
©Arya/Bal
“Cara kita melihat media itu tidak bisa dilepaskan dari rezim pemerintahan yang ada,” ucap Wisnu Prasetya pada diskusi yang diselenggarakan Aksara Institute. Diskusi yang bertajuk “#IndonesiaGelap: Pemberitaan Media dan Masa Depan Jurnalisme Kita”, diselenggarakan pada Sabtu (08-03). Melalui platform daring, diskusi ini menghadirkan dua narasumber, yakni Wisnu Prasetya, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Yovantra Arief selaku Direktur Eksekutif Remotivi. Lewat dua narasumber ini, keberadaan jurnalisme yang juga dipengaruhi oleh peranan pemerintah dibedah.
Sedari awal, Wisnu langsung menyampaikan bahwa persebaran diskursus Indonesia Gelap memang sangat luas. Namun, yang ingin ia soroti adalah mengenai cara media memberitakan isu ini masih terbatas pada ruang dan framing. “Ada keterbatasan simpati dari media terhadap aksi-aksi Indonesia Gelap,” tutur Wisnu.
Wisnu menyayangkan keterbatasan simpati dari media karena kemudian media juga tidak memberikan ruang terhadap massa aksi. Ia mencontohkan keterbatasan itu dengan pemberitaan media yang berfokus pada kekerasan yang terjadi ketika aksi. “Ini yang saya lihat dalam konteks Indonesia Gelap yang banyak sekali pemberitaan yang fokus di sana [kekerasan-red],” ucap Wisnu.
Keadaan pemberitaan media ini membuat Wisnu merasa pesimis dan optimis di waktu yang bersamaan jika harus melihat masa depan media di Indonesia. Bagi Wisnu, rasa pesimis itu muncul lantaran banyaknya disrupsi yang dialami oleh media arus utama. “Pesimis dalam artian banyak sekali disrupsi teknologi, disrupsi ekonomi, sosial, bahkan disrupsi politik,” terangnya.
Di sisi lain, Wisnu juga memiliki rasa optimis terhadap masa depan media Indonesia. Harapan ini ia sampaikan sebab menjamurnya media-media alternatif yang dapat menyeimbangi narasi media arus utama yang dipengaruhi kepentingan pemilik media, termasuk sisi ekonomis. “Media alternatif menjadi alternatif bagi kita untuk mengakses berita-berita yang tidak ditampilkan di media arus utama atau ditampilkan di arus utama, tapi dengan cara yang negatif,” ungkap Wisnu.
Kehadiran media baru dalam kurun waktu 5–10 tahun terakhir juga disoroti Wisnu. Kehadiran media baru ini, baginya dapat dijadikan pemahaman kepada masyarakat terhadap kerja jurnalisme yang tidak terpaku pada pemberitaan media arus utama. “Saya optimis akan munculnya media-media baru yang menjadi media alternatif kita,” ucapnya
Sependapat dengannya, Yovantra atau yang akrab disapa Yoyon mengungkapkan persetujuannya terkait keberadaan media alternatif itu sendiri. Ia mengungkapkan bahwa media alternatif memiliki kedekatan dengan komunitasnya. “BaleBengong misalnya, dia punya kedekatan dengan komunitas. Jadi, media itu bagian dari komunitas dan bekerja untuk komunitasnya,” ungkap Yoyon
Yoyon juga memberikan perhatian kepada “homeless media” yang hanya bekerja di media sosial dan berada di tingkat daerah, seperti @infodepok_id dan @info_Cipete. Menurutnya, adanya media yang dikelola dengan sistem ini menjadi bentuk media yang berasal dari bawah, melayani informasi, dan mengutamakan kepentingan warga. “[Jurnalisme-red] nggak selalu berurusan dengan hal-hal yang kayak korupsi atau penindasan dan segala macem, tapi juga problem sehari-hari yang memang mengganggu atau dibutuhkan oleh keluarganya,” ujarnya.
Penulis: Dicky Dharma Putra dan Amelinda Riski
Penyunting: Tafrihatu Zaidan Al Akhbari
Ilustrator: I Gede Arya Nata