
©Hadrian/Bal
DPR Indonesia resmi mengundangkan rancangan perubahan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) pada rapat paripurna yang digelar Selasa (18-02). Sebelumnya, Badan Legislasi telah mengadakan pembahasan mendadak mengenai RUU Minerba pada Senin (20-01). Hanya berselang sehari, RUU ini menjadi usulan inisiatif DPR dalam suatu rapat tertutup. Kemudian, Kamis (23-01)), DPR dengan segera menggelar Rapat Paripurna untuk mengesahkan RUU Minerba, tanpa menghadirkan partisipasi publik.
Menurut pantauan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), rapat pembahasan mengenai Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan penyempurnaan redaksional isi RUU Minerba berlangsung hanya 4 hari. Dalam waktu pendek itu mereka rupanya mampu dan berhasil membuat 256 DIM dengan 14 pasal baru. Rapat tersebut dilakukan hingga larut malam, secara tertutup, dan jelas melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang seharusnya bersifat terbuka.
Terdapat dua belas poin yang telah diubah dalam Undang-Undang (UU) Minerba melalui pembaruan dan penambahan pasal. Perubahan ini meliputi pemberian hak Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang dapat diberikan kepada badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan, pemberian dana hibah kepada perguruan tinggi dari sebagian keuntungan, hingga rencana pemberian hak konsesi tambang kepada masyarakat adat. Pengubahan ini dirasa perlu untuk dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). “Sejalan dengan prioritas pembangunan Kabinet Merah Putih yang tertuang dalam Asta Cita [Prabowo-red],” ungkap Bahlil pascapengundangan ini dilansir dari laman Kementerian ESDM.
“Tentu revisi UU Minerba ini memang ugal-ugalan, jangka waktunya pendek, dan kalaupun ada konsultasi publik maka itu untuk mendukung frame DPR,” ujar I Gusti Agung Made Wardana, selaku pakar hukum lingkungan UGM. Pakar hukum yang kerap disapa Igam itu menjelaskan, pintu masuk bagi DPR untuk melakukan revisi adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU nomor 3 tahun 2020. Bahkan setelah sempat diajukan judicial review oleh para pegiat lingkungan dan korban kriminalisasi tambang, beberapa pasal dalam UU tersebut dinyatakan MK sebagai inkonstitusional bersyarat.
“Ketika sebuah wilayah tambang sudah ditetapkan pemerintah, maka penetapannya tidak boleh diubah sama sekali,” ujar Igam menjelaskan pasal yang bermasalah dalam UU Nomor 3 Tahun 2020. Menurutnya, yang juga menjadi saksi ahli dalam persidangan, ketika mineral sudah habis; maka tambang mestinya ditutup, direklamasi, dan diubah peruntukan ruangnya. Misal, menjadi kawasan lindung, sedangkan pasal dalam UU tersebut tidak memberikan penjelasan terkait kondisi yang bisa mengubah peruntukan tambang. Menurut Igam, untuk merespons itu maka MK memutuskan agar UU Nomor 3 Tahun 2020 harus diubah sesuai dengan syarat MK, yang kemudian menjadi pintu masuk DPR untuk melakukan revisi.
Kemudian, putusan MK bukan menjadi justifikasi sebenarnya, urgensi DPR melakukan revisi UU Minerba adalah respons politik guna memberikan konsesi tambang kepada ormas keagamaan melalui proses “lelang”. Sebelumnya, pemberian konsesi tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024, tetapi bertentangan dengan UU Minerba sebelum direvisi sehingga tidak bisa dilaksanakan. Musababnya, sebelum direvisi UU Minerba hanya memberikan kran pengelolaan tambang kepada BUMN, BUMD, Koperasi, dan Badan Usaha Swasta saja. “Jadi, undang-undangnya harus diubah dengan memasukkan subjek penerima izin usaha pertambangan, salah satunya adalah ormas keagamaan,” lanjut Igam.
Menurut Igam, ketika industri tambang berhasil menggandeng ormas keagamaan, harapannya umat dalam ormas keagamaan akan loyal terhadap ormasnya dan industri tambang. Sebab, seringkali penentang industri juga datang dari ormas keagamaan yang menganggap penambangan itu merusak lingkungan. “Organisasi keagamaan kemudian dipilih karena memiliki konstituen yang jelas dan sangat powerful,” ucap Igam.
Di tengah mencuatnya isu pemberian konsesi tambang bagi ormas keagamaan, turut muncul usulan pemberian konsesi tambang bagi Perguruan Tinggi (PT). Namun, upaya tersebut mendapat penolakan keras dari publik, sebab menyalahi Tridharma Perguruan Tinggi. “Memang perguruan tinggi tadinya ingin diajak untuk ikut dalam rangka memperluas partisipasi atau kasarnya memperluas cakupan berbagi dosa pertambangan,” jelas Igam.
Bagi Igam, usulan tersebut ibarat pengalihan isu sehingga fokus publik teralih pada pemberian konsesi tambang bagi PT. Kemudian pada pengesahannya, PT tidak lagi dicantumkan sebagai pemegang izin konsesi tambang, melainkan sebagai mitra yang berhak mendapatkan dana hibah industri tambang. “Jadi [tujuan pemberian dana hibah-red] menguatkan legitimasi perusahaan tambang, sekaligus memoderasi suara sumbang terhadap tambang yang dilakukan perguruan tinggi,” jelas Igam. Bukan tanpa sebab, menurutnya kampus merupakan wadah para pemikir kritis yang menjadi salah satu penentang usaha tambang.
Selain Igam, Fahmy sebagai pakar ekonomi-energi UGM juga menyatakan keberatannya atas wacana pemberian dana hibah hasil tambang. Menurutnya, pihak UGM seharusnya menolak wacana itu. Terlebih, UGM sebagai institusi yang mengaku menjalankan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) seharusnya menjaga jarak dari industri yang menjadi kontributor utama kerusakan iklim. “Apakah kemudian pantas [UGM -red] menerima dana dari tambang batu bara yang merusak lingkungan? Itu energi kotor,” Fahmy keheranan.
Pihak rektorat UGM sendiri mengaku belum mendapat sosialisasi maupun edaran mengenai dana hibah hasil tambang, meski UU Minerba telah disahkan. Namun, melalui Andi Sandi selaku Sekretaris Universitas, menyatakan jika UGM memang mendapat dana hibah hasil tambang, pihaknya akan menerima dan memanfaatkannya. “UGM pasti akan memanfaatkan [dana hibah-red], satu untuk beasiswa, dua mendanai riset-riset perbaikan lingkungan, ketiga spesifik untuk riset energi terbarukan,” ucap Andi.
Padahal menurut Igam, meski dana hibah dimanfaatkan untuk mendanai kegiatan riset, hasilnya tentu akan cenderung subjektif. “Uang diberikan ke kampus, silakan Anda riset ini, uangnya [dana hibah tambang-red],” ujar Igam. Baginya, riset by request tidak objektif dan sangat menguntungkan perusahaan tambang, tambang tak perlu lagi menyewa tenaga ahli dan teknologi karena telah disediakan kampus.
Igam menambahkan, kerjasama tambang dengan UGM seolah menjadi justifikasi ilmiah bagi aktivitas tambang. Baginya, hal tersebut merupakan bentuk kemunafikan kampus. UGM secara tidak langsung turut merusak lingkungan lewat aktivitas perusahaan tambang pemberi hibah. “Ketika bermitra dengan industri pertambangan dan [misalnya-red] di Kalimantan Timur ada banyak anak-anak yang mati di lubang tambang, artinya dosanya harus ditanggung juga oleh UGM,” ujarnya.
Upaya pemberian dana hibah tersebut Igam sebut sebagai agenda neoliberalisasi PT. Negara secara perlahan menarik diri dari pelayanan perguruan tinggi, membuat entitas privat seperti perusahaan tambang yang masuk ke dalam kampus. “Artinya, relasinya nanti akan jadi relasi pasar antara kampus dengan perusahaan tambang ini, negara kemudian tidak muncul,” imbuhnya. Hal ini mengkhianati cita-cita negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan Indonesia Emas 2045 yang jadi hanya bualan semata.
Upaya Kooptasi Tambang Kepada Masyarakat Adat
Pertambangan rupanya tidak hanya melibatkan PT dalam relasi ekonomi. Masyarakat adat turut diseret dengan dalih mewujudkan ekonomi berbasis komunitas pada revisi UU Minerba. Igam sendiri menyatakan bahwa narasi ekonomi berbasis komunitas hanyalah upaya kooptasi, perluasan ruang partisipasi ke wilayah adat sebagai cara melumpuhkan kritik masyarakat adat terhadap perusahaan tambang. “Sebuah jebakan yang ingin mengajak masyarakat lokal, masyarakat adat untuk masuk ke dalam industri tambang dan terperangkap dalam industri tambang,” ujar Igam.
Saiduani Nyuk, Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur, memberi tanggapan serupa. Penyeretan masyarakat adat dalam kelola tambang merupakan upaya pembungkaman kritik dan penolakan-penolakan yang dilakukan masyarakat adat selama ini. “Dengan sistem yang ada gitu, semacam pemerintah membungkam,” geram Saiduani.
Menurut Saiduani, persoalan UU Minerba ini merupakan persoalan business to business. Masyarakat adat tidak pernah diikutsertakan dalam pembuatan regulasi yang menyangkut hak mereka, tetapi sumber daya alamnya dieksploitasi. Poin-poin dalam revisi UU Minerba justru dinilai Saiduani sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat adat. “Masyarakat adat mempunyai tradisi dan kebiasaan pengelolaan emas secara tradisional, tidak merusak alam, dan segala macam,” sindirnya.
Saiduani menambahkan, pemberian konsesi tambang ini kenyataannya tidak melibatkan seluruh lapisan masyarakat adat, hanya pihak-pihak tertentu, seperti ormas. Oleh karenanya, ia menegaskan bahwa pelibatan ormas sebagai perwakilan masyarakat adat tidak dapat mewakili masyarakat adat sama sekali. “Mereka membuat suatu perkumpulan yang seolah-olah mewakili masyarakat adat. Sementara konflik-konflik pertanahan, konflik pertambangan, dan penggusuran tanah itu yang merasakan masyarakat adatnya,” sinisnya.
Sementara itu, Sinduani meragukan kemampuan ormas untuk melakukan pertambangan secara modal maupun kemampuan akademis. Menurutnya, ormas di Kalimantan Timur tidak ada yang memadai untuk mengelola tambang, justru mengandalkan premanisme dalam melanggengkan kekuasaannya. “Apalagi cara reklamasi, sementara perusahaan yang sudah legal aja, misalnya selama ini nggak pernah melakukan reklamasi,” tutur Sinduani kesal.
“Ormas-ormas yang mengatasnamakan masyarakat adat juga mem-back-up perusahaan sehingga masyarakat adat diintimidasi,” keluh Saiduani. Menurutnya, kehadiran ormas sebagai pemegang hak konsesi tambang hanya akan memperparah konflik horizontal antara rakyat. Masyarakat adat akan kesulitan dalam menyuarakan hak-haknya. Ditambah, masyarakat adat justru sering dikriminalisasi oleh aparat dari perusahaan yang melakukan tambang di tanah adat mereka.
Padahal, Fahmy sendiri menyebutkan bahwa masyarakat adat tidak membutuhkan daya dorong ekonomi yang demikian, yang penting bagi mereka adalah tanah adatnya tidak diganggu industri. Ia menambahkan bahwa posisi ormas dan perguruan tinggi seharusnya berada di luar ranah pertambangan. “Domain perguruan tinggi dan ormas itu bukan sebagai penambang. Tidak punya pengalaman, tidak punya records dalam hal penambang,” ujarnya. Bukan menutup kemungkinan, jika kemudian mereka akan terseret dalam ekosistem tambang bahkan akan menyerobot tanah adat juga.
Penulis: Ashfa Nayla dan Reza Faza
Penyunting: Anggita Septiana
Ilustrator: Hadrian Galang