
©Arya/Bal
Konon, reformasi menjanjikan pendidikan yang membebaskan. Namun, ketika Orde Baru tumbang, pendidikan masih terbelenggu dan membeku. Warisan Orde Baru tak ayal melekat dalam sela-sela sistem pendidikan.
Wajah pendidikan Indonesia tidak akan terlepas dari warisan Orde Baru. Dalam berbagai sudut, sistem pendidikan kini nampak jelas tidak jauh berbeda dengan era Orde Baru. Salah satunya terlihat dari tindakan rezim yang masih memarginalisasi kampus. Marginalisasi kampus bertujuan untuk meredam kesadaran sosial dan politik mahasiswa yang dapat memunculkan gerakan perlawanan. Hal itu terlihat dari kebijakan PTN-BH yang, selain dampak dari gagasan neoliberalisme, juga warisan Orde Baru. Kebijakan itu memaksa kampus mencari pendapatan sendiri dan ujungnya membebani mahasiswa dengan kenaikan UKT (Darmaningtyas 2015). Akibatnya, mahasiswa disibukkan untuk lulus cepat sementara organisasi kampus lebih berfokus pada pengembangan keterampilan praktis daripada kesadaran politik dan sosial (Darmaningtyas 2015). Pada akhirnya, peran kampus tak ubahnya balai lapangan kerja, yakni sekadar pencetak tenaga kerja profesional (Darmaningtyas 2015).
Bentuk lain warisan Orde Baru berupa indoktrinasi ideologi Pancasila yang masih kentara sampai saat ini. Contohnya, pada 2017, Joko Widodo membuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP bertugas untuk merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. BPIP bekerjasama dengan Kemendikbudristek, meluncurkan Buku Teks Utama (BTU) Pendidikan Pancasila yang diperuntukan bagi siswa dan guru mulai dari jenjang Pendidikan Dasar sampai dengan Pendidikan Menengah. Sementara pada jenjang Pendidikan Tinggi, penanaman ideologi Pancasila terpatri dalam Mata Kuliah Wajib Kurikulum Pancasila yang wajib ditempuh oleh seluruh mahasiswa di perguruan tinggi manapun.Â
“Pancasila harus betul-betul diwujudkan dalam pola pikir, sikap, mental, dalam gaya hidup dan perilaku nyata kita dalam kehidupan sehari-hari.” Bersamaan dengan pembentukan BPIP, pernyataan Jokowi ini dengan gamblang membuktikan bahwa indoktrinasi Pancasila masih nyata adanya. Terlebih lagi, BPIP juga telah melakukan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang dianggap dapat menangkal paham radikalisme. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan pun masih menjadi ruang perebutan antara berbagai pihak, khususnya kesadaran bahwa institusi pendidikan sangatlah strategis untuk menanamkan suatu ideologi.
Bentuk kontrol pendidikan lainnya tercermin dari kebijakan-kebijakan yang tak banyak berubah sejak zaman Orde Baru hingga saat ini. Contohnya adalah bentuk penerimaan mahasiswa berupa Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB). Hal ini membuktikan bahwa relevansi pendidikan, baik dulu atau sekarang, hanya diukur menggunakan suatu ukuran abstrak terseragam dan terpusat yang ditentukan pemerintah (Sugiyono dkk. 2017).
Warisan pendidikan Orde Baru begitu nyata adanya dan menimbulkan permasalahan dalam pendidikan. Hal itu dipertegas oleh Darmaningtyas (2015) yang menuliskan bahwa intervensi penguasa Orde Baru yang amat kuat menjadi akar masalah utama pendidikan nasional sampai saat ini. Beban ideologis dan politik yang dipikul oleh pendidikan nasional menjadi semakin berat, sementara proses pencerdasaan semakin berkurang.Â
Ignas Kleden juga mengatakan bahwa sejak zaman Orde Baru, pendidikan digunakan sebagai alat untuk mendidik ketaatan para pelajar kepada kekuasaan dan otoritas. Padahal, adanya pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kemandirian dalam wujud akal sehat dan rasa ingin tahu. Dalam konteks ini, pemerintah sebagai unit tertinggi dalam institusi negara seringkali menggunakan pendidikan sebagai alat untuk melestarikan kekuasaannya (Baharudin dan Hizam 2022). Lantas, bagaimana kegemilangan Orde Baru membangun sistem pendidikan yang dapat terwariskan sampai sekarang?Â
Indoktrinasi Pendidikan Pelestari Rezim
Orde Baru menggunakan indoktrinasi ideologi yang bertujuan sebagai alat pengendali sistem dan pendidikan nasional (Baharudin dan Hizam 2022). Salah satu bentuk manifestasi dari indoktrinasi ideologi ini adalah terciptanya pendidikan sentralistik. Sentralisasi pendidikan merupakan kondisi ketika segala kebijakan pendidikan dilaksanakan dan dikontrol dari pusat (Loppies 2023), misalnya penyelenggaraan Evaluasi Belajar Tahap Nasional (EBTANAS), Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), dan sejenisnya. Dalam EBTANAS, pemerintah menetapkan standar kelulusan siswa dengan memprioritaskan nilai tertinggi. Serupa dengan EBTANAS, pemerintah turut menyeragamkan kurikulum dan standar penilaian dalam UMPTN. Oleh karenanya, UMPTN juga menjadi salah satu rantai kontrol pemerintah terhadap pendidikan.
Selain pendidikan sentralistik, indoktrinasi Pancasila muncul ketika dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem persekolahan umum. UU ini salah satunya menyebutkan bahwa, “Setiap tenaga kependidikan berkewajiban untuk membina loyalitas pribadi dan peserta didik terhadap ideologi negara Pancasila dan UUD 1945.” Kebijakan ini bertujuan sebagai alat untuk memperkuat hegemoni politik terhadap rakyat. Penyelenggaraan pendidikan pada masa ini menggunakan pendekatan instruktif yang cenderung loyal kepada pemerintah (Kusmawati dkk. 2023).Â
Pada pendidikan tingkat tinggi, marginalisasi kampus terjadi secara masif, baik dalam bentuk kooptasi pergerakan, dinding kebijakan, maupun peminggiran fisik. Salah satu bentuknya terjadi ketika pemilihan rektor perguruan tinggi ditentukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Darmaningtyas 2015). Hal ini digunakan para penguasa Orde Baru sebagai alat depolitisasi kampus. Seperti pada pemilihan rektor UGM tahun 1988, saat itu Koesnadi Hardjasumantri sebagai rektor di periode sebelumnya dikenal sangat dekat dan mendukung bentuk-bentuk pergerakan mahasiswa. Sayangnya, di periode selanjutnya Koesnadi sudah tidak dapat mencalonkan diri lagi sebagai rektor akibat peraturan ini (Darmaningtyas 2015).Â
Marginalisasi secara fisik terjadi ketika terdapat peminggiran lokasi kampus yang dianggap menjadi awal dari peminggiran peran kampus. Pemindahan lokasi kampus ini terjadi pada beberapa kampus besar yang ada di Indonesia (Darmaningtyas 2015), seperti Universitas Indonesia yang semula berlokasi di Salemba dan Rawamangun menjadi di Depok dan Universitas Padjajaran yang semula berlokasi di Bandung menjadi di Jatinangor. Pada masa itu, peminggiran ini dianggap sebagai pemutus akses informasi, relasi sosial, politik dan organisasi (Darmaningtyas 2015).Â
Upaya pengekangan mahasiswa dalam urusan politik juga terlihat dari kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang dikeluarkan oleh Daoed Joesoef selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. NKK/BKK merupakan kebijakan yang bertujuan untuk mengembalikan marwah akademik dan kegiatan ilmiah mahasiswa, bukan sebagai pelaku politik praktis. Salah satu dampaknya adalah penghapusan Dewan Mahasiswa yang menyebabkan gerakan mahasiswa menjadi tidak terarah atau bahkan mati (Mustafidah dan Purwaningsih 2016).
Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, Orde Baru menggunakan kurikulum sebagai alat untuk menyelipkan berbagai kepentingan penguasa. Selama masa Orde Baru terdapat beberapa kali pembaruan kurikulum seperti kurikulum 1968, kurikulum 1975, dan kurikulum 1984. Kurikulum 1968 diklaim sebagai orientasi pendidikan yang menerapkan UUD 1945 secara murni. Padahal, kurikulum ini memuat materi pembelajaran yang hanya bersifat teoritis tanpa melihat kondisi faktualnya. Peserta didik akhirnya terbentuk menjadi individu yang pasif dan cenderung menghafalkan berbagai teori tanpa mengetahui pengaplikasiannya (Sugiyono dkk. 2017: Hudaidah 2020). Oleh karenanya, sejumlah perubahan dilakukan terhadap kurikulum ini menjadi kurikulum 1975. Namun, perubahan itu tak lepas dari campur tangan orang-orang militer agar Dwifungsi ABRI semakin diterima oleh masyarakat luas (Sugiyono dkk. 2017).
Salah satu bentuk campur tangan militer dalam kurikulum 1975 adalah adanya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang menekankan sejarah dan peranan Angkatan Darat dalam menghadapi PKI di tahun 1965–1969 (Sugiyono dkk. 2017; Hudaidah 2020). Selain itu, dalam PSPB menekankan Soeharto sebagai pahlawan, serta menghapuskan peran Soekarno atau tokoh sipil lainnya sebagai pejuang kemerdekaan bangsa (Naredi 2020). Tidak hanya PSPB, terdapat pula perubahan mata pelajaran Kewarganegaraan menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Alasannya adalah mata pelajaran kewarganegaraan dianggap berbahaya bagi rezim karena dapat memunculkan sikap kritis para peserta didik terhadap negara (Sugiyono dkk. 2017). Oleh karena itu, PMP ditujukan untuk menekankan bahwa setiap warga negara harus taat dan patuh terhadap penyelenggara negara tanpa dikenalkan dengan hak-haknya (Sugiyono dkk. 2017: Hudaidah 2020).Â
Pada 1984, diterbitkan kurikulum yang lebih mengedepankan proses pendekatan keterampilan atau dikenal dengan metode Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Sayangnya, kurikulum ini terang saja belum bisa menempatkan peserta didik sebagai subjek belajar seutuhnya karena proses pembelajaran masih selalu mendapat kontrol dari pihak instruktur (Sugiyono dkk. 2017; Loppies 2023). Akibatnya, tidak ada peningkatan sehingga peserta didik tetap menjadi individu yang pasif.Â
Tak hanya kurikulum pendidikan, guru juga digunakan sebagai alat pelestari rezim Orde Baru. Politisasi guru terlihat pada organisasi profesi guru yang terafiliasi dengan politik, seperti KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia) dan PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Status PGRI turut diubah dari serikat kerja menjadi organisasi profesi. Meski tidak tertulis secara eksplisit, semua guru diminta bergabung dengan PGRI dan kerap menghadapi tekanan politik (Mukhtar 2019). Selain itu, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1969 melarang PNS, termasuk guru, mengikuti aktivitas politik. Hal ini mempersempit ruang gerak guru yang semula dapat dengan bebas memperjuangkan hak-haknya menjadi suatu organisasi yang tunduk sepenuhnya pada kekuasaan. Kondisi inilah yang menjadi cikal bakal monoloyalitas guru terhadap Golkar (Reeve 2013), dan PGRI serta KORPRI menjadi organisasi profesi yang identik sebagai basis pendukung Golkar (Darmaningtyas 2005).
Akar Narasi Familisme di Era Orde Baru
Segala kebijakan dan kurikulum yang diterapkan merupakan manifestasi dari instrumen penting dalam lamanya Soeharto berkuasa. Instrumen itu bernama familisme. Familisme merujuk pada penekanan rasa hormat pada pemilik kekuasaan di lingkungan keluarga yang diterapkan dalam sistem sosial dan politik secara nasional (Bourchier 2016).Â
Dalam tulisan Bourchier (2016), konsep familisme yang diadopsi oleh Soeharto berkembang di Jepang dan dikenal dengan istilah kokkashugi. Selama penerapan kokkashugi di era Meiji, pemerintah diposisikan sebagai pemilik kekuasaan tertinggi dan berperan layaknya kepala keluarga. Sementara itu, rakyat ditempatkan sebagai anak yang wajib menghormati dan memenuhi perintah orang tuanya. Konsep kokkashugi yang digunakan pemerintah berhasil menanamkan propaganda di kalangan rakyat bahwa budaya Barat harus ditentang. Oleh karena itu, kokkashugi sukses mencapai kestabilan politik dan membuat rakyat memandang budaya Barat sebagai ancaman bagi identitas dan nilai-nilai Jepang.Â
Keberhasilan penerapan kokkashugi menjadi modal bagi Soeharto untuk mengadopsi konsep yang serupa (Bourchier 2016). Penerapan familisme selaras dengan visi Soeharto untuk memperoleh legitimasi kekuasaan (Loppies 2023). Legitimasi kekuasaan tersebut dicapai untuk menciptakan pemerintahan yang stabil, anti golongan kiri, dan berorientasi pada pembangunan lima tahun (REPELITA).Â
Soeharto menanamkan nilai familisme di berbagai aspek ranah sosial. Penerapannya berupa Soeharto memerankan peran sebagai bapak, sedangkan jajaran bawahannya dan rakyat sebagai anak. “Bapak” didefinisikan sebagai aktor tertinggi dalam keluarga sehingga rakyat sebagai anak tidak berhak menolak instruksi yang diberikan oleh sang “bapak”.Â
“Di mata saya, tidak ada anak emas, juga tidak ada anak yang tidak saya senangi. Tidak ada. Semua mereka itu, dalam tugas dan bidangnya masing-masing, mempunyai kepercayaan yang sama dari saya.”
Dalam ranah pendidikan, penerapan konsep familisme digunakan untuk menciptakan kedisiplinan dan kepatuhan (Bourchier 2015). Dalam tulisan Shiraishi (2001), penanaman nilai familisme di lingkungan sekolah dilakukan dengan cara mengutamakan kepatuhan peserta didik terhadap instruksi guru. Sebagai contoh, peserta didik diminta untuk menyalin konsep yang diajarkan berulang kali, terlepas dari minimnya pemahaman peserta didik mengenai konsep tersebut. Padahal, peserta didik seharusnya memiliki kesempatan untuk mempertanyakan kebenaran dari konsep dalam instruksi tersebut, sehingga tidak membatasi kemampuan berpikir kritisnya (Solis dan Callanan 2021).
Tidak hanya dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar di kelas, penyusunan kurikulum secara tersirat mendukung praktik familisme (Naredi 2020). Buktinya terlihat dalam pembelajaran yang menekankan peran Soeharto sebagai “pahlawan” untuk memperkuat kepatuhan rakyat kepadanya. Terlebih lagi, pembelajaran mengenai penerapan nilai-nilai Pancasila dilakukan secara satu arah sesuai dengan kurikulum yang disusun oleh pemerintah pusat (Naredi 2020).
Sekolah menjadi tempat yang strategis untuk menanamkan nilai-nilai familisme karena siswa baru pastinya tidak memiliki pengetahuan dasar soal hal-hal yang akan diajarkan di sekolah (Shiraishi 2001). Maka dari itu, sekolah menjadi sasaran utama penerapan familisme. Setelahnya, pengenalan familisme berhasil menciptakan sistem yang mempromosikan kepatuhan dan opini yang terkontrol, sehingga Soeharto bisa melanggengkan kekuasaannya selama 32 tahun (Suparno 2012).
Selama 32 tahun lamanya, Soeharto sukses menyisipkan nilai-nilai familisme ke dalam setiap unsur kehidupan bernegara hingga menjangkau ranah pendidikan. Nilai familisme yang telah mengakar kuat membuat masalah pendidikan menjadi masalah struktural yang langgeng bertahan hingga era reformasi. Meskipun telah mengalami sejumlah perubahan, dunia pendidikan di Indonesia belum menyadari bahwa mereka masih berada dalam belenggu Orde Baru. Akhir kata, hal-ihwal indoktrinasi, keseragaman standar kemampuan, serta minimnya pemahaman tenaga pendidik terhadap kemampuan berpikir kritis masih terjadi sampai sekarang.
Penulis: Amelia Vyeji Ardhani dan Anis Faydhun Nada (Magang)
Penyunting: Achmad Zainuddin
Illustrator: I Gede Arya Nata (Magang)
Daftar Pustaka
Ardanareswari, Indira. 2020. “Sejarah P4 Di Masa Orde Baru Yang Kini Akan Dihidupkan Lagi.” Tirto.id. 9 Maret, 2020. https://tirto.id/sejarah-p4-di-masa-orde-baru-yang-kini-akan-dihidupkan-lagi-eCDt#google_vignette.Â
Ardanareswari, Indira. 2019. “Mengenal Rezim Ebtanas yang Dilahirkan oleh Rezim Soeharto”. Tirto.id. 23 Juni, 2019. https://tirto.id/mengenal-rezim-ebtanas-yang-dilahirkan-oleh-rezim-soeharto-ecRN.
Baharudin, and H. Ibnu Hizam. 2022. “Peran Kekuasaan Dalam Pendidikan.” Societty: Jurnal Jurusan Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial 48-54.
Bourchier, David. 2016. Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State. London: Routledge.
BPIP RI. 2023. “Refleksi Akhir Tahun 2023; BPIP Terus Konsisten Bumikan Pancasila”. BPIP – Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. 18 Desember, 2023. https://bpip.go.id/berita/refleksi-akhir-tahun-2023-bpip-terus-konsisten-bumikan-pancasila.Â
BPIP RI. 2021. “Tujuan Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi, Ketahui Landasannya!” BPIP – Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. 19 Maret, 2021. https://bpip.go.id/berita/tujuan-pendidikan-pancasila-di-perguruan-tinggi-ketahui-landasannya.
Darmaningtyas. 2015. Pendidikan yang Memiskinkan. Malang: Intrans Publishing.
Hudaidah, Safei. 2020. “Sistem Pendidikan Umum pada Masa Orde Baru.” Jurnal Humanitas 7 (1): 1-13.
Kusmawati, Heny; Nunona, Atmin L.; Maulana, Ilham; Khasanah, Robiatun; Dewi, Riana A. 2023. “Perkembangan Pendidikan Indonesia Setelah Tahun 1965 Sampai Runtuhnya Orde Baru.” ULIL ALBAB: Jurnal Ilmiah Multidisiplin  2 (9): 4054-4062.
Loppies, Megiridha. 2023. “Pendidikan Zaman Orde Baru Upaya Melanggengkan Kekuasaan Soeharto.” Phinisi Integration Review 6 (2): 237-245.
Mustafidah, Zayinatul, and Sri Mastuti Purwaningsih. 2016. “Gerakan Mahasiswa dan Kebijakan NKK/BKK 1978-1983.” AVATARA e-Journal Pendidikan Sejarah 99-106.
Naredi, Hadi. 2019. “PSPB Dan Dekonstruksi Sejarah Indonesia Pada Masa Orde Baru.” Historia: Jurnal Pendidik Dan Peneliti Sejarah 3 (1). https://doi.org/10.17509/historia.v3i1.20731.
Shiraishi, Saya S. 2001. Young Heroes. Kepustakaan Populer Gramedia.
Solis, Graciela, and Maureen Callanan. 2021. “Collaborative Inquiry or Teacher Talk? Parent Guidance during a Science-Related Activity in Mexican-Heritage Families from Two Schooling Groups.” Journal of Cognition and Development 22 (3): 448–66. https://doi.org/10.1080/15248372.2021.1901710.
Sugiyono, Aman, Dyah Kumalasari, Sutopo, and Apri Nuryanto. 2020. Peta Jalan Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: UNY Press.
Suparno, Basuki Agus. 2012. Reformasi & Jatuhnya Soeharto. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.