas promosinya lewat pendanaan penelitian obat-obatan yang menguntungkan mereka. Industri farmasi mulai memberikan pendanaan kepada para peneliti untuk memaparkan kemanjuran obat mereka, sebut saja kasus tuntutan kepada salah satu perusahaan farmasi terbesar, Johnson & Johnson (J&J) pada tahun 2013. J&J harus membayarkan denda sebanyak USD 2,2 miliar untuk beberapa tuduhan, mulai dari pengedarannya yang tidak disetujui Food and Drug Administration sampai penyuapan dokter dan apoteker dalam promosi obat mereka, Risperdal.Â
J&J bukan satu-satunya industri farmasi yang menghadapi tuntutan ini. GlaxoSmithKline pun harus membayarkan denda miliaran dolar untuk tuntutan pengedaran obat antidepresan ilegal mereka–paroxetine–yang menimbulkan gejala psikis untuk melakukan bunuh diri. Kasus-kasus pengedaran obat secara ilegal ini menunjukkan kecenderungan industri farmasi untuk mengutamakan promosi guna mencapai keuntungan dalam pendistribusian obat-obatannya. Sama seperti yang dijelaskan Alvater Elmar, pemodal akan mengutamakan keinginannya karena itu lebih mudah untuk dicapai,alih-alih mempertahankan konsentrasi tujuan pembuatan produk (Elmar 1987).Â
Selain dari adanya industri, kapitalisme yang sudah menjadi identitas masyarakat kontemporer (Fisher 2013) juga menjadi alasan bahwa penyakit mental disebabkan ketidak-proporsional-an struktural yang menyebabkan keadaan psikologis tertekan. Oleh karenanya, kuasa atas kapitalisme dan kuasa individu adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan (Alder-Bolton dan Vierkant 2022).
Pasalnya, individu adalah pemegang eksaminasi narasi yang dibentuk institusi yang memiliki landasan kepentingan dan kekuasaan. Maka, salah satu bentuk penanganan medikalisasi kesehatan mental adalah memahami hubungan langsung politik, ekonomi, dan tubuh individu sebagai inang yang menghidupi sistem dan industri yang kapitalistik.
       “It is for this reason that capital only fears health. It is up to us to separate them” (Alder-Bolton dan Vierkant 2022).
Penulis: Ester Veny
Penyunting: Nafiis Anshari
Ilustrator: Selpha Nur Adinda
Daftar Pustaka
Agarwal, Sumit D., dan Bruce E. Landon. 2019. “Patterns in Outpatient Benzodiazepine Prescribing in the United States.” JAMA Network Open 2 (1): e187399. https://doi.org/10.1001/jamanetworkopen.2018.7399.
Alder-Bolton, Beatrice dan Artie Vierkant. 2022. Health Communism. CPI Group (UK) Ltd. United Kingdom.
Alvater, Elmar. 1978. “Some Problems in State Interventionism: The “Particularization” of the State in Bourgeois Society.” dalam In State and Capital: A Marxist Debate, disunting oleh John Holloway danSol Picciotto. Edward Arnold Publishers. London.Â
American Psychiatric Association. 2023. “DSM History.” Psychiatry.org. American Psychiatric Association. 2023. https://www.psychiatry.org/psychiatrists/practice/dsm/about-dsm/history-of-the-dsm.
Andrews, Jonathan, Asa Briggs, dkk. 1997. The History of Bethlem. Routledge. New York. The History of Bethlem – Jonathan Andrews – Google Books.
Bredström, Anna. 2019. “Culture and Context in Mental Health Diagnosing: Scrutinizing the DSM-5 Revision”. Journal of Medical Humanities 40, 2019. https://doi.org/10.1007/s10912-017-9501-1Â
Doidge, Norman. 2007. The Brain That Changed Itself. Penguin Books Ltd. The Brain That Changes Itself: Stories of Personal Triumph from the … – Norman Doidge, M.D. – Google Books.
Ficker, Miranda. 2007. Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing. Oxford University Press. New York.Â
Fisher, Mark. 2009. Capitalist Realism. Zero Books.
Frances, Allen. 2013. “The Past, Present, and Future of Psychiatric Diagnosis.” World Psychiatry, 12: 111-112. https://doi.org/10.1002/wps.20027.Â
Frazzer-Caroll, Micha. 2023. Mad World: The Politics of Mental Health. Pluto Press.
Foucault, Michel. 1961. History of Madness. Routledge.
Fox, Shoshana Levin. 2024. “As a Psychologist, I’ve Seen Many Children Misdiagnosed as Autistic—It’s a Clinical Catastrophe.” Mad in America. Mad in America – Science, Psychiatry and Social Justice
Jung-A, Song. 2024. “South Korea Starts to Raise Game on Workplace Mental Health.” South Korea starts to raise game on workplace mental health
Kawa, Shadia, dan Giordano, James. 2012. “A Brief Historicity of the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders: Issues and Implications for the Future of Psychiatric Canon and Practice.” Philosophy, Ethics, and Humanities in Medicine, 7, Article No. 2. https://doi.org/10.1186/1747-5341-7-2Â
Kinghorn, Warren. 2020. “Crisis in Psychiatric Diagnosis? Epistemological Humility in the DSM Era”, The Journal of Medicine and Philosophy: A Forum for Bioethics and Philosophy of Medicine, Volume 45, Issue 6, Desember 2020. https://doi.org/10.1093/jmp/jhaa026
Njoku, Ihuoma. 2022. “What Is Mental Illness?” American Psychiatric Association. 2022. https://www.psychiatry.org/patients-families/what-is-mental-illness Â
Pickersgill, Martyn D. 2014. “Debating DSM-5: diagnosis and the sociology of critique”. Journal of Medical Ethics 2014;40:521-525.
Pies, Ronald. 2007. “How “Objective” are Psychiatric Diagnoses?: (guess again).” Psychiatry (Edgmont (Pa. : Township)) vol. 4,10 (2007): 18-22. How “Objective” Are Psychiatric Diagnoses? (Guess Again) – PMC.
Phillips, James, Allen Frances, Michael A Cerullo, John Chardavoyne, Hannah S Decker, Michael B First, Nassir Ghaemi, dkk. 2012. “The Six Most Essential Questions in Psychiatric Diagnosis: A Pluralogue Part 1: Conceptual and Definitional Issues in Psychiatric Diagnosis.” Philosophy, Ethics, and Humanities in Medicine 7 (1): 3. https://doi.org/10.1186/1747-5341-7-3.
Poole, Jennifer, Tania Jivraj, Araxi Arslanian, Kristen Bellows, Sheila Chiasson, Husnia Hakimy, Jessica Pasini, dan Jenna Reid. 2012. “Sanism, ‘Mental Health’, and Social Work/Education: A Review and Call to Action”. Volume 1: Intersectionalities: A Global Journal of 2012 Social Work Analysis, Research, Polity, and Practice . (PDF) Sanism, ‘Mental Health’, and Social Work/Education: A Review and Call to Action.
Rajan, Kaushik S. 2006. Biocapital: The Constitution of Postgenomic Life. Duke University Press.
Rovnick, Naomi. 2012. “Behind the Foxconn Riot: The Turbulent Future of Chinese Manufacturing”. The Guardian. Behind the Foxconn Riot: The Turbulent Future of Chinese Manufacturing – The Atlantic.
Stahl, Stephen M. 2002. “Don’t Ask, Don’t Tell, But Benzodiazepines are Still The Leading Treatments for Anxiety Disorder.” Don’t Ask, Don’t Tell, But Benzodiazepines are Still The Leading Treatments for Anxiety Disorder.
TIME. 2012. “Breaking down GlaxoSmithKline’s Billion-Dollar Wrongdoing.” TIME. Time. 5 Juli, 2012. https://time.com/archive/7138146/breaking-down-glaxosmithklines-billion-dollar-wrongdoing/.Â
U.S Department of Justice. 2013. “Johnson & Johnson to Pay More than $2.2 Billion to Resolve Criminal and Civil Investigations.” Justice.gov. November 4, 2013. https://www.justice.gov/archives/opa/pr/johnson-johnson-pay-more-22-billion-resolve-criminal-and-civil-investigations.Â
Whitaker, Robert. 2010. Anatomy of An Epidemic: Magic Bullets, Psychiatric Drugs, and The Astonishing Rise of Mental Illness in America. Broadway Books. New York.