
©Abby/Bal
Komersialisasi ilustrasi oleh Artificial intelligence (AI) selalu menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Pro dan kontra masyarakat dalam menyikapi isu ini kembali riuh, saat didapati penerbit buku yang menggunakan ilustrasi oleh AI untuk beberapa sampul buku mereka. Penerbit hanya berdalih bahwa kemunculan teknologi AI ini harus mereka jajal. “Penjajalan” yang demikian sering kali mengabaikan etika kerja kreatif manusia dan mengeksploitasi karya seniman lain tanpa izin. Ditambah, buramnya regulasi penggunaan AI justru menjadi pembenaran untuk menggunakan AI dalam pembuatan ilustrasi sampul buku.
Pada saat yang bersamaan, pemerintah juga kerap kali menggunakan AI dalam kampanye politik hingga meluncurkan buku Panduan Penggunaan Generative Artificial Intelligence. Kasus-kasus penggunaan teknologi AI semacam ini pada akhirnya menimbulkan kekhawatiran akan nasib keberlanjutan pekerja industri kreatif. Komersialisasi AI akhirnya meminggirkan peran ilustrator sekaligus menciptakan ketimpangan di sektor industri kreatif.
Perlindungan hak terhadap nasib keberlanjutan para pekerja kreatif turut menarik perhatian seniman. Untuk menelusuri perkembangan penggunaan AI dalam industri kreatif, Sabtu (14-12), BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Henke Yunkins, Direktur Regulasi dan Etika Indonesia AI Society (IAIS) yang aktif dalam menyosialisasikan etika dalam mengawal perkembangan AI. Menurutnya, penerapan etika dalam penggunaan AI tidaklah cukup, Diperlukan regulasi dan ketentuan hukum yang jelas agar peran pekerja kreatif tidak semakin tergeser oleh kemajuan teknologi. Simak wawancaranya!
Apa tanggapan Anda mengenai penggunaan AI untuk ilustrasi sampul buku oleh beberapa penerbit
Dari pandangan AI ethic sebetulnya itu ada tantangan yang cukup kompleks dalam situasi ini. Yang utama adalah adanya eksploitasi karena penggunaannya potong jalur kompensasi kepada [pekerja-red] kreatif yang seharusnya bisa menjadi lapangan kerja. Kesempatan itu dipotong jalur oleh para pelaku atau penerbit dengan memakai AI.
Juga ada suatu ambiguitas dari hak cipta di sini, jadi nggak jelas siapa pemilik dari karya tersebut dan hak cipta berikutnya. Dua hal ini menyebabkan disrupsi secara ekonomis, yaitu potensi eksploitasi yang akan mengurangi kesempatan pekerjaan bagi ilustrator, dan dari sisi nonekonomis akan mengkomodifikasi kreativitas. Jadi, artistic expression untuk berkarya secara kreatif berubah menjadi sekadar output dari sebuah algoritma yang terkandung dalam AI model.
Apakah ada batasan atau etika yang perlu ditetapkan dalam penggunaan AI, terutama dalam konteks pembuatan ilustrasi buku?
Kalau dikecilkan dalam perspektif AI Ethic, sebetulnya ada beberapa batasan mendasar. Konsep dasar etika kerja dasar AI adalah transparansi. Jadi kalau yang memakai AI untuk membuat konten dalam hal ini, penerbit ya, menggunakan AI untuk cover-nya juga harus dibuka full disclosure [seluruh data yang dipakai-red]. Harus ada juga suatu pemberian kredit, bukan masalah kompensasinya saja, tapi pemberitahuan kepada kreator. Data yang dipakai untuk training AI ini memiliki data dasar dari para kreator. Itu harus diakui dan kalau ada nilai komersial tertentu harus dikompensasikan. Para pencipta data tersebut, yaitu creative talent itu harus memberikan konsen.
Konsen adalah hal paling sulit, sedang didebatkan sangat pelik, contohnya di Amerika [Serikat-red]. Di sana, apa pun yang sudah ada di internet itu bebas dipakai karena sudah dipublikasikan, tetapi hak cipta dan hak kreatif lahir ketika suatu karya baru itu diciptakan dan keluar, itu mengikat. Tapi, sulitnya ya perusahaan-perusahaan ini ada inisiatifnya masing-masing dalam mekanisme konsen ini. Mereka menghindari memberi kesempatan kepada talent untuk bekerja kreatif. Menurut saya, itu tidak fair.
Bagaimana prinsip etika AI harus diterapkan untuk memastikan bahwa penggunaan AI tetap menghargai hak cipta dan hak seniman manusia?
Yang pertama, menurut saya transparansi, jadi transparansi ada dua hal yaitu harus diwajibkan memberikan sumber ilustrasinya dari mana, apakah orang atau AI. Dan juga harus transparan mengenai topik yang dipakai di perangkat AI. Berikutnya dan mungkin ini yang paling sulit ya, harus ada fair compensation jadi kalau misalnya pakai AI maka ilustrator yang tergantikan itu akan tetap diberi kompensasi untuk menjaga nilai ekonomis profesi tersebut.
Secara etika tuh tidak ada hukuman kerasnya, jadi mungkin harus ada social punishment juga terhadap orang-orang yang melanggar atau sejenisnya. Secara prinsip ya juga harus ditunjang oleh suatu eksekusi. Nah, itu akhirnya peran masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban akan menjadi suatu ethical principles.
Apakah sanksi sosial terhadap penggunaan AI dapat menciptakan ruang yang lebih adil?
Kalau menurut saya harusnya menciptakan yang lebih adil. Kita sebagai masyarakat umum ya, kita sebagai pecinta karya seni, apakah kita masih tetap ingin kecintaan kita itu riil terhadap suatu kreativitas manusia, atau kita udah ya udah cuek gitu. Jadi para penerbit juga tahu, bahwa mereka tidak bisa menggantikan talent-talent manusianya, atau tidak bisa seenaknya menghilangkan peran dari kreatif talent. Masyarakat tuh ingin sesuatu yang lebih otentik yang bersifat dinamis.
Meskipun ada permasalahan terkait hak cipta dan transparansi data, mengapa penerbit buku tetap menggunakan AI untuk keperluan ilustrasi buku?
Pertama adalah cost efficiency karena mereka [penerbit buku-red] berpikir bisa menghemat biaya. Tapi, tidak hanya biaya saja karena mereka harus mengunggah konten lebih produktif dan fleksibel. Mereka tidak ingin ketergantungan terhadap kreatif talent. Menurut saya, yang paling simple adalah alasan ekonomi.
Sebetulnya, itu dibentuk karena persepsi mereka bahwa teknologi menyelesaikan segalanya dan harus efisien serta efektif. Kenapa mereka tetap melakukan itu? Ya karena tidak adanya suatu tata kelola, undang-undang, atau regulasi yang jelas mengenai hal tersebut. Ironisnya, mereka harusnya bergantung pada kreatif talent, tapi mereka malah memilih jalan ini.
Apakah etika saja cukup atau diperlukan regulasi untuk memastikan AI digunakan dengan bijak tanpa mengancam ruang hidup pekerja ilustrator?
Kalau kita hanya bergantung sama etika, tidak akan cukup. Etika hanya mengikat kelompok kecil dari pelaku-pelaku tersebut. Jadi dibutuhkan suatu peraturan yang lebih kuat sifatnya, dibutuhkan hard law atau legal ya. Tapi, itu tidak sederhana, mungkin kita bisa bergerak dari suatu framework etika yang ditingkatkan menjadi suatu pengembangan kebijakan kolaboratif. Akhirnya, bisa menjadi satu legal regulasi, yang melindungi atau menyeimbangkan kepentingan antara pihak-pihak yang ada dalam industri tersebut. Tanpa itu, kelihatannya sulit ya untuk memberikan perlindungan, terutama dalam perlindungan para tenaga kerja [kreatif-red].
Untuk saat ini sudah adakah ada regulasi hukum yang mengatur terkait penggunaan AI?
Sayangnya belum ada. Kalau di Indonesia sih sudah pasti belum ada ya. Di negara tetangga kita, Singapura, mereka memberikan saran bahwa para regulator harusnya mengeluarkan suatu aturan bagaimana generatif AI ini kedepannya gitu. Ada dua hal yang harus disasar, input dan juga output model AI sebenarnya pakai data yang punya hak cipta, gimana caranya karya yang terpakai, hak ciptanya bisa terkompensasi. Nah, secara output, dalam konteks regulasi, apakah generate AI output-nya melanggar dari hak cipta yang ada. Kalau ini melanggar, siapa yang harus bertanggung jawab? Pemakai atau si pemodel gitu. Jadi, saat ini belum ada pengembangan kebijakan yang pasti dalam bidang ini, dan juga masih berbeda-beda pendekatannya di setiap negara.
Lalu, apakah pemerintah Indonesia sudah mulai memberikan perhatian terhadap isu ini?
Menurut saya, masih kurang. Pembahasan secara regulasi itu masih sangat minim. Saya juga berdiskusi dengan beberapa ahli hukum di bidang HKI [Hak Kekayaan Intelektual-red], mereka bilang tata kelola kita masih kurang.
Menurut saya, harusnya bisa juga di-upgrade atau dibuat lebih baik undangan-undang hak cipta yang ada saat ini dalam hal AI ya. Dibutuhkan keterlibatan teman-teman kreatif yang besar sehingga kesadarannya menjadi makin tinggi, agar tercipta kerangka kebijakan yang lebih adaptif. Dalam hal ini, juga menyeimbangkan kalau AI ethics mendorong inovasi dan memitigasi risiko. Ini juga mendorong inovasi yang lebih baik dalam penerapan dan pemakaiannya di industri kreatif.
Bagaimana pandangan Anda dengan pernyataan bahwa AI dapat digunakan sebagai alat kolaboratif bukan kompetitor
Dalam dunia ideal, istilahnya rose color tinted glasses, hanya melihat dari sisi yang sangat positif gitu. Pada dasarnya, AI itu dikelompokkan sebagai collaborative tools. Istilah teknisnya adalah suatu augmentatif technology. Memakai AI di dunia kreatif dalam hal ini mungkin mereka memakainya untuk creative flow, buat brainstorming, ideation, dan sejenisnya. Jadi bisa memberikan inspirasi atau sketsa awal dari apa yang ada di pikiran mereka. Dalam hal ini, AI adalah suatu alat kolaborasi yang mendukung, tidak menghilangkan kreativitas manusianya. Tapi, kenyataannya adakah perlindungan secara regulatif? Organisasi CISAC, mereka mengeluarkan laporan study on the economic impact of generative AI in the music and audiovisual industries. Harapannya sebagai alat kolaboratif, tapi hasilnya terdisrupsi dan perusahaan-perusahaan industri malah menggantikan human talent dengan AI tersebut. Jadi, pelaku di industri [kreatif-red] yang mengganti human talent bukan menjadikannya sebagai alat kolaboratif.
Penulis: Annisa Attaya Zahra, Chuzaima Bi Santyatita, dan Meitri Habsari (Magang)
Penyunting: Anggita Septiana
Ilustrasi: Nicholas Abby