
©Kalangwan/Bal
Setelah Reformasi 1998, khalayak publik mulai mempertanyakan kejelasan tempat bagi aktivisme di Indonesia. Bukan tanpa sebab, sejumlah aktivis yang terlibat dalam pelaksanaan Reformasi ‘98 semakin banyak yang terjun ke dalam pemerintahan. Salah satu buku arsip sejarah Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998, mencantumkan beberapa nama aktivis Reformasi ‘98 yang kini sudah diangkat menjadi pejabat publik.
Memasuki semakin banyaknya aktivis dari masa Reformasi yang kemudian bergabung dengan pemerintahan, BALAIRUNG mewawancarai Muhidin M. Dahlan, arsiparis buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998, Sabtu (16-11). Pria yang akrab disapa Gus Muh ini memaparkan pandangannya mengenai disorientasi aktivisme terhadap politik praktis saat ini. Menurutnya, salah satu tujuan akhir dari aktivisme adalah menumbangkan kekuasaan. Simak wawancaranya berikut ini.
Bagaimana tanggapan Anda mengenai aktivis?
Ini ceritanya panjang, supaya kita tidak sesat dengan frase ini. Aktivis itu adalah orang yang selama hidupnya meluangkan waktu untuk orang lain. Di kamus bilangnya begitu, tetapi ada yang lebih tinggi lagi, kalau dikasih bobot politik; orang yang meluangkan waktunya untuk orang lain dan mengajak orang untuk bersolidaritas. Dia mewakafkan hidupnya dengan bersimpati dan bersolidaritas kepada orang. Nah, pada akhirnya, aktivis itu identik dengan orang-orang yang membangkang dengan sesuatu yang bersifat status quo. Ia ingin menjadi palu untuk memecahkan yang sudah beku [status quo-red].
Apakah aktivis memang diperlukan rasa simpati untuk mengajak orang bersolidaritas?
Bukan hanya simpati karena itu, dia punya organisasi nantinya. Nah, saat dia organisasinya ada, itu belum menakutkan bagi sejarah. Dia menakutkan itu kalau dia ketemu kelas besar, itu baru menakutkan bagi para pemuja es ini. Orang-orang es itu ya orang-orang yang keras kepala [yang punya status quo-red]. Aktivis ini mereka berorganisasi, organisasinya itu punya relasi dengan kelas besar. Itu yang berbahaya bagi orang-orang yang punya status quo.
Apa maksud dari kelas besar ini?
Yang paling besar massanya. Dia akan menakutkan kalau ketemu kelas ini, kelas yang paling rentan, kalau bahasanya Soekarno itu ketemu marhaenisme. Marhaen itu siapa? Ya, marxis yang Indonesia. Nah, itu bahaya. Pemerintah butuh tentara untuk menghancurkan mereka.
Lalu, apakah mantan aktivis yang terjun ke politik praktis itu karena mereka sudah kehilangan rasa solidaritasnya atau justru politik praktis memang sudah menjadi jalan karir aktivis?
Nah, mau ke mana toh. Dia tetap menjalani hidupnya dalam organisasi nonpemerintah atau pemerintah, cuman dua itu arahnya. Mereka ke politik, dalam arti yang formal atau tidak. Ada aktivis yang tetap di jalurnya, banyak itu; tetap membangun organisasi. Aktivis yang seperti itu ada karena penindasan itu selalu ada. Tapi, ada juga orang yang memang bergabung dengan politik-politik besar. Masalahnya ada di internal, kalkulasinya kayak apa? Dia aktivis, untuk mencari makan perutnya atau mencari makan pikirannya. Bagaimana pun mereka tetap mau merebut kekuasaan, nggak berhasil [merebut-red] atau nempel ke kekuasaannya.
Berarti aktivis sebenarnya tidak perlu berjarak dengan politik praktis?
Kita nggak bisa meliyankan politik praktisnya karena memang tujuannya itu ‘kan kekuasaan. Sekarang ini nggak punya organisasi, numpang ke organisasi orang alih-alih membuat organisasi sendiri. Nah, itu nyari makan sendiri-sendiri. Istilah mereka untuk menyelamatkan muka itu ya “membangun dari dalam”. Membangun apa coba?
Ketimbang dikuasai semua oleh orang yang bukan aktivis, ‘kan isi pikirannya cuma dagang aja. Tapi, kekuatan mereka apa? “Kamu sendiri kok sok sokan” Kamu berbahaya kalau kamu bersolidaritas dengan massa yang besar.
Lantas, apakah aktivis yang akhirnya menempel ke pemerintahan adalah suatu bentuk perlawanan juga?
Bisa jadi ya. Reformasi menjanjikan bahwa aktivis ini punya tempat. Bahkan ikut dengan yang mereka lawan gitu bukan masalah besar. Mestinya karena mereka sudah punya idealisme yang kuat, yang tinggi gitu kan. Nah, kalau menempelnya nggak punya apa-apa, selain memang menyelamatkan nasib buruk, itu masalah besar. Filternya itu loh yang penting. Moralitasnya itu ‘kan yang dibangun oleh sebuah organisasi.
Filternya itu nggak ada sama sekali. Orang bisa berubah, mau seidealis apa pun seorang aktivis. Kalau dalam ekosistem yang busuk, dia akan busuk. Nggak mampu filter moral individual, itu nggak mampu. Yang bisa itu kolektif. Organisasi lah yang memandu itu. Nah, kalau orang tidak ada organisasinya, udah nggak ada standar apa pun. Dalam dunia aktivisme yang [dianggap-red] ideal gitu.
Bagaimana dengan mereka yang menjual aktivisme untuk mendulang suara rakyat, seperti yang dilakukan Budiman Sudjatmiko dan Adian Napitupulu di pemilihan umum?
Itu kan value yang dia jual. Jadi kita hidup membangun portofolio. Jangankan dunia politik, dunia karyawan mendaftar itu juga dibutuhkan lagi portofolio itu. Portofolio aktivis apa? Aku demo di sini, aku jadi pembicara di seminar ini. Itu penting, siapa tahu besok itu dibutuhkan oleh partai. Nah, yang disayangkan itu adalah dia [Budiman Sudjatmiko dan Adian Napitupulu-red] dan Pramono, kenapa mereka nggak bisa bangun partai sendiri? Pernah mencoba, tapi gagal pemilu kan? Akhirnya bubar, gitu terus.
Lalu bagaimana jika mereka mengingkari janji kepada rakyat dan berakhir menjadi kacung pemerintah?
Partai itu organisasi besar, kepentingannya banyak sekali. Di situ diuji membangun dari dalamnya sejauh apa. Makanya moral aktivis itu penting sekali ditanyakan dari awal, aku bisa nggak sih? Atau ya sudah ikut arus aja gitu. Apakah partai-partai yang ada itu semuanya busuk? Ya belum tentu, harus diriset dari kebijakan dan responsnya. Apalagi [polemik-red] Omnibus Law dan lain-lain itu kan. Dengan berbagai kasus yang ada, kan parpolnya nggak bergerak. Artinya, ada masalah besar di dalam partai. Dimana para aktivis itu ketika sesuatu yang harus dibela itu di depan mata?
‘Kan dalam politik, yang tinggi kedudukannya partai toh karena diakui oleh undang-undang. Itu satu. Kedua, partai itu harus punya kader yang baik. Apakah sekarang mereka punya? Ketika kebanyakan tentara yang kemudian diajukan menjadi ketua-ketua, artinya nggak ada kader yang cukup baik untuk level itu. Di sinilah kemudian kita berkaca, pola pengkaderan aktivis kita itu bagus atau nggak sih? Kayaknya nggak, lebih bagus akademi militer.
Artinya apa? Jangan-jangan pengkaderan partai politik itu tidak ada sebetulnya, mati di ‘98 itu. Karena apa? Pengkaderan aktivis itu dalam organisasi, salah satunya dia disiplin. Kita menjadi direkrut oleh penguasa untuk mengisi pos-pos yang butuh keahlian khusus. Tapi, untuk kebijakan lebih luas, menjadi pemimpin, menjadi presiden, nggak punya.
Dengan masyarakat yang semakin skeptis melihat banyaknya aktivis yang bergabung ke pemerintahan dan membuat legitimasi aktivis semakin berkurang, bagaimana tanggapan Anda?
Di pemerintahan ‘kan basisnya birokrasi. Nah, itu semua dilatih, ada sekolahnya. Kita pernah nggak dilatih mengurus birokrasi? Itu yang kemudian menjadi masalah besar bagi para aktivis. Jadi, pilihannya masing-masing tuh, dia mau ngapain sebenarnya di situ, dan dia bisa berbuat sesuatu kalau punya arus politik besar. Aktivisme itu nggak mengarah ke sana.
Misalnya, aktivis ini menteri pertanian gitu, sementara arus besar kebijakan maunya sawit, penguasaan tanah, food estate dan segala macam di Merauke. Mestinya wilayah food estate itu ‘kan wilayah swasembada pangan. Itu ‘kan bidang petani tuh, yang [pemerintah-red] kirim malah tentara. Makanya penting ada para aktivis ini yang ideal karena sebenarnya tujuan besar para aktivis itu merebut kekuasaan. Merebut kekuasaan untuk apa? Kebijakan yang besar karena kalau nggak, tambal sulam sana-sini.
Apakah para aktivis yang akhirnya menjadi pejabat, termasuk para penyintas Tragedi ‘98 yang terjun ke politik praktis sadar dengan kemampuannya dalam birokrasi atau mereka bergabung karena nggak bisa menolak?
Ada yang sadar, ada juga yang tidak. Ada yang bagus di pemerintahan karena dia punya kapasitas untuk itu. Ada juga yang nggak bisa apa-apa, yang nggak berani menolak. ‘Kan banyak tuh aktivis-aktivis yang ditangkap oleh KPK.
Apakah ini juga bentuk dari “abang ditiru adek” dengan banyaknya aktivis senior yang terjun ke politik praktis sehingga dibuntuti penerusnya?
Aktivis itu ‘kan pilihannya banyak. Dia bisa ke politik praktis, bisa nggak. ‘Kan akademik juga punya karir, di perusahaan juga ada karirnya, di politik juga ada karirnya. Nah, itulah pilihannya. Kalau dia memang orang politik, ya dia berkarir ke politik. Dia sudah lebih awal itu. Udah diperkenalkan dengan itu, bukan tukar-menukar pelajar.
Apakah ada kemungkinan makna aktivisme bergeser tujuannya untuk karir politik, bukan menjadi “pemecah batu” lagi?
Itu ‘kan pelatihan. Orang yang naik itu tidak banyak, tidak semua kan. Aktivis ini ‘kan nggak semuanya ideal toh. Yang berbahaya bagi kekuasaan itu tadi, saya ulangi, sedari awal adalah yang dia menggerakkan solidaritas dan dia berada di level massa itu. Tapi, ya itu tadi, tidak semua ideal dalam kenyataannya karena reformasi kita usianya nggak nyampe setahun.
Jadi, ada dua, ada yang ke partai politik, ada yang bekerja di LSM. Kita tidak menilai baik buruknya dulu, ya. Kita lihat apakah mereka terlatih atau tidak, bagaimana mereka memainkan barang-barangnya itu. Biasanya aktivis itu seyogyanya memang ingin menjadi partai politik, itu memang kerjaan mereka. Tinggal memperjuangkan apa sebetulnya. Karena bukan tidak mungkin dua sahabat sama-sama aktivis itu saling bunuh. Sejarah kita menunjukkan itu biasa.
Penulis: Anggita Septiana dan Nasywa Asyraj
Penyunting: Ester Veny
Fotografer: Kalangwan Inggil Jati