
©Mikail/Bal
Desa Pundenrejo, Kabupaten Pati dihiasi oleh hijaunya lahan persawahan yang rapi dan sejuk. Di atasnya tanaman berjejeran menjadi pertanda suburnya ladang penghidupan para petani di sana. Naas, lahan itu kini binasa oleh “hama” korporasi swasta yang bertandang tiba-tiba.
Kumandang doa yang tak terputus mengiringi kegiatan bercocok tanam para petani yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Petani Pundenrejo (Germapun). Rapalan doa itu bukan ritual semata, melainkan wujud syukur para petani atas hadirnya lahan-lahan gembur dan tanaman yang tumbuh subur di Desa Pundenrejo, Kabupaten Pati. Bagi petani Pundenrejo, lahan yang berpencaran di dusun Jering dan Pule, Pundenrejo itu ialah lahan warisan dari pendahulu mereka yang harus dijaga.
Sejak pascapenjajahan Jepang, sejumlah 143 petani asli Pundenrejo merawat lahan-lahan subur seluas 7,3 ha itu dengan bertani di sana. Penggarapan lahan dilakukan dengan membagi rata lahan itu menjadi 35m x 8m tiap orangnya. Dari lahan yang mereka peroleh, para petani Pundenrejo menanam berbagai jenis tanaman; mulai dari padi, jagung, kacang, hingga ketela rambat.
Namun pelik, kegiatan bercocok tanam para petani Pundenrejo yang demikian itu tak kuasa berlangsung lama. Menurut kesaksian salah seorang petani bernama Sulas, kegiatan bertani mereka terpaksa berhenti pada tahun 2020. Kala itu, datang segerombolan preman dan pegawai perusahaan yang membawa selembar sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB). Dengan mengatasnamakan dirinya PT Laju Perdana Indah (LPI), mereka datang meluluhlantakkan tanaman para petani Pundenrejo. “PT LPI waktu 2020 dia menyerang, merampas tanaman yang ada di lahan semua,” ungkap Sulas.
Kedatangan PT LPI layaknya bala bencana yang tak pernah terselip dalam doa para petani Pundenrejo. Tanpa menyisakan sepetak pun lahan, PT LPI sekonyong-konyong datang membuat para petani Pundenrejo terpaksa kehilangan pekerjaan taninya. “Dibabati kabeh, lahan-lahan entek (dibabat semua, lahan-lahan habis),” terang Sulas.
Imbas Hilangnya Sumber Penghidupan
Selepas lahan tak lagi menjadi milik para petani Pundenrejo, gubug yang mereka namai sebagai “Posko Germapun” turut menjadi saksi perubahan pola hidup mereka. Gubug yang terletak di tepi sawah dusun Jering itu dahulu menjadi tempat bagi para petani Pundenrejo untuk berteduh dari penatnya menggarap lahan. Namun kini, gubug tersebut berubah menjadi tempat untuk berteduh dari lelahnya mencari kerja.

Posko Germapun. ©Aghits/Bal
Pencarian kerja yang melelahkan itu terjadi lantaran setelah tak lagi bisa menggarap lahan, mata pencaharian para petani Pundenrejo berubah menjadi pekerjaan serabutan. Petani yang mengalami kondisi seperti ini, salah satunya ialah Sarmin. “Mocok (bekerja serabutan), macul-macul (mencangkul), buruh tani,” ucap Sarmin mengenai pekerjaannya kini.
Tak hanya Sarmin, seorang petani bernama Jupri juga mengalami hal serupa. Salah satu pekerjaan tak tetap yang bisa dilakukannya kini ialah menjadi buruh kuli bangunan. Meski mendapat upah yang tak seberapa, pekerjaan tersebut tetap dilakukan Jupri demi menyambung hidupnya dan keluarganya. “Cukup enggak cukup ya dicukup-cukupin,” lirihnya.
Menjadi seorang pekerja serabutan nyatanya bukan sebuah solusi bagi sumber penghidupan Jupri. Pekerjaan serabutan seperti itu justru tak bisa lagi dilakukan Jupri bila tiada lagi lapangan pekerjaan yang membutuhkan tenaganya. Mau tak mau, ia harus berpasrah diri menghabiskan waktunya menjadi seorang pengangguran. “Itu [kerja serabutan-red] kalau ada pekerjaan, kalau enggak ada ya seperti ini, nongkrong,” ungkap Jupri.

Jupri sedang berjalan menuju Posko Germapun. ©Aghits/Bal
Sarmin mengaku bahwa pekerjaan serabutan membuat kondisi ekonomi para petani Pundenrejo lantas melemah. “Rakyat ya memang perekonomiannya kurang, selama tidak mengelola tanah ini,” keluh Sarmin. Dalam lamat ingatan Sarmin, kondisi perekonomiannya masih bisa terpenuhi kala ia menjadi seorang petani.
Sementara para petani lain masih bisa serabutan, tidak dengan Sulas. Ia yang juga seorang ibu rumah tangga kini justru sama sekali tak bekerja. Padahal, Sulas menggunakan hasil garapan lahan itu untuk menambah penghasilan suaminya yang bekerja sebagai buruh giling batu. Sulas memilih membantu suaminya mencari nafkah sebab keluarganya masih pontang-panting dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kini, setelah kehilangan lahan, kondisi ekonomi keluarga Sulas menjadi serbakurang. “Kan cuma orang-orang mocok, sedikit-sedikit penghasilannya,” keluhnya menjelaskan kondisi keluarganya.

Tampak depan rumah Sumiati, petani Pundenrejo. ©Aghits/Bal
Lantaran kebutuhan pokok saja masih kesusahan, Sulas pun semakin tertatih-tatih mencari rupiah demi membayar sekolah dan uang saku anaknya. Sebab baginya, biaya bantuan seperti Program Indonesia Pintar dari pemerintah belum cukup untuk menutup kekurangan biaya sekolah sang anak. “[Anak-anak-red] kepengen sekolah aja orang tua sampai compang-camping,” ratap Sulas. Ia lantas harus merelakan anaknya, Vina, untuk menghentikan pendidikannya sampai bangku SMA saja.
Mata Vina berkaca-kaca. Ia teringat bagaimana peliknya mengadukan pendidikan dengan uang kala ia sekolah dahulu. Menanggapi sorot mata Vina, Sulas lantas bercerita bahwa perasaan anaknya memang cukup sentimentil ketika diajak berbincang mengenai masa sekolahnya dulu. “Kalau bicara masa-masa sekolah, dia tuh mau nangis,” ujar Sulas.
Melanjutkan ceritanya, Sulas mengaku bahwa Vina memang seringkali sungkan tatkala meminta uang bulanan sekolah kepadanya. Vina teringat dengan kondisi keluarganya yang masih serba kekurangan. Tak jarang, Vina menangis akibat kesulitan ini. “Kalau mau minta biaya buat per bulannya, sebelum bayar itu [Vina-red] nangis dulu, takut sama orang tua, tau kondisinya orang tua gimana,” cakap Sulas.
Padahal, Vina yang baru saja lulus SMA pada 2023 lalu itu mengaku ingin berkuliah. Namun, kesadaran Vina akan ekonomi keluarganya membuat ia terpaksa mengubur mimpi itu dalam-dalam. Ia justru memilih mengadu nasib ke kota seberang, Kabupaten Jepara, sebagai buruh di sebuah pabrik sepatu. Upah dari hasil kerjanya ia gunakan untuk menopang ekonomi keluarganya. “Karena ekonomi keluarga begini, ya, milih bekerja,” pasrah Vina.
Kelimpungan membiayai kebutuhan anak juga dirasakan keluarga lain. Sarmin mengaku bahwa dirinya tak kalah susahnya mencari uang untuk biaya popok sang anak. Lebih-lebih, istri Sarmin bekerja sebagai ibu rumah tangga sehingga hanya Sarmin seorang yang membiayai kebutuhan keluarganya. “Anak saya masih kecil. Beli pampers terus, ya perekonomiannya [sulit-red],” keluh Sarmin.
Kesulitan yang menerpa Sarmin tak hanya persoalan anak semata. Sebelum kesusahan membiayai anaknya, ia sudah kebingungan untuk melangsungkan pernikahannya. Bukan karena jodoh tak kunjung menemui dirinya, melainkan keberuntungan ekonomi tak berpihak padanya. “Sampai perjaka tua baru nikah karena takut ekonominya sulit,” ucap Sarmin.

Para petani Pundenrejo sedang menunjuk lahan garapan yang dirampas PT LPI. ©Aghits/Bal
Meski Jupri, Sulas, dan Sarmin terus dihadapkan dengan sulitnya ekonomi, perut harus tetap diisi. Dalam keadaan terjepit, jalan terakhir yang dapat ditempuh oleh mereka hanyalah berhutang. Sulas sendiri mengaku bahwa hutang ini mereka gunakan untuk sekadar mencukupi kebutuhan pokok. “Pinjam uang sama bank itu, rentenir-rentenir. Itu buat beli beras, buat makan,” ungkapnya.
Kala Tumbang Tak Menjadi Pilihan
Tak hanya berpangku tangan dengan keadaan, para petani Pundenrejo memilih untuk memperjuangkan kembali lahan mereka. Perjuangan ini dilakukan oleh para petani Pundenrejo melalui berbagai upaya seperti aksi, konsultasi ke pakar hukum, hingga audiensi dengan para pemangku kebijakan. “Kepala dibuat kaki, kaki dibuat kepala memperjuangkan tanah ini,” begitulah Sarmin menggambarkan perjuangannya dengan kawan-kawan petaninya.

Plang berisi tuntutan kepada pemerintah yang dipasang oleh petani Pundenrejo. ©Aghits/bal
Salah satu aksi yang dilakukan para petani Pundenrejo ialah pengambilalihan kembali lahan rampasan. Aksi yang biasa mereka sebut dengan upaya reclaiming ini dilakukan dengan menanami kembali lahan dengan berbagai tanaman. Para petani melakukan aksi ini lantaran menyikapi habisnya perizinan HGB yang dimiliki oleh PT LPI. “Kalau perizinan HGB sudah habis kan harusnya petani ke lahan lagi, ikut menanam,” terang petani bernama Sumiati.
Naasnya, perjuangan para petani Pundenrejo justru tak mendapat dukungan yang semestinya dari pemerintah. Seorang petani bernama Susanto mengungkap bahwa tak ada satu pun lembaga pemerintahan di Kabupaten Pati yang berpihak kepada para petani Pundenrejo. Sebaliknya, para pemangku kebijakan tersebut justru malah membela PT LPI. “Semua [pemangku kebijakan-red] mendampingi perusahaan,” sambat Susanto.
Hal itu diceritakan Susanto lewat perilaku Kepolisian Sektor (Polsek) Kecamatan Tayu yang mendampingi PT LPI dalam pengambilan lahan pada tahun 2020 lalu. Kala itu, Polsek Kecamatan Tayu justru menghalang-halangi upaya reclaiming para petani dengan mengancam mereka. “Kok ape dipenjarakno petani kan wedi (Kok mau dipenjarakan, petani kan takut),” ujar Sulas.

Plang milik PT LPI yang masih belum dicabut setelah izin HGB-nya habis. ©Aghits/bal
Bentuk lain dari ketidakberpihakan pemerintah terhadap para petani Pundenrejo dapat dilihat melalui sikap Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Pati kala menyikapi masalah ini. Abdul Khalik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang menceritakan bahwa Kementerian ATR/BPN Kabupaten Pati menganggap PT LPI sebagai pemilik sertifikat HGB lebih berhak menguasai lahan ketimbang para petani. “Padahal, jelas kalau berdasarkan undang-undang pokok agraria, tentu warga Pundenrejo lebih berhak,” terangnya. Bagi Abdul, para petani Pundenrejo lebih berhak atas lahan lantaran kondisi ekonomi dan ikatan sejarah mereka jauh lebih kuat.
Sementara itu, pemerintah desa Pundenrejo justru kian lalim lewat represi yang mereka lakukan kepada para petani Pundenrejo. Menurut kesaksian Sulas, represi itu didapat oleh para petani tepat kala perampasan lahan terjadi. Hari itu, mereka dihadapkan pada getirnya ancaman perangkat desa Pundenrejo saat para petani mencoba menantang PT LPI. “Kowe mengko ning penjara orak kiro penjara enak, diworno ning WC (Kamu nanti dipenjara jangan berpikir di penjara yang enak, dimasukkan ke WC),” cakap Sulas menirukan ancaman sang perangkat desa.
Nihilnya keberpihakan pemerintah dan represi yang diterima para petani tak lantas membuat mereka menyerah dan berkecil hati. Hingga kini, para petani Pundenrejo masih terus melakukan berbagai upaya guna merebut kembali lahannya. “Rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas!” tegas Sarmin meneguhkan tekad para petani.
Penulis: Aghits Azka Aghnia
Penyunting: Tafrihatu Zaidan Al Akhbari
Fotografer: Aghits Azka Aghnia
Ilustrator: Mohammadeus Mikail
*Rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas adalah pepatah dalam bahasa Jawa yang menjelaskan segala sesuatu yang merintangi maksud dan tujuan harus disingkirkan.