
©Arfa/Bal
Hawa panas menyeruak di sela kerumunan massa yang memenuhi pelataran Gedung Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Selasa (18-03). Para dosen, tenaga kependidikan, hingga mahasiswa serempak menyuarakan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Penolakan ini dilakukan lantaran sejumlah pasal, seperti pasal 34, dalam RUU TNI berpotensi memperlebar ruang intervensi militer ke ranah nonpertahanan dan mengikis supremasi sipil.
Munjid, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, merasa bahwa revisi UU TNI bertentangan dengan prinsip demokrasi. Kala membacakan tuntutan, ia menegaskan bahwa prinsip negara demokrasi mengharuskan militer tunduk pada konstitusi dan hukum sipil, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Marcus, Mahasiswa Fakultas Hukum UGM, menguraikan alasan yang membuat RUU TNI bertentangan dengan prinsip demokrasi. Baginya, RUU TNI merupakan bentuk nyata dari kembalinya dominasi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di ranah sipil seperti pada era Orde Baru. Ia menegaskan bahwa usainya era Orde Baru pada tahun 1998 seharusnya telah mengakhiri dwifungsi ABRI, tetapi RUU TNI justru membangkitkannya kembali. “Itu [dwifungsi ABRI-red] udah terkubur dari tahun ‘98,” papar Marcus.
Dominasi militer di ranah sipil pada era Orde Baru juga dituturkan Herlambang, dosen Fakultas Hukum UGM yang pernah merasakannya. Ia menyoroti keterbatasan gerak untuk berdiskusi di ruang publik. “Di masa Orde Baru, diskusi tidak gampang. Untuk bikin forum, laporannya tidak hanya ke dekan; ada Polsek, Koramil, dan seterusnya,” ujar Herlambang. Ia juga mengaku diskusi publik di kampus sulit dilakukan karena adanya intervensi aparat saat itu, padahal kampus bisa menjadi tempat pertukaran wacana.
Bagi Herlambang, intervensi aparat muncul karena tentara mendapat kesempatan menduduki jabatan organisasional di kampus, seperti Majelis Wali Amanat (MWA). Menurutnya, kehadiran militer dalam struktur akademik akan memperbesar pengaruh pendekatan militeristik di kampus. “Kalau sudah masuk [ke dalam struktur akademik-red], gagasan tentang pendekatan militeristiknya akan semakin besar,” ujar Herlambang.
Pendekatan militer dalam ruang akademik juga bukan hanya melulu soal mahasiswa dan dosen. Pasalnya, petugas keamanan kampus, Pusat Keamanan Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan (PK4L) UGM turut mendengar isu ini. Arya (bukan nama sebenarnya), salah satu anggota PK4L, mengaku mengetahui revisi UU TNI melalui berita yang ia baca. “Kalau tuntutan, mungkin denger-denger dari berita aja sih,” tutur Arya.
Berita RUU TNI tak hanya memengaruhi organisasi, Marcus merasa intervensi militer juga dapat terjadi dalam posisi struktural di perguruan tinggi, seperti rektor dan dekan. “Bukan enggak mungkin rektor itu bisa dijabat orang militer,” terang Marcus. Menurutnya, jika hal itu terjadi, kebebasan akademik berpotensi terancam oleh tekanan yang besar.
Sebagai seorang mahasiswa, adanya kemungkinan seperti itu membuat Marcus mengaku merasa ketakutan, terlebih ketika membincangkan militer di ruang publik. “Karena ketika kita bicara militer, ibaratnya sepatu lars militer itu udah di belakang kepala kita, siap untuk menendang,” ungkap Marcus. Intimidasi militer telah dirasakan Marcus meski RUU TNI belum ditetapkan.
Kegelisahan akan masuknya militer dalam masyarakat sipil di akademik juga dirasakan oleh Arya. Ia sebenarnya tidak sepakat dengan masuknya tentara yang memegang senjata ke ranah sipil. “Tetap kurang setuju sih, pasti ada batasan-batasan, untuk sipil ya tugasnya masing-masing,” tanggap Arya mengenai RUU TNI.
Sebagai petugas keamanan di lingkungan kampus, Arya meyakini bahwa keamanan tidak perlu menggunakan senjata. Menurutnya, batasan ini penting untuk diperhatikan karena keamanan kampus berbeda dengan aparat bersenjata. “Kalau kita kan cuma sebatas pengamanan untuk yang internal aja, bukan yang harus memegang senjata itu, enggak,” ucap Arya sembari melirik komandannya.
Meski demonstrasi telah dilakukan, RUU TNI tetap disahkan dua hari berselang setelah demonstrasi digelar, bahkan ketika aksi protes masih berlangsung di sejumlah kota. Pada Kamis (20-03), Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menggandeng sejumlah organisasi kampus dan akademik untuk membuat siaran pers penolakan dengan tajuk “Kampus Menolak Kejahatan Legislasi dalam pengesahan Undang-Undang TNI 2025”. Dhia Al Uyun, perwakilan Serikat Pekerja Kampus, turut memperingatkan bahwa militerisasi akan menyebabkan eksploitasi pekerja kampus. “Mereka ditertibkan dengan dalih administrasi-administrasi, pola-pola ini akan selalu menguat,” ungkap Dhia sembari menjadi massa aksi di Malang.
Herlambang menilai bahwa pengesahan ini semakin menunjukkan minimnya ruang diskusi dalam proses legislasi. Baginya, semakin bertambahnya kekuasaan militer di sipil, semakin kuat juga kendalinya dalam tata pemerintahan. Tata pemerintahan yang dipengaruhi oleh corak militer, menurutnya, akan bersifat antidialog, tidak mengenal negosiasi. “Sebenarnya karakter antidialog itu sudah terlihat sekarang ini di dalam proses revisi Undang-Undang TNI,” ungkap Herlambang.
Bivitri Susanti, seorang pengajar dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera Indonesia, meyakinkan masyarakat bahwa pengesahan RUU TNI ini tidak serta-merta menjadikannya benar. Ia berpendapat demikian karena sedari awal pembuatan RUU TNI sudah tidak benar: dibuat diam-diam, mendiskreditkan kritik masyarakat, dan tidak ada draf RUU secara terbuka. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Peraturan Pembuatan Undang-Undang, Bivitri menyebutkan bahwa RUU yang belum diundangkan masih bisa dibatalkan masyarakat. “Hari ini kita harus menunduk karena merasa sedikit kalah. Menunduknya, kecewanya, sebentar saja. Besok kita melawan lagi,” tegas Bivitri.
Penulis: Leoni Nevia dan Lidwina Laras
Penyunting: Aghits Azka Aghnia
Fotografer: Arfa Zhafif