
©Nico/Bal
Buku Realisme Revolusioner: Misbach, Amrus, Pekik (2023) karya Hajriansyah mengulas implementasi ideologi realisme revolusioner dalam karya-karya seni rupa. Kesenian dalam konteks ideologi realisme revolusioner dimaknai oleh penulis sebagai bentuk perlawanan bagi pihak-pihak yang tertindas oleh sistem kapitalisme dan imperialisme. Penulis melakukan penelitian mengenai implementasi realisme revolusioner yang sempat menjadi gerakan kesenian progresif di era 1960an. Semangat ini menubuh pada karya-karya tiga seniman Sanggar Bumi Tarung, yakni Misbach Tamrin, Djoko Pekik, dan Amrus Natalsya.
Realisme revolusioner menangkap semangat perjuangan melalui aliran seni yang dicetuskan oleh Sanggar Bumi Tarung. Dari semangat perjuangan, realitas kehidupan rakyat Indonesia dipakai sebagai pondasi utama dalam menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia. Untuk mengeksplorasi lebih lanjut mengenai seni realisme revolusioner, BALAIRUNG mewawancarai Hajriansyah, Selasa (12-11) secara daring. Simak wawancara selengkapnya.
Apa yang menjadi cikal bakal munculnya aliran realisme revolusioner di Indonesia?
Kalau kita menyebut realisme revolusioner, tentu ini adalah pilihan langsung oleh Misbach dan anggota Sanggar Bumi Tarung lainnya. Saya juga pernah menanyakan ini kepada sejarawan seni rupa, Agus Burhan. “Apakah memang istilah realisme revolusioner adalah istilah yang umum?” Dia bilang, “Tidak, secara umum, ini adalah bagian dari manifesto sosialis karena realisme revolusioner adalah pilihan Sanggar Bumi Tarung sendiri.”
[Ideologi-red] ini juga menyambut pidato Bung Karno tentang “Revolusi Belum Selesai”, yang sangat menginspirasi mereka dalam perjuangan. Mereka ingin menjadi garda terdepan pembela dari pikiran itu, mereka ingin mewujudkan satu kondisi sosial, Indonesia baru. Indonesia yang mensejahterakan rakyat dan berpihak pada rakyat, tidak sekadar slogan-slogan yang berbicara tentang perubahan, tetapi benar-benar mampu memberikan keadilan kepada masyarakat. Paling tidak, itulah yang menjadi dasar pemilihan serta adanya realisme revolusioner.
Dikarenakan mereka [anggota Sanggar Bumi Tarung-red] kebanyakan adalah mahasiswa seni rupa; maka patung, lukisan, dan seni grafis, dijadikan sebagai alat perjuangan yang paling memungkinkan. Pilihan itu juga didasarkan atas dialektika yang terbangun di antara mereka.
Misbach Tamrin pernah menyatakan bahwa realisme sosialis hanya berlaku di negara yang sudah menjadi sosialis. Berbeda dengan Indonesia karena masih dalam tahap berjuang dalam bingkai revolusi. Lantas, mengapa Indonesia masih dalam tahap perjuangan dan tidak bisa mengimplementasikan ideologi realisme sosialis pada masa itu?
Pada saat itu revolusi belum selesai, jadi karya mereka adalah bagian dari perjuangan. Kalau kita lihat beberapa karya realisme sosialis Rusia, cenderung bersifat mengagung-agungkan para tokoh dan juga sebenarnya lebih cenderung romantik.
Ada kaitannya dengan perkembangan di Indonesia sendiri, S. Soedjojono [salah satu pelukis Lekra-red] menekankan orang-orang Indonesia menggambarkan kondisi sosialnya dengan segala keterbatasan teknik melukis mereka. Itu berkesinambungan dengan pilihan-pilihan realisme yang mereka pilih, realisme yang tidak hanya sekadar indah, tapi juga benar-benar melukiskan rakyat.
Rakyat itu seperti yang sebelumnya digambarkan oleh S. Soedjojono, kakinya nyekeran, badannya kekar, dan lain sebagainya. Mungkin secara visual rendah, tapi itu gambaran masyarakat Indonesia saat itu. Itulah yang muncul dalam lukisan, misalnya saya lampirkan karya-karya Djoko Pekik, betul-betul rakyat di dalam pikiran. Jadi itulah realisme yang memang menggambarkan kondisi Indonesia apa adanya, bukan realisme yang sekadar menggambarkan keindahan romantik sebagaimana realisme sosialis Rusia saat itu.
Mengapa aliran realisme revolusioner begitu menekankan pada penggambaran kondisi sosial yang sebenarnya?
Istilah realisme revolusioner yang diperkenalkan oleh Misbach Tamrin memiliki signifikansi khusus. Istilah ini dengan tepat menangkap semangat dan tujuan para seniman yang ingin menggunakan seni sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Dibandingkan dengan istilah yang lebih umum, seperti “alat sosial” atau realisme sosialis. realisme revolusioner lebih spesifik merujuk pada konteks historis dan ideologi yang melatarbelakangi karya-karya tersebut.
Anggota Sanggar Bumi Tarung inilah satu-satunya yang secara konsisten menjalankan konsep ini dalam aktivitas kesenian mereka, lalu menafsirkan dan mengamalkannya menjadi sebuah sikap kesenian. Mereka memang menyarankan satu gaya yang memotret langsung kehidupan masyarakat Indonesia secara apa adanya. Mereka menolak “Mooi Indie” sebab dianggap seni elitis. Dengan demikian, para seniman Sanggar Bumi Tarung beranggapan gaya seni yang dianggap elitis haruslah ditinggalkan dan mulai fokus pada penggambaran kondisi rakyat yang sebenarnya.
Bagaimana seni realisme itu sebenarnya eksistensinya di era masa kini?
Saya kira realisme masih mendapat tempat untuk berkembang. Hari ini kita bisa melihat ada realisme kontemporer, dan sebagainya, yang tidak hanya berbicara idealisme tertentu, tapi juga berkembang dalam teknik-teknik tertentu dalam karya seni rupa yang membuka khazanah lebih luas. Namun begitu, bahwa realisme terus punya tempat di hati banyak orang, terutama paling diterima di masyarakat awam atau rakyat yang sering mereka dengungkan. Pak Amrus itu sempat melontarkan gagasan tentang realisme revolusioner era masa kini. Menurut beliau, di antaranya, realisme revolusioner masa kini itu harus sederhana, harus lugas, dan tidak mesti secara pihak bentuk realistis. Namun, mampu menyampaikan pesan secara lugas dan sederhana dalam menyampaikan masyarakat.
Pada tahun 2016 lalu, dalam ArtJog 2016, Djoko Pekik sempat dihujat karena berpameran dan dianggap tidak peduli dengan sponsorship, Freeport. Bagaimana ideologi yang dibawakan dalam karya memiliki konsekuensi pada seniman itu sendiri?
Saya kira itu hal yang berat ketika konsekuensi itu terjadi. Karena singgungan mereka masuk ke dalam dunia seni kontemporer Indonesia yang kemudian membuat mereka berubah juga. Tapi saya kira mereka cukup konsisten dengan pilihan ideologi mereka itu, walaupun kehidupan mereka sendiri berubah. Tapi, saya percaya bahwa ideologi yang mereka pegang itu tidak serta merta kemudian luntur begitu saja.
Pak Pekik itu, walaupun juga salah satu yang sering mereka kritik sendiri di dalam, selain paling banyak dikritik di luar karena sikap hidupnya, juga mereka sering ingatkan. Namun, Pak Pekik itu juga salah satu orang yang konsisten memegang kepolosan kerakyatannya dalam memandang keseharian, dalam memandang perubahan sosial, dia masih lugu, seperti halnya rakyat yang ia lukis di dalam karya-karyanya.
Penulis: Aulia Nafisatun Ramadhani, Fadhillah Akbar, dan Falinkha Varally (Magang)
Penyunting: Nabeel Fayyaz
Ilustrator: Nico Setiawan (Magang)