
©Navia/Bal
Dalam rangka mengenang seabad kelahiran Pramoedya Ananta Toer yang lebih masyhur sebagai Pram, Sentir Media mengadakan diskusi “Memperingati 100 tahun Pram” di Ra Kopiran, Selasa (18-03). Diskusi yang dimoderatori oleh Markijok, menghadirkan Soesilo Toer sebagai adik Pram dan Astrid Reza selaku sejarawan sekaligus peneliti dari Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan (RUAS) Indonesia. Diskusi yang berlangsung sekitar 2 jam ini bertujuan untuk membedah pemikiran Pram dari perspektif keluarga serta mengenang kebebasan dan keberaniannya dari masa ke masa.
Perbincangan sore itu dimulai dengan obrolan pemantik Markijok terkait cara keluarga Toer mendidik dan membentuk kepribadian anak-anaknya. Soesilo, yang kerap disapa sebagai Soes, mengatakan bahwa budaya literasi telah lama mendarah di keluarga Toer. Hal ini tercermin dari pekerjaan ayahnya sebagai kepala sekolah yang membuka akses mereka terhadap buku-buku hingga ajaran ibunya yang rajin membiasakan untuk membaca Al-Quran. “Jadi kami itu sejak kecil [memiliki-red] budaya membaca dan menulis. Kami seperti mafia sastra dunia dari Blora,” kelakar Soes.
Selain budaya literasi yang ditularkan dalam keluarga, Pram juga mendorong semangat juang bagi saudara-saudaranya, tak terkecuali Soes. “Dipenjara itu bukan masalah, adiknya Pram itu semua digerek ke penjara karena kepengen ngikutin gayanya Pram, berani,” jelas Soes. Ia juga berulang kali memberikan pernyataan “your mind can not be imprisoned” alias pikiran kita tidak bisa dibelenggu meskipun raga kita dipenjara.
Sementara itu, Astrid berusaha melihat kebebasan dari sudut pandang perempuan. Ia menyampaikan bahwa perempuan Indonesia harus terlebih dahulu mengetahui sejarahnya sendiri. Menurutnya, kebebasan yang ada saat ini bukanlah hasil kerja satu generasi saja, melainkan hasil kerja banyak perempuan dari generasi terdahulu. “Teman-teman yang sudah sampai di Jogja hari ini bisa sekolah, bisa kuliah, itu karena ada banyak perempuan di belakang kalian yang sudah mengorbankan banyak hal,” tuturnya.
Astrid lebih lanjut menerangkan bahwa Pram, Soes, ibunya, hingga tokoh perempuan dalam karya mereka telah membawa sebuah warisan kebebasan untuk berkata benar dengan cara masing-masing. Namun, Astrid memperingatkan bahwa warisan kebebasan tersebut tidak boleh disalahgunakan. “Bagaimana menggunakan kebebasan itu untuk kepentingan orang banyak, untuk membela yang tertindas, untuk bersuara tidak hanya untuk dirimu saja, itu yang menurut saya paling penting,” tegas Astrid.
Dalam konteks masa kini, salah seorang peserta diskusi bernama Ulin mengajukan pertanyaan terkait pembangkitan kembali dwifungsi TNI yang dilakukan pemerintah. Astrid menimpali hal tersebut dengan sebuah kalimat retoris, “Apa konsekuensi dari reformasi yang gagal dan revolusi yang tidak sampai-sampai ketika dwifungsi kembali?” Bagi Astrid, polemik ini menunjukkan pembatasan kebebasan yang akan terus terjadi kalau tidak ada keberanian seperti Pram dan Soes di masa lampau.
Selepas diskusi berakhir, BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Soes secara personal. Saat ditanya mengenai pesan yang ingin ia sampaikan pada anak muda di zaman sekarang, Soes kembali menegaskan bahwa modal utama hidup adalah keberanian. “Hidup harus berani, menang kalah lain lagi. Cuma orang-orang yang berani yang bisa menaklukkan dunia,” pungkasnya.
Penulis: Anggun Ravisti dan Rifky Wildhani
Penyunting: Laura Anisa
Fotografer: Navia Shofinaim