Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bersama Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) mengadakan diskusi dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, Minggu (09-03). Diskusi yang bertajuk “Perempuan Pesisir Tangguh Menghadapi Perubahan Iklim, Mewujudkan Kedaulatan Pangan, dan Menjaga Sumber Daya Pesisir Secara Berkelanjutan,” menjadi sarana bertukar cerita para perempuan pesisir. Pandangan dan refleksi terkait krisis iklim yang dihadapi perempuan dan warga pesisir mereka sebutkan dalam pertemuan ini. Diskusi ini menghadirkan lima narasumber: Dwi Wahyuni, Perempuan Nelayan Bandungharjo; Sunarti, Perempuan Nelayan Timbulsloko; R.R.A Hermawati Sasongko (Rara), Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Semarang; Susan Herawati, Sekretaris Jendral KIARA; serta Cornelius Gea, Pengabdi Bantuan Hukum LBH Semarang.
Krisis iklim memang sangat terasa dampaknya kepada perempuan dan anak. Pernyataan ini diperkuat oleh Cornel, ia beranggapan hal ini terjadi karena adanya kedekatan antara tubuh perempuan dengan lingkungan. “Biologi tubuh perempuan membutuhkan akses terhadap air bersih sehingga ada kedekatan emosional antara perempuan dengan lingkungannya,” terang Cornel. Ia mencontohkan keterbatasan kawasan pesisir terhadap akses air bersih pada akhirnya menimbulkan permasalahan bagi perempuan yang setiap bulan masih mengalami menstruasi, contohnya keputihan.Â
Keterbatasan lainnya juga berdampak kepada paralegal yang mendampingi komunitas Puspita Bahari. Rara sebagai paralegal menceritakan kisah koleganya yang berkunjung menawarkan bantuan kerap mengalami kecelakaan dan kerusakan kendaraan akibat air rob yang membanjiri kawasan pesisir. “Teman-teman harus naik bentor, mobil angkutan sehingga korban terkendala layanan akses,” keluh Rara. Jauhnya akses masyarakat pesisir terhadap fasilitas pelayanan mampu membahayakan ibu hamil yang akan melahirkan, ia menyayangkan hal ini karena bisa menyebabkan kematian.
Kemudian, Rara turut menjabarkan bahwa krisis iklim juga meningkatkan konflik sosial ekonomi pada keluarga pesisir. LBH Semarang mencatat sebanyak 90 kasus laporan dari Puspita Bahari, mayoritas berkaitan dengan kekerasan akibat iklim. Musababnya, ketika krisis iklim terjadi para suami tidak dapat melaut, mau tak mau istrinya bekerja. “Istrinya menjadi tulang punggung keluarga, ketika ia menanyakan tanggung jawab suami, suaminya malah memukul dan terjadilah kekerasan,” tuturnya. Jika kekerasan seperti ini terjadi, Rara menyebutkan bahwa ini melahirkan penelantaran terhadap perempuan dan anak.
Dari semua kesulitan yang harus dihadapi perempuan itu, ketidakhadiran pemerintah atas krisis iklim yang terjadi kemudian dipertanyakan oleh Susan. Ia menilai negara hanya memberikan solusi palsu berupa proyek pembangunan yang turut dipertanyakan tentang solusi konkret di dalamnya. Pasalnya, berdasarkan catatan KIARA sejak tahun 2016–2025, ditemukan 100 lebih Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan 46 di antaranya berada di pesisir. Namun, pembangunan yang dimaksud hanya berfokus pada perencanaan infrastruktur tanpa memperhatikan pemberdayaan warga pesisir. “Negara melihat itu sebagai bentuk pembangunan, padahal itu adalah kontributor dampak krisis iklim yang hari ini kawan-kawan rasakan,” tegas Susan.
Kasmawati, salah seorang perempuan pesisir muara Demak, juga menceritakan kesulitannya bersama dengan yang lain selama ini. Ia mengeluhkan bahwa mereka tidak bisa lagi menghasilkan stok pangan akibat dari krisis iklim dan laut yang dicemari korporasi. Selain itu, ia juga menyayangkan kebijakan pemerintah yang tak memihak kepada nelayan tradisional. “Kita ini nelayan perempuan, kalau tidak bisa melaut tidak bisa ngapa-ngapain, selain ngutang [untuk memenuhi kebutuhan-red],” keluh Kasmawati.
Dalam diskusi kali ini, Susan juga menyoroti tentang kesulitan peran perempuan menjadi produsen pangan. Ia bahkan mengagumi perempuan nelayan yang bisa menghadapi angin kencang dan tingginya ombak, tetapi sekembalinya ke rumah tetap berperan sebagai ibu. Baginya, peran ibu dan laut tidak bisa dipertukarkan. “Jadi ya, menghormati perempuan artinya juga menghormati laut, menjaga laut artinya menjaga perempuan,” pungkas Susan.
Penulis: Irene Manggar Naksatragini, Syahla Nurkhaifa
Penyunting: Reyhan Maulana Adityawan