
©Navia/Bal
Riuh hujan menyapa siang di Dusun Ngemplak, Desa Piyaman, Kecamatan Wonosari, Gunungkidul. Deru angin kencang menyusup di antara rimbunnya pepohonan yang bebas dari jerat kabel listrik, terasa ada yang berbeda pada atap-atap rumah di sana. Di tengah susunan genteng-genteng tanah liat, terpasang rapi panel surya di atap rumah-rumah tersebut.
Dari kejauhan, seorang pria paruh baya tersenyum hangat, menyambut di rumah yang ia sebut “Rumah Edukasi”. Muhammad Awab Abdullah namanya. Berbekal pengetahuan elektronik dasar yang ia miliki, Awab membawa kebaruan bagi warga Dusun Ngemplak dalam penggunaan energi. Dengan kemampuannya, Awab mengajak dan membimbing warga Dusun Ngemplak untuk menyulap wilayah tinggal mereka menjadi perkampungan ramah energi.
Awab kemudian mengenang perjalanannya terlibat dalam pemanfaatan energi ramah lingkungan yang kemudian ia sebut energi mandiri. Proses yang ia lalui tidaklah singkat. Kisahnya bermula pada tahun 2006, saat gempa dahsyat mengguncang Bantul, meluluhlantakkan segala infrastruktur yang mulanya berdiri kokoh. Gelap gulita menyelimuti, jaringan komunikasi terputus, kehidupan nyaris berhenti.
Gempa dahsyat kala itu, menurut Awab, berhasil mengguncang psikis para korban. Debu dan bau anyir memperparah situasi korban, terlebih bagi anak-anak. Hal tersebut lantas menggerakkan hati Awab untuk memutar otaknya mencari solusi. Ia yang kala itu terlibat dalam organisasi relawan kebencanaan bertekad menghasilkan sesuatu yang dapat membantu para korban anak. “Anak-anak adalah penerus kehidupan bangsa, harus diprioritaskan,” tutur Awab.
Menilik peristiwa tersebut, Awab berefleksi atas kehidupan masyarakat. Ia menyadari pentingnya peran energi dalam kehidupan. Awab mendapati bahwa banyak potensi energi ramah lingkungan yang ada, tetapi belum dimanfaatkan. “Dari gempa Bantul tersebut, saya coba memahami bahwa yang paling bagus adalah energi mandiri yang tidak ketergantungan [listrik dari pemerintah-red],” terang Awab.
Awab memutar otak, ia mulai memanfaatkan barang-barang elektronik bekas di rumahnya. Melalui percobaan berulang kali, ia mendapati bahwa transistor model jengkol dapat menghasilkan energi saat terkena sinar matahari. Perangkat dengan bentuk menonjol dan menyerupai jengkol ini menjadi harapan Arab untuk menyambungkan arus ke perangkat elektronik. “Transistor model jengkol saat kita buka dan terkena matahari ternyata bisa menyala 8–10 jam, bisa saya pasang di pengungsian anak-anak,” ungkap Awab.
Langkah Awab lantas tak berhenti saat dirinya mencoba untuk menerangi tempat pengungsian yang dihantui gelapnya malam pascagempa Bantul itu. Ia berharap energi mandiri tidak hanya sekadar menjadi pemulih kondisi pascabencana, tetapi juga menjadi suplai energi berkelanjutan bagi warga. “[Mengantisipasi-red] kebencanaan itu yang paling aman adalah energi mandiri,” ujar Awab.

Panel surya di atas Rumah Edukasi milik Awab. ©Navia/Bal
Sedari awal pembuatan panel surya, Awab menciptakan dua instalasi panel surya untuk tujuan yang berbeda. Satu berpijar di tengah kegelapan pengungsian gempa di Bantul. Sementara itu, yang lain berfungsi untuk memantau keadaan di tempat pengungsian dari kediamannya. “Jadi saya bisa pantau dari rumah untuk cross check,” jelas Awab. Dirinya tahu bahwa langkah kakinya tak mungkin selalu menapak di setiap sudut bencana. Hingga kini, kedua instalasi panel surya itu masih ada dan terus dikembangkan olehnya.
Awab mulai menceritakan awal mula dirinya menggunakan energi surya di sekitar tempat tinggalnya. Ketika setiap rumah di kampungnya dilanda mati listrik, lampu di rumah Awab tetap terang benderang. “[Panel suryanya digunakan-red] untuk penerangan depan rumah, bukan untuk skala besar,” cerita Awab. Meski awalnya untuk pribadi, ternyata keunikan itu menarik perhatian seorang tetangga. Lambat laun, tak cuma satu orang, segelintir warga lain pun mulai memutuskan untuk menggunakan energi mandiri yang diinisiasi oleh Awab.
Banyaknya warga yang berminat menggunakan panel surya tak serta merta membuat Awab tergiur mengeruk keuntungan pribadi. Ia bahkan rela mendermakan panel surya miliknya untuk fasilitas umum, seperti jalan dan tempat ibadah. Sementara itu, untuk kediaman para tetangga, Awab tak hanya sekadar membantu memasang panel surya, tetapi turut memberikan edukasi mengenai penggunaan energi mandiri. “Dengan adanya edukasi itu, otomatis mereka akan disiplin, pasti mudah beralih ke eco-energy,” ujar Awab.
Proses edukasi energi mandiri bagi masyarakat tidak terjadi secara instan. Awab mulai dengan melatih pembiasaan kepada warga untuk berhemat energi. Setelah warga dirasa paham, ia mulai mengajarkan warga cara merakit panel, memasangnya, juga mengoperasikannya. “Awalnya, saya main ke rumahnya [Awab-red] dikenalkan panel surya, belajar langsung praktek,” cerita Ronal, salah seorang warga yang turut menggunakan energi mandiri. Meski kini Ronal telah berpindah dari Desa Piyaman, edukasi energi mandiri yang diperolehnya masih ia terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Selama mengedukasi penggunaan energi mandiri, tembang proses Awab bukannya mulus tanpa hambatan. Minimnya pengetahuan warga mengenai energi yang ramah lingkungan menjadi kendala. “Satu, orang tidak paham kelistrikan; dua, tidak ada biaya,” keluh Awab. Ia mengaku harus menguras pikiran dan tenaga untuk mengatasi itu semua tanpa uluran tangan pihak lain , termasuk pemerintah desa atau daerah.

Salah satu lampu yang menggunakan tenaga surya. ©Navia/Bal
Salah satu tantangan terberat dalam hal biaya adalah baterai untuk menyimpan energi yang diubah dari matahari. Harganya mencapai jutaan. Awab dan warga lainnya kesulitan mendapatkan barang dengan nominal yang demikian melambung pada masa itu. Tak hanya itu, komponen lainnya ikut mencekik keuangan warga yang ingin menggunakan energi mandiri. “Sebenarnya mereka [warga Desa Piyaman-red] tuh kepengen, tapi terkendala biaya pemasangan,” jelas Ronal.
Awab menyadari tantangan finansial warga ini. Ia melakukan inovasi dalam sistem pengelolaan energi ramah lingkungannya. Awab mencoba mencari pengganti baterai dengan menggunakan aki bekas. Awab kemudian kembali mencari jalan yang dapat ditempuh tanpa mengeluarkan biaya berlebih agar pembiasaan penggunaan energi mandiri tetap dapat diwujudkan. Alih-alih fokus pada komponen, edukasi mengenai pengetahuan energi menjadi solusi dan prioritas Awab. “Modal yang pertama adalah pengetahuan, bukan uang,” ujar Awab.
Keyakinan tersebut mendorong Awab fokus untuk membimbing para warga meskipun itu bukanlah hal yang mudah. Awab mengajarkan mereka dari nol, membangun pemahaman tentang listrik, instalasi, dan penggunaan energi. Setelah paham, barulah warga mencari cara untuk mendapatkan alat dengan biaya yang lebih terjangkau. Daripada membeli baterai litium baru yang harganya jutaan, mereka memanfaatkan aki bekas seharga 200–500 ribu rupiah yang masih bisa digunakan.
Tak jarang, warga mengaku paham, tetapi bingung mempraktikkan yang diajarkan Awab. Selangkah demi selangkah Awab tempuh hingga warga mulai dapat memahami, bahkan sebagian telah menjadi amat piawai. Tidak hanya belajar, para warga yang sudah paham bahkan juga mengajarkan ilmu yang didapat itu kepada warga lainnya. “Mereka mempelajari, mereka bisa, mereka bercerita kembali, menularkan ilmunya seperti yang saya ajarkan,” ungkap Awab.
Salah seorang warga yang telah Awab ajari, Bagiyo, awalnya kesulitan dalam merancang panel surya. Namun, kini, ia piawai mengedukasi para pengunjung Kampung Wisata Edukasi Eco-Energy. Dalam transisinya dari energi konvensional ke swadaya energi, ia mengaku tidak kesulitan untuk beradaptasi sebab pengetahuan untuk pemanfaatan swadaya energi telah ia peroleh. “Sudah diberi tahu Pak Awab, jam sekian nyala, jam sekian mati jadi tidak kaget,” tutur Bagiyo dengan nada yang lembut.

Awab dan Bagiyo menjelaskan proses penggunaan tenaga surya. ©Navia/Bal
Pada tahun 2015, setelah sekian banyak panel surya terpampang di atap warga, Awab dan para warga kompak mencanangkan Kampung Wisata Edukasi Eco-Energy. Meski kampung tersebut menggunakan istilah “eco-energy”, Awab menekankan bahwa hal yang terpenting bukan sekadar ramah lingkungan, melainkan kemandirian tanpa bergantung kepada listrik pemerintah. Ia berharap semua warga dapat benar-benar memahami swadaya energi sehingga istilah Kampung Edukasi tak lagi diperlukan. “Harapan saya kedepannya, istilah Kampung Edukasi sudah tidak ada lagi karena semua sudah teredukasi,” papar Awab.
Seiring berjalannya waktu, Kampung Wisata Edukasi Eco-Energy semakin ramai dikunjungi wisatawan. Pengunjung tak hanya datang dari sekitar Jogja, tetapi juga dari luar daerah hingga mancanegara. Adanya kesempatan ini membuat warga Desa Piyaman membagikan pengalaman sekaligus pengetahuannya kepada pengunjung dalam pengelolaan swadaya energi. “Banyak [pengunjung-red] datang ke sini dari Bandung, Solo, Semarang, banyak,” ungkap Bagiyo.
Awab mengaku bahwa hingga kini, ia masih terus berproses untuk menggarap teknologi ramah lingkungan yang lebih efisien. Ia senantiasa bertekad agar pemanfaatan swadaya energi ini terus berkembang menjadi lebih maju dan mapan. “Tahap satu, hanya sebagai pengguna, untuk penerangan,” Awab menjelaskan beberapa tahap yang harus dijejaki demi mencapai kemandirian energi. Berbekal edukasi pengelolaan energi yang telah terpatri dalam benak warga, Awab mengajak mereka menjejaki tahapan berikutnya.
“Saya mencoba untuk mengajak warga lebih kreatif, biar bisa meningkatkan taraf perekonomian masyarakat,” Awab menjelaskan tahap yang kedua. Dengan mendorong kreativitas warga dan memanfaatkan sumber daya yang telah ada, kegiatan ini nantinya bisa meningkatkan taraf perekonomian masyarakat. Dalam prosesnya, lahirlah UMKM dengan basis swadaya energi warga.
Dalam eksplorasi yang tidak sebentar itu, Awab juga terus menggagas langkah selanjutnya agar warga dapat terus berkembang dengan basis energi ramah lingkungan yang telah mereka miliki. Gagasannya lahir akibat keprihatinannya melihat sektor pertanian di Dusun Ngemplak yang sifatnya sangat musiman. Ia menyatakan keprihatinannya melihat warga dan lahan yang sama-sama menganggur ketika kemarau datang. “Untuk tahap tiga, pertanian, kita masih merangkak ke sana,” jelas Awab.
Upaya Awab dan warga sekitar mulai merambah ke luar Desa Piyaman. Tiga tahun lalu, Awab berhasil mengembangkan swadaya energi untuk penerangan kapal-kapal nelayan di Pantai Sadeng. Terbaru, Awab juga tengah melakukan kerja sama pengadaan panel surya dengan beberapa desa baik di dalam maupun luar Daerah Istimewa Yogyakarta. “Di Manisrenggo ada penerangan jalan umum 10 titik, di Klaten, daerah Cawas untuk Kampung Tani,” saksi Ronal.
Awab kompak bersama warga melalui segala upaya untuk mewujudkan kemandirian energi yang berkelanjutan. Mereka berjalan dalam keterbatasan tanpa uluran tangan pihak manapun. Sementara itu, pemerintah yang seharusnya menjadi pilar pendukung malah seakan bersikap dingin. “Sampai saat ini, saya sudah angkat Gunungkidul, tapi pemerintah tetap masa bodoh,” ungkap Awab kecewa.
Penulis: Lidwina Laras dan Reza Faza (Magang)
Editor: Leoni Nevia
Fotografer: Navia Shofinaim (Magang)