
©Abby/Bal
Penumbangan Soeharto dari titah kuasa telah menjadi berita lama. Kegemilangan kaum reformis kala itu terus didengungkan sebagai kisah heroik menuju bangsa yang lebih demokratis. Ledakan politik pada 1998 hanya menyisakan hura-hura belaka tanpa menghasilkan apapun. Desentralisasi kekuasaan dan pengentasan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) adalah salah dua dari sekian banyak tumpukan tuntutan yang gagal direalisasikan hingga sekarang.Â
Budi Irawanto, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UGM, menanggapi kondisi ini dalam tulisannya yang dimuat di rubrik “Artikel Lepas” dalam Majalah BALAIRUNG Edisi No. 28/TH.XIII/1998. Irawanto memaparkan kegagalan dalam mengentaskan tumpukan tuntutan selama reformasi 1998–sampai sekarang–hanya mengantarkan kita kepada tatanan masyarakat “baru” yang tak pernah nyata. Berikut tulisan selengkapnya.
Kamis Legi, 21 Mei 1998, berita-berita bermunculan di televisi: Presiden Soeharto membacakan pidato pengunduran dirinya. Presiden Soeharto membacakan pidato pengunduran dirinya. Maka kekukuhan kekuasaan selama 32 tahun itu pun runtuh. Inilah klimaks dari kekisruhan ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak paruh akhir tahun 1997. Rubuhnya kekuasaan Soeharto juga menandai berakhirnya salah satu kekuasaan tiranik terlama dan yang masih tersisa di Dunia Ketiga.
Tiba-tiba, rakyat seperti merasakan kelegaan yang luar biasa dan seakan sebuah ufuk baru telah terbit. Sistem politik otoriter telah dimakzulkan. Meski keabsahan peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie dipertengkarkan sejumlah kalangan, toh momentum reformasi itu pun terjadi jua.
Tak ayal, sebentuk euphoria menjangkiti rakyat: keterpukauan terhadap perubahan sesaat. Ada perayaan yang baru saja merekah. Maka, merebaklah pelbagai partai politik yang mengusung aneka asріrasі dan kepentingan. Para tahanan politik dan narapidana politik dibebaskan, UU politik ditinjau, dan beleid yang membatasi kebebasan pers dicabut. Dengan kata lain, konsesi-konsesi politik memang banyak diobral oleh pemerintahan baru. Masyarakat pun kian lantang menagih komitmen ABRI terhadap demokratisasi.
Di lapis bawah, terjadi kebangkitan terhadap penyelewengan kekuasaan pemerintah lokal yang selama ini hanya bisa muncul dari desas-desus dan gerutuan. Unjuk rasa menjadi tren, berita menuntut mundur pejabat desa, kecamatan, bupati, bahkan gubernur menjadi santapan tiap pagi di koran. Bahkan para petani yang pernah tergusur tiba-tiba sangat berani menanami singkong di lapangan golf yang dulu dibangun anak Soeharto. Pendeknya pelbagai penyelewengan yang populer dengan istilah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan biang keladinya tengah dilibas.
Rentetan peristiwa itu seakan melunasi kepengapan politik yang menggantung selama bersimarajanya rezim Soeharto. Udara politik kita memang relatif lebih segar, kendati masih saja dipenuhi berbagai kalangan elit yang memanfaatkan momentum ini. Barangkali, inilah warna khas percaturan politik kita: banyak menampilkan tokoh daripada pokok. Dunia politik kita memang bukan tempat bagi pengujian gagasan yang bernas, tetapi sekedar pentas-pentas segelintir tokoh. Karenanya sejak pemerintah baru terbentuk tak cukup jelas program apa yang telah dilakukan untuk memulihkan perekonomian nasional yang nyaris hancur lebur ini.
Di sisi lain, gerak reformasi agaknya mengalami penurunan intensitas. Ingar-bingar gerakan mahasiswa mulai menyurut. Episode gerakan heroik mahasiswa usai persis saat Soeharto lengser dari tahta kepresidenannya. Jika masih muncul gerakan, itu lebih sebagai bentuk kebingungan merumuskan agenda baru perubahan pasca-Soeharto. Bahkan mahasiswa pun telah perlahan ditinggalkan; yang banyak muncul di media justru “tokoh-tokoh lama” yang telah malih rupa. Mereka sekedar mengeraskan hujatan terhadap rezim yang telah rontok, seakan-akan dengan begitu massa rakyat bakal menebus dosa-dosa politik mereka sendiri. Semacam penyucian diri dari kemungkinan menerima hujatan yang lebih keras dari massa rakyat.
Maka tak pelak, terjadi miopia atas proses reformasi kita. Reformasi seperti memberi legalitas bagi pelampiasan dendam politik. Kondisi ini, agaknya tercermin dari penggantian beberapa pejabat sipil dan ABRI, bahkan anggota MPR dari utusan golongan yang diangkat presiden. Para pejabat yang diangkat itu sesungguhnya hanyalah mereka yang kalah dan ada di luar lingkaran percaturan politik sebelumnya. Pentas politik hanya mengganti “para aktor lama”, tanpa pernah mengubah lakon yang dimainkan. Bukan mustahil praktik politik lama tak sepenuhnya berganti, jika letak soalnya hanya dilihat pada penggantian tokoh.
Yang kemudian terasa kosong dari hiruk pikuk reformasi selama ini, visi tentang masa depan kita. Pelbagai proses perubahan yang berlangsung tak bersifat mendasar–sebuah perubahan tanpa perubahan. Gambaran tentang yang kita inginkan tak pernah jelas. Barangkali kita tengah dikutuk untuk tetap ada dalam perangkap sejarah masa lalu kita. Persoalan-persoalan yang berjangka pendek telah menguras energi politik kita habis-habisan. Tak pernah ada rekapitulasi tuntas atas cacat-cacat rezim lain. Oleh karena itu, pemerintahan baru kita ini sesungguhnya tak pernah dibangun di atas landasan yang sepenuhnya “baru”.
Sepanjang perjalanan bangsa kita, agaknya upaya-upaya eksperimentasi demokrasi tak pernah memperoleh tempat. Malahan otoritarianisme yang ditopengi oleh keluhuran budaya kita diagungkan sebagai praktik politik khas milik bangsa kita. Dari waktu ke waktu rakyat kita dirampas kesempatannya untuk belajar berdemokrasi. Pada masa rezim Sukarno, demokrasi yang terjadi telah diringkus menjadi “demokrasi terpimpin”. Pada masa rezim Soeharto, demokrasi dimanipulasi menjadi “demokrasi Pancasila”. Akibatnya, kita tak cukup berendah hati dengan beragam perbedaan, toleransi hanya menjadi nilai yang peyoratif belaka. Dalam keseharian, tak ada kesediaan kita mempraktikkan nilai toleransi. Buktinya betapa gampang terbakarnya masyarakat kita oleh isu, etnis, dan kesukuan. Reproduksi atas nilai-nilai “anti-demokrasi” telah menular di kalangan massa rakyat
Demokrasi oleh para penguasa memang telah dilekati stigma sebagai gagasan Barat. Kontrol dan akuntabilitas atas kekuasaan senantiasa dimatikan. Sentralisme kekuasaan dipraktikkan sebagai kelaziman, bahkan menjadi kultur politik kita. Sebagian pakar hukum menemukan akarnya pada konstitusi kita. Konstitusi, yang oleh para bapak pendiri bangsa dirumuskan dalam situasi darurat, telah mengalami pensakralan: musykil diubah. Padahal sesungguhnya, pasal-pasal dalam konstitusi kita memberi dalih bagi kekuasaan (presiden) menyelenggarakan praktik otoritarianisme.
Karena itu, tanpa keberanian untuk merubah konstitusi yang berpijak pada situasi yang tengah terjadi. Momentum reformasi bakal kehilangan elan vitalnya. Reformasi lantas sekedar sirkulasi elite politik belaka. Tatanan masyarakat “baru” yang adil dan demokratis tak pernah nyata. Ini hanya mungkin jika konstitusi memberi jaminan hak-hak dasar rakyat, pembatasan terhadap kekuasaan atau setidaknya menjadikan kekuasaan tidak imun dari kontrol rakyat. Setiap proses perubahan berikut, semestinya didasarkan pada ketentuan konstitusi.
Kini malah ada isyarat cukup kuat bahwa kekuatan “rezim lama” tengah melakukan konsolidasi. Apalagi kaum reformis tak kunjung menemukan common platform yang mengacu pada masa depan bangsa. Atmosfer otoritarianisme memang tidak serta-merta pupus oleh proses reformasi. Kembalinya kekuatan otoritarian bukan sesuatu yang musykil. Pembelokan arah reformasi kita oleh kekuatan rezim lama kini kian kuat aromanya. Lewat pelbagai kanal media, reformasi didistorsi secara sistematis sebagai biang keladi mahalnya sembako dan bangkitnya separatisme. Tuntutan terhadap perubahan struktural yang radikal buru-buru dikecam.Â
Tantangan terbesar bagi kaum reformis adalah menyelamatkan arah reformasi agar tak berpulang pada tatanan yang anti-demokrasi tĐ°nра visi tentang masa depan bangsa, mustahil hal itu dilakukan. Yang terjadi kini justru kaum reformis terlampau asyik dengan agendanya sendiri-sendiri bersama aliansi yang kukuh antar-reformis tak kunjung terbangun. Masing-masing saling berebut menyampaikan gagasannya. Tentu perdebatan di kalangan kaum reformis bukan perkara ganjil. Namun jika perbedaan itu tak pernah didialogkan, justru bakal menyemai perselisihan. Proses reformasi bakal mengalami pembalikan arah.Â
Muara dari ketiadaan visi masa depan jelas: kebangkrutan bangsa kita. Jika pilar-pilar demokrasi gagal ditegakkan, maka bangun masyarakat kita ringkih diterpa guncangan-guncangan. Masyarakat kita yang pluralistik kian gampang pula mengalami keretakan. Sekali lagi, ini akan terjadi jika sejarah kita perlakukan sebagai himpunan trauma. dan kita tak pernah mencoba berdamai dengannya.
Ditulis dengan penyuntingan oleh Nafiis Anshaari