
©Sutanto/Bal
Ketidakjelasan regulasi hak cipta penerjemahan karya sering kali membuat penulis dan penerjemah kehilangan hak intelektual mereka dan hal ini perlu direspons. Respons ini dilakukan KUMMI dan Radio Buku lewat penyelenggaraan diskusi pada Sabtu (08-03). Diskusi bertajuk “Mengenal Hak Cipta Penerjemahan dan Peran Penerjemah dalam Penerbitan” ini menggandeng Ronny Agustinus, penerjemah dari penerbit Marjin Kiri dan Gita Nanda, penerjemah dari penerbit Labirin Buku sebagai narasumber.Â
Gita membuka penjelasannya dengan menjelaskan prosedur akuisisi hak cipta yang dilakukan oleh penerbit Marjin Kiri dan Labirin Buku. Secara umum, prosesnya serupa di setiap penerbit, dimulai dengan pemilihan karya yang akan diterjemahkan. Selanjutnya, penerbit menghubungi agensi, penulis, atau penerbit asli untuk bernegosiasi mengenai royalti dan uang muka hingga tercapai kesepakatan kontrak. “Lama prosesnya biasanya bergantung pada seberapa sulit negosiasi dengan agensi,” ujar Gita.
Meski begitu, kedua narasumber juga menyoroti bagaimana legal formal untuk akuisisi hak cipta karya terjemahan di Indonesia masih memiliki banyak celah yang mudah dilangkahi, terutama dalam pengaturan dan pemenuhan hak masing-masing pihak yang terlibat. Gita menjelaskan bahwa hak cipta karya terjemahan semestinya melekat pada penerjemah, sedangkan penerbit hanya boleh memegang hak terbit. Namun, praktik yang sering kali terjadi di Indonesia justru penerbit yang menguasai hak cipta atas karya terjemahan. “Penerjemah itu [menjadi-red] kaya freelance aja gitu, jadi setelah naskah selesai dikerjakan dan dikirim ke penerbit, penerjemah nggak dikasih kabar apa-apa,” jelas Gita.Â
Gita sendiri memaknai hal ini menjadi sebuah sistem “beli putus”. Sistem ini semakin memperburuk kondisi penerjemah karena hanya menerima bayaran di awal setelah menyerahkan naskah terjemahannya. Akibatnya, seluruh hak atas karya tersebut berada di tangan penerbit tanpa adanya keterlibatan lebih lanjut dari penerjemah. Bahkan Gita menceritakan, penerbit dapat mencetak ulang atau menjual hasil terjemahan ke pihak lain tanpa sepengetahuan penerjemah. “Ada kasus di mana karya terjemahan diperjualbelikan ke penerbit lain tanpa diketahui penerjemahnya,” ujar Gita.
Ronny menilai tindakan penerbit nakal yang mengabaikan pentingnya akuisisi hak cipta sebagai hal yang tidak wajar karena perizinan legal kini lebih mudah didapat. Penerbit dan penulis asli dapat dengan mudah dihubungi melalui media sosial, email, atau website. “Belakangan ini hampir semua orang terhubung, jadi tidak ada alasan untuk nggak bisa menemukan,” pungkas Ronny.Â
Selain itu, akuisisi juga dijelaskan oleh Gita bahwa tidak selalu melibatkan uang, terutama jika ada kesamaan visi atau kebutuhan dalam mendukung penyebaran karya. Menanggapi hal tersebut, Erika selaku moderator, menarik kesimpulan bahwa sulitnya sebuah penerbit dalam bernegosiasi tidak dapat dijadikan dasar untuk melabelinya sebagai kapitalis. “Artinya agensi punya usaha untuk memproteksi penulis supaya mendapatkan haknya,” simpul Erika.Â
Erika juga memaparkan refleksinya atas memoar Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang di dalamnya Pram meminta negara untuk lebih memperhatikan kehidupan penulis dan penerjemah di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan hak dalam industri perbukuan masih belum menemui titik terang, bahkan setelah 75 tahun berlalu. “Jadi, ketika mendengarkan apa yang dikatakan oleh Mbak Gita dan Mas Ronny, kok ternyata kita nggak beranjak kemana-mana, ya? Persoalannya masih sama, ya?” renungnya.Â
Menanggapi hal itu, Ronny berargumen bahwa buruknya sistem hak cipta di Indonesia menjadi sebab dari tidak terpenuhinya hak-hak penerjemah. Menurutnya, kecil kemungkinan terwujudnya Indonesia yang tertib hak cipta tanpa adanya dukungan negara, misalnya melalui regulasi hukum yang kuat. Lebih lanjut, Ronny menekankan perlunya langkah kolektif dari berbagai pihak, termasuk hal mendasar seperti meningkatkan kesadaran pembaca akan peran penerjemah. “Tentu saja perbaikan di satu aspek akan memengaruhi perbaikan di aspek lainnya,” tuturnya.
Namun, Gita memiliki pandangan sendiri, bahwa kepatuhan terhadap akuisisi hak cipta secara legal merupakan tanggung jawab utama penerbit kepada penulis. Menurutnya, negara seharusnya lebih berkonsentrasi pada perlindungan terhadap pembajakan dan pemberian subsidi untuk distribusi karya terjemahan. “Kalau menurutku nggak ada hubungannya ya, antara kemauan untuk tertib hak cipta dengan ketidakhadiran negara dalam industri perbukuan,” pungkas Gita.Â
Selain itu, Gita mengimbau para penerjemah untuk cermat dalam mengajukan atau menerima tawaran penerjemahan. Di samping menjaga kualitas hasil terjemahan, penerjemah juga perlu memastikan bahwa hak cipta karya terjemahan tetap melekat pada mereka dan penerbit bersedia mengurus akuisisi hak cipta melalui jalan yang legal. “Kalau penerbit memenuhi tanggung jawab ke penulis, pasti dia juga akan memenuhi tanggung jawabnya ke penerjemah,” ujar Gita.Â
Penulis: Winema Aleshanee Rasti Azzayna
Penyunting: Nasywa Asyraj
Ilustrator: Adhitia Sutanto