
©Arfa/Bal
“Kalau korban masih takut berbicara, sejarah masih patut dipertanyakan. Dan kalau sejarah patut dipertanyakan, fiksi yang harus bicara,” ucap Soe Tjen Marching selaku penulis buku Dari Dalam Kubur. Digelar di Warung Sastra, Senin (21-04), diskusi ini menjadi salah satu rangkaian Tur Buku Soe Tjen Marching. Bertepatan dengan perayaan Hari Kartini, diskusi hangat ini juga menghadirkan Ramayda Akmal atau yang akrab disapa Aida, dosen Sastra Indonesia UGM.
Mengawali diskusi, Soe Tjen menceritakan niatnya semula untuk sekadar menuliskan hasil wawancara korban Orde Baru dan genosida 1965, tetapi berakhir dengan menulis novel. Ia menyoroti bahwa tidak hanya korban yang dipenjara dan disiksa saja yang menjadi korban dari Orde Baru, tetapi juga generasi berikutnya. “Generasi berikutnya itu juga menjadi korban, generasi satu dan selanjutnya,” terang Soe Tjen.
Aida menegaskan bahwa memori kolektif bisa diturunkan kepada generasi selanjutnya sehingga generasi penerus tetap merasakan dampak psikologis dan fisikal yang tidak mereka alami langsung. Ia menjelaskan bahwa memori kolektif dari Tragedi ‘65 juga membentuk ketakutan sosial yang masih terasa sampai sekarang. “Bahkan untuk hal yang sepele, seperti kalau pro ini nanti dianggap komunis, itu sesuatu yang sangat diturunkan. Mengapa kita punya pemikiran seperti itu, padahal kita nggak tahu informasinya sekomplit orang-orang sebelumnya?” tanya Aida.
Selanjutnya, Soe Tjen juga menjelaskan bahwa korban perempuan seringkali merasa ketakutan untuk bercerita karena takut dianggap berbohong. Mereka selalu menutupi pelecehan seksual yang didapatkan dengan alasan bahwa yang terjadi tidak begitu parah. Namun, setelah diwawancarai kembali, Soe Tjen menemukan bahwa yang sebenarnya terjadi lebih pahit, bahkan banyak yang mengalami pemerkosaan massal. “Sedangkan jagal-jagalnya ini dengan bangganya berkoar-koar tentang kejahatan mereka dan juga menyebarkan fitnah,” ujar Soe Tjen.
Menimpali Soe Tjen, Aida juga membahas bahwa karya sastra dapat merefleksikan trauma yang tidak lagi bisa dikisahkan secara utuh. Ia menjelaskan bahwa ketika kita tidak bisa konsisten menceritakan sesuatu, artinya kita sedang berada dalam proses trauma. Hal ini tercermin dalam novel Dari Dalam Kubur, yang menurut Aida menghadirkan sejarah dalam perspektif perempuan dan menolak narasi maskulin yang dominan. Perempuan dalam novel ini tidak hanya menjadi karakter, tetapi menjadi situs–tempat dimana berbagai peristiwa terjadi. “Perempuan itu jadi situs di mana berbagai hal itu terjadi. Dari cerita-cerita itu kayak terbuka pintu ke banyak peristiwa,” ujar Aida.
Sunlie, seorang penulis dan kritikus sastra yang menghadiri diskusi turut mengindahkan pernyataan Aida mengenai respons trauma dari sudut pandang penulis. Ia mengungkapkan bahwa sebagai seorang Tionghoa, Sunlie sulit untuk menuliskan tentang kekerasan yang dialami oleh etnisnya sendiri. “Ada beberapa hal yang memang sulit sekali saya untuk menuliskannya, terutama kekerasan, pembantaian, pemerkosaan terhadap etnis China,” kata Sunlie.
Sunlie juga memberikan pendapatnya bahwa narasi-narasi negatif komunis yang diidentikkan dengan ateisme seringkali ditujukan kepada komunitas Tionghoa. Tuduhan-tuduhan tersebut menjadikannya sebagai sasaran empuk dari trauma kolektif yang dampaknya masih dirasakan hingga kini. “Satu-satunya narasi yang biasanya dikeluarkan adalah komunis itu identik dengan ateis dan sasaran yang traumanya paling berat di Indonesia selepas ‘65 itu golongan mana? Cina? Dua kali lipat,” tegasnya.
Melanjutkan narasinya, Soe Tjen menyatakan bahwa jika korban masih takut untuk berbicara, berarti pemerintah masih otoriter dan tidak berpihak pada hak asasi manusia. Baginya, fiksi begitu penting karena fiksi bisa jadi lebih nyata daripada kisah nyata, seperti yang ia tulis. “Saat tulisan-tulisan lainnya yang dianggap fakta dan sejarah itu tidak bisa menyampaikan sesuatu, bahkan memanipulasi kita, fiksi-lah yang berani menguak kebenaran,” tegas Soe Tjen.
Soe Tjen menambahkan bahwa pemerintah selama ini takut akan karya-karya seni dan sastra yang mengkritik sistem kekuasaan yang telah atau sedang berlangsung. Stigma yang merendahkan pegiat dan penggemar seni pun kerap dilakukan sebagai cara untuk membatasi ruang berpikir kritis di masyarakat. “Itulah fiksi, kekuatannya itu sungguh luar biasa. Bisa membuat gonjang-ganjing pemerintah dan kalian lihat saja pemerintah otoriter itu biasanya ketakutan dengan fiksi sekaligus merendahkan,” tuturnya.
Aida juga berharap bahwa fiksi dapat berbicara seperti orang bertutur. Ia meyakini bahwa fiksi sejarah dibutuhkan saat ini untuk mengungkap kesalahan yang terjadi di masa lalu dan kini menjadi tanggung jawab serta bahan refleksi bersama. “Kepentingannya fiksi sejarah itu bukan buat masa lalu, tapi buat masa sekarang. Kalau itu diterbitkan sekarang, berarti ada yang tidak beres dari masa lalu karena masih menjadi tanggungan zaman sekarang,” pungkas Aida.
Penulis: Lintang Pertiwi Setyawati dan Safira Aisyah
Penyunting: Nasywa Asyraj
Ilustrator: Arfa Zhafif