Peristiwa itu terjadi sekitar delapan bulan yang lalu. Persisnya saat Leman baru diangkat sebagai Kaur Perencanaan Desa oleh Keuchik Hasan. Pada suatu malam, Yasir, seorang buruh bangunan di kampung itu mengaku pada Leman bahwa ia mendengar jeritan orang-orang yang sedang sekarat dan minta tolong. Suara-suara itu berasal dari tanah kosong yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai rumah api. Yasir meminta kejadian itu dilaporkan ke keuchik.
Leman hanya mengangguk. Ia tak percaya ihwal takhayul seperti itu. Selain itu, Leman juga tengah disibukkan dengan kondisi istrinya, Ruhama yang sedang mengandung anak pertama mereka. Karena itu, ia malas direpotkan dengan urusan kantor seperti menindaklanjuti laporan Yasir tersebut.
Pada mulanya, rumah api adalah sebuah rumah papan beratap rumbia seluas lima kali tujuh meter yang dihuni satu keluarga. Namun, sejak tentara menyiksa dan membakar hidup-hidup belasan orang di dalam rumah itu bertahun-tahun lalu, bangunannya pun hangus terbakar. Rata dengan tanah. Sebab itulah, tanah bekas rumah itu berdiri kemudian dijuluki sebagai ‘rumah api.’
Ia berada sekitar tujuh puluh meter dari Masjid Nurul Iman. Persis di samping jalan kampung yang belum beraspal. Jalan yang dulunya diterobos tiga unit truk REO tentara, datang dari arah Tapaktuan. Di sebelah kirinya, kebun sawit tumbuh subur. Semilir angin Samudera Hindia berhembus dari depan. Di belakangnya berdiri sebuah pondok satu kali dua meter beratap rumbia yang sudah reyot. Pondok ini berada di antara deretan pohon pinang, kelapa, sirsak, pala, belimbing wuluh, pakis liar, talas, dan semak belukar. Hamparan sawah terbentang di belakang deretan pepohonan tersebut. Nyanyian tonggeret terdengar saling bersahutan di siang hari.
Entah bagaimana awalnya, hal-hal galib mulai terjadi di sana. Tepatnya sejak kepulangan orang-orang Komisi HAM dari kampung itu belasan tahun yang lalu. Beberapa bulan semenjak mereka balik ke Jakarta, rumah api mulai menyemburkan hawa panas yang tak biasa. Tgk Mukhtar, guru ngaji kampung setempat pada suatu kali pernah mencoba menyiram tanahnya dengan segayung air yang diciduk dari kulah wudu masjid. Namun seketika langsung mengering seperti siraman air di atas lahan gambut terbakar. Bau sangit menguar. Tanahnya serupa bahang arang sekam hasil penggilingan di kilang padi: membara dari dalam.
Malam harinya, ia mendengar jeritan dan lolongan pilu belasan orang yang minta tolong dari sana. Awalnya, suara itu terdengar seperti memelas minta tolong. Namun, lama-kelamaan berubah jadi pekikan orang yang sedang meregang nyawa terbakar api.
Suara-suara itu muncul nyaris setiap setahun sekali. Kira-kira tiga tahun kemudian, jeritan orang-orang sekarat terdengar lagi. Kali ini didengar Razali, seorang petani sawit yang waktu itu baru pulang dari buang air besar di parit kecil di belakang dayah masjid.
Beberapa tahun kemudian, tak lama setelah banjir besar merendam pusat kecamatan yang bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, lolongan pilu itu meneror kembali. Poya Seuman hampir saja terjungkal dari sepeda ontelnya ketika mendengar suara itu. Kejadiannya jelang tengah malam usai dirinya pulang dari kenduri orang meninggal di kampung sebelah.
Berganti tahun, peristiwa serupa kian sering terjadi. Dari setahun sekali jadi setahun dua kali, setahun empat kali, setahun delapan kali, hingga menjadi sebulan sekali.
Leman akhirnya berubah pikiran selang delapan bulan setelah dilaporkan Yasir. Musababnya karena pada suatu malam Leman mendengar sendiri jeritan-jeritan itu. Bayi perempuannya, Safira tersentak dari tidur dan menangis kencang karena terkejut. Istrinya mencoba menenangkan Safira di pangkuannya. Dalam kegelapan malam, Leman mengintip dari balik tirai jendela kamarnya. Jarak rumahnya dengan rumah api sekira lima puluh meter.
Keesokan paginya, Leman sedang berkemas hendak berangkat ke kantor ketika ia mendengar dua orang perempuan tengah bertengkar sengit di dapur. Ruhama beradu mulut dengan ibunya, Siti Ramlah.
“Kalau tak becus jaga anak ngaku saja. Tak usah buat alasan macam-macam!” hardik Siti Ramlah dengan ketus.
“Mamak belum pikun, kok sudah tuli duluan? Masak nggak bisa mendengar jeritan-jeritan itu?”
“Jaga mulutmu! Jangan mengada-ada. Kau cuma pendatang di kampung ini.”
“Aku memang cuma pendatang di sini, tapi anakku lahir di rumah ini. Dia berhak hidup tanpa diganggu suara-suara itu.”
“Suara apa? Nggak ada suara apa-apa.”
“Telingaku masih jelas mendengar, Mamak saja yang pura-pura tuli.”
“Dasar menantu kurang ajar!”
Ruhama yang biasanya lembut dan penurut sama suami dan mertuanya, tiba-tiba meninggi nada suaranya. Ia berubah jadi garang bagaikan induk ayam yang anaknya diculik bocah. Leman buru-buru keluar dari kamarnya. Ia lantas merangkul pundak kanan istrinya tanpa berkata apa-apa. Dituntunnya Ruhama menuju ke kamar, menjauh dari ibunya.
“Kaubilang sama istrimu. Kalau sudah tak senang tinggal di sini, pintunya ada di depan!” Siti Ramlah masih belum puas meluapkan amarahnya.
“Mak, sudah. Malu didengar tetangga,” Leman coba menenangkan ibunya. Siti Ramlah menyampirkan selendang biru ke bahu kirinya dengan kasar. Menutupi kepalanya yang kini sudah dipenuhi uban. Leman mengalah dengan mengamankan istrinya. Ia tak mau pertengkaran menantu dan mertua itu berlanjut. Ruhama masih mencak-mencak. Leman merangkul pundak istrinya lebih erat.
Sebagai anak tunggal yang kini sudah berusia dua puluh tujuh tahun, tak pernah sekali pun Leman melawan ibunya. Begitu pula dengan Siti Ramlah. Satu-satunya orang yang masih didengar omongannya di rumah itu hanyalah anaknya, Leman. Namun, sejak mencuatnya berbagai peristiwa aneh di rumah api, sikap Siti Ramlah cenderung berubah. Ia jadi mudah tersinggung dan temperamen. Terutama jika ada yang mengungkit hal-hal terkait rumah tersebut.
Batin Siti Ramlah menjerit. Pikirannya membuncah. Ia memendam lara. Perasaan yang tak akan pernah bisa dipahami oleh Leman dan Ruhama.
***
Leman masih berumur sepuluh tahun ketika tujuh orang Komisi HAM dari Jakarta bertandang ke kampungnya. Mereka tiba mengendarai satu unit Toyota Kijang hijau tua. Kepada warga, mereka menjelaskan tujuannya untuk menyelidiki peristiwa pelanggaran HAM belasan orang yang dibakar hidup-hidup di rumah api empat tahun sebelumnya.
“Bisa diceritakan bagaimana awalnya peristiwa itu terjadi?” tanya Budiman, salah seorang anggota Komisi HAM kepada ibu Leman, Siti Ramlah di balai desa. Orang yang ditanya bungkam. Mulutnya mengatup rapat. Bulir-bulir bening mulai menetes dari kedua matanya. Tiba-tiba ia menunduk dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, sesenggukan. Tangisnya seketika pecah.
Perempuan lain yang ditanya juga tak mau menjawab. Nyak Farida, tetangga Siti Ramlah tak bersedia memberikan pernyataan. Rasa takut dan dihantui peristiwa masa lalu menyatu. Suasana di balai desa berubah menjadi gaduh. Pekik tangis histeris perempuan terdengar saling bersahutan. Wa Aton terjerembab pingsan. Anggota Komisi HAM kalang-kabut. Mereka pulang tanpa mendapatkan keterangan apa-apa.
Belakangan, Siti Ramlah jadi sering termenung. Hatinya berkecamuk. Ia merasa bersalah karena tak menyampaikan pengakuannya terkait tragedi rumah api. Menurutnya, peristiwa pelanggaran HAM itu tak berhasil diusut tuntas karena dirinya enggan menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada anggota Komisi HAM.
Siti Ramlah mendekati Leman usai makan pada suatu malam. Ia mengelus rambut anaknya dengan lembut dan menatap Leman lekat-lekat. Tanpa disadari matanya mulai berkaca-kaca. “Maafkan Mamak ya, Nak.” Suara Siti Ramlah terdengar parau.
“Kenapa, Mak?”
“Ah, tidak apa-apa, kok.” Siti Ramlah berusaha tampak tegar dan tersenyum. Tapi ia telah kehilangan kata-kata. Lidahnya tiba-tiba kelu. Ia memalingkan muka dari Leman. Diambilnya dua piring kotor dan mangkuk gulai ikan lemuru sisa semalam yang tinggal sedikit kuahnya di atas meja, lalu dibawa ke sumur.
Leman terbengong-bengong dengan sikap aneh ibunya. Di sumur, Siti Ramlah membasuh wajahnya dengan setimba air menggunakan kedua tangannya. Menghapus air matanya sendiri agar tak ketahuan Leman. Air mata yang bertahun-tahun kemudian masih kerap menetes pada momen-momen tertentu.
***
Leman akhirnya membulatkan tekad untuk membicarakan perkara rumah api ke Keuchik Hasan. Jika dulu ia mengabaikan laporan Yasir, kini Leman justru menanggapinya dengan serius. Keuchik Hasan lantas menyarankan Leman meminta pendapat Tgk Zainun terkait masalah itu. Tgk Zainun adalah teungku imum di kampung tersebut. Keuchik Hasan bukannya tak mau mengurus hal-hal seperti itu. Tapi ia beralasan masih banyak persoalan desa lainnya yang harus ditangani.
“Seperti yang kubilang tempo hari,” sahut Tgk Zainun singkat ketika ditanya Leman usai salat magrib keesokan malamnya. Beberapa hari sebelumya, Leman memang sudah menanyakan sekilas tentang hal itu.
Tgk Zainun terkenal sebagai sosok yang irit bicara. Terhadap pertanyaan Leman itu, ia hanya menyampaikan dua hal: mereka keluarga kita dan doakan mereka. Untuk mewujudkan kedua hal tersebut, Tgk Zainun mengusulkan agar dalam minggu itu dilaksanakan samadiah. Ia meminta Leman mengumumkan hal itu kepada warga. Leman mengangguk takzim.
Pada Sabtu pagi yang berawan, samadiah dan pembacaan Surat Yasin dilaksanakan. Ritual itu digelar di depan lokasi rumah api. Tiga lembar tikar pandan ukuran tiga kali empat meter dibentangkan untuk jemaah. Aroma kemenyan dibakar menyengat. Menyebarkan raksi kepiluan masa lalu yang tak dipahami oleh sebagian jemaah yang masih muda. Dipimpin Tgk Zainun, jemaah yang hadir khusyuk dalam lantunan zikir. Kepala mereka menoleh ke kanan dan kiri sembari menunduk. Sebagian lainnya memejamkan mata. Suara bersahut-sahutan memuji kebesaran-Nya.
Ketika sampai di ayat 12 Surat Yasin tentang firman Allah yang mencatat kebaikan dan keburukan manusia semasa hidup di dunia dalam Kitab Lauhul Mahfudz, tangan Siti Ramlah bergetar hebat. Tangisnya pun pecah. Tangis yang sama seperti saat dirinya ditanyai anggota Komisi HAM tujuh belas tahun silam.
***
Sejak samadiah dan pembacaan Surat Yasin itu, anehnya jeritan pilu orang-orang yang minta tolong tak pernah terdengar lagi. Namun, bahang laksana tanah gambut terbakar masih menyeruak dari dalam rumah api. Seekor tikus tanah telungkup mati terpanggang di dalamnya.
Walaupun masih menyemburkan hawa panas, tapi setidaknya warga tak lagi mendengar jeritan orang-orang sekarat dari sana. Jeritan-jeritan yang bertahun-tahun lalu membuat Tgk Mukhtar terpaksa merapalkan Ayat Kursi, Razali tunggang-langgang, dan Poya Seuman nyaris terjungkal dari sepeda ontelnya.
Leman juga sudah tak ambil pusing. Bagi Leman, yang penting bayi perempuannya tak lagi terbangun dan menangis tengah malam gara-gara suara itu. Rumah api tak ubahnya waham pada pengidap skizofrenia yang telah celik dengan gejalanya. Orang-orang di kampung itu hidup berdampingan dengan rumah tersebut, namun memilih tak menghiraukan lagi keberadaannya.
Samadiah dan pembacaan Surat Yasin, atas usulan Tgk Zainun tetap diadakan setahun sekali. Tepatnya pada minggu ketiga bulan Mei setiap tahunnya. Hal itu dilakukan untuk meminta keberkatan dan keselamatan bagi yang masih hidup. Namun utamanya adalah untuk mendoakan dan mengenang mereka yang telah lebih dahulu berpulang.
Atau lebih tepatnya untuk mengenang rumah api dan segenap misteri yang mengelumuninya: sebagai saksi mati tragedi di Desa Jambo Keupok. Ayah Leman yang juga suami Siti Ramlah, Tgk Basyah adalah salah seorang korbannya.
Banda Aceh, Mei–Juni 2024
Catatan:
Keuchik: Kepala desa
Samadiah: Prosesi mendoakan almarhum atau almarhumah yang telah meninggal dunia
Teungku imum: Imam masjid
Tragedi Jambo Keupok: Peristiwa pembunuhan 16 orang warga sipil yang disiksa, ditembak, dan dibakar hidup-hidup dalam sebuah rumah oleh anggota TNI, Para Komando (Parako), dan Satuan Gabungan Intelijen (SGI) di Desa Jambo Keupok, Kecamatan Bakongan (kini Kota Bahagia), Aceh Selatan pada Sabtu pagi, 17 Mei 2003. Negara mengakui tragedi Jambo Keupok sebagai salah satu kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dari 11 kasus lainnya di Indonesia
Sammy Khalifa
Lahir di Kota Fajar, Aceh. Saat ini tinggal di Banda Aceh. Bekerja sebagai jurnalis lepas yang menulis tentang budaya dan kesenian.
Ilustrator: Kanza Anieq