
©Kalangwan/Bal
Pusat Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum (Pandekha FH) UGM bersama Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Serikat Pekerja Kampus (SPK) mengadakan diskusi pada Jum’at (14-03). Diskusi yang bertajuk “Tagar Indonesia Gelap: Nasib Pendidikan dan Dunia Akademisi” ini menjadi wadah pemikiran terhadap kondisi kebebasan akademik kampus di Indonesia saat ini. Diskusi ini menghadirkan tiga pembicara, yakni I Gusti Agung Made Wardana selaku dosen FH UGM, Dhia Al Uyun selaku Ketua Serikat Pekerja Kampus (SPK), serta Herlambang Wiratraman selaku dosen FH UGM dan Ketua KIKA.Â
I Gusti Agung Made Wardana atau yang akrab disapa Igam, membuka diskusi dengan menjelaskan arti kampus sebagai institusi menjadi produk pertarungan dari aktor sosial dengan berbagai kepentingan. Pertarungan ini muncul akibat keadaan kampus yang digunakan untuk menyebarkan praktik ideologi dari negara sebagai bagian dari sistem kapitalisme. “Kampus menjadi rebutan karena aktor-aktor yang terlibat ini memperebutkan kampus untuk membentuk hegemoninya masing-masing dan bahkan melakukan counter hegemoni terhadap hegemoni yang dominan,” ujar Igam.
Igam menjelaskan bahwa hari ini setidaknya ada tiga kekuatan yang memperebutkan kampus. Pertama, kekuatan pasar dengan agenda liberalismenya yang mendorong neoliberalitas kampus. Kedua, kekuatan negara yang sudah dibentuk dengan logika kontrol dan eksploitasi ekstraktif. Ketiga, masyarakat atau societal forces yang diimingi dengan agenda idealistik, beranggapan kampus adalah wadah untuk mengimajinasikan masyarakat yang baik.
Dhia juga memperjelas upaya penundukan kampus oleh kuasa kapital melalui kesejahteraan akademisi kampus. Ia memaparkan hasil penelitian yang dipublikasi oleh SPK terhadap 1200 dosen di Indonesia. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan mayoritas dosen di Indonesia mendapatkan gaji bersih di bawah Rp 3 juta sehingga 76% diantaranya harus mengambil pekerjaan sampingan, terlebih lagi saat upahnya tidak mencapai Upah Minimum Provinsi. Sementara itu, dosen tetap disuguhkan dengan beban kerja yang berat dan tuntutan kerja optimal, tetapi tidak mendapat upah yang setimpal. “Liberalisme tidak melihat dosen sebagai manusia, tetapi justru melihat dosen ini sebagai aset,” ujar Dhia.
Dhia kemudian mengangkat permasalahan dalam nilai-nilai loyalitas pekerja kampus terhadap sistem kepegawaian. Pertama, kesetiaan pekerja terhadap negara yang seringkali ditafsirkan untuk memenuhi kepentingan penguasa. Kedua, kesetiaan terhadap institusi, dosen diikat oleh standar etik dan peraturan internal dengan penafsiran yang bias. Ketiga, kesetiaan terhadap pimpinan, membuat dosen tidak merasa aman ketika ingin melakukan riset akademik. “Sangat jauh dari kebebasan akademik yang seharusnya diutamakan,” tutur Dhia.
Lebih lanjut, Herlambang turut menyoroti tiga bentuk upaya represi kebebasan akademik yang dilakukan pemerintah. Pertama, upaya represi melalui kebijakan hukuman pidana yang menghantui akademisi untuk mengkritik institusi. Kedua, represi kebebasan akademik dalam bentuk kooptasi, dapat terlihat dari upaya pemerintah menggunakan mahasiswa dalam kegiatan sosial. Menurut Herlambang, upaya ini dilakukan pemerintah untuk memanfaatkan dunia akademik dan para akademisi sebagai media pencitraan publik. Ketiga, represi melalui kriminalisasi dan kekerasan digital terhadap akademisi.Â
Herlambang kemudian menekankan bahwa kebebasan akademik bukan hanya sebatas milik dosen dan mereka yang memegang mimbar akademik, para profesor ataupun doktor semata. Ia mengatakan ini dengan mengutip paragraf 38-39 dalam “Komentar Umum Nomor 13 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya” yang menyebutkan bahwa kebebasan akademik adalah milik dosen dan mahasiswa. “Ketika mereka [dosen dan mahasiswa-red] mengkritisi adanya praktik culas [di kampus-red], itu adalah bagian dari kebebasan akademik,” tegas Herlambang.
Ajakan untuk mengkritisi kampus dan praktik culas di dalamnya juga disuarakan oleh Dhia. Ia mengajak mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan untuk bersolidaritas meski menuai represi dari kampus. Dhia melihat kampus mulai memperhitungkan narasi kritis mahasiswa dan dosen yang semakin masif, akhirnya kampus mulai memberikan tekanan. “Saya pikir selalu ada cara untuk menghentikan itu [praktik culas-red] dan kita harus saling mengawasi supaya hal-hal yang buruk dalam lingkungan kampus ini bisa tercegah,” harapnya.
Penulis: Nayla Thalita dan Sulthan Zidan
Penyunting: Nasywa Asyraj
Ilustrator: Kalangwan Inggil Jati