
©Aiken/Bal
Jika kau dengar dosen-dosenmu
lantang berteriak tukin-tukin-tukin
itu bukan karena tak betah miskin.
Ada hak dan harkat dalam tunjangan kinerja
ada integritas dan janji yang melampaui
rasa kenyang keluarga sendiri.
Sorak-sorai massa menderu di pelataran Balairung UGM, kala salah satu dosen, Okky Madasari melantunkan sajaknya dalam balutan ironisme. Hembusan angin panas yang menyelinap barisan massa, menyulut semangat aksi penuntutan pencairan Tunjangan Kinerja (Tukin) dosen ASN. Puluhan civitas akademika dari Serikat Pekerja Fisipol (SPF), perwakilan Aliansi Dosen ASN Kemendikti Saintek seluruh Indonesia (ADAKSI), dan mahasiswa tampak membentangkan spanduk dan poster sembari menyuarakan desakan pembayaran Tukin dari pemerintah. Pasalnya, pemerintah telah menjanjikan pembayaran Tukin bagi seluruh ASN dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) Nomor 5 Tahun 2014 dalam Pasal 79 dan 80, tak terkecuali golongan dosen.Â
Hingga aksi dilangsungkan, pemerintah masih menunggak pembayaran Tukin dosen ASN yang semestinya dibayarkan sejak tahun 2020. Menurut Muchtar Habibi, dosen FISIPOL yang tergabung dalam aksi SPF, respons pemerintah saat ditagih atas pemenuhan pembayaran Tukin, cenderung diskriminatif kepada dosen di bawah naungan Kemendikti Saintek. “Tukin itu dibayarkan untuk seluruh dosen, tidak peduli status dia di kampus mana,” ucap Muchtar.Â
Dalih pemerintah juga disampaikan oleh Koordinator SPF, Amalinda Savirani, penunggakan Tukin karena pergantian nomenklatur sebenarnya merupakan bentuk kelalaian administratif. Pembayaran piutang Tukin seharusnya masih dapat diperjuangkan jika pemerintah memiliki komitmen. “Jadi, kita akan terus menggulirkan ini karena ini isu yang penting,” ungkap Amalinda.
Ketiadaan komitmen pemerintah diungkapkan Okky pula tuturkan. Ia merasa bahwa tunggakan Tukin adalah hasil dari buruknya tata kelola pemerintah. “Tukin yang tidak dibayar ini sebenarnya menunjukan betapa banyaknya hak- hak rakyat yang tidak bisa terpenuhi karena kesalahan pengambilan kebijakan,” ujar Okky
Keluhan terkait buruknya peran pemerintah juga turut disampaikan oleh salah satu dosen yang tergabung dalam aksi SPF, Pipit. Ia menyatakan bahwa permasalahan Tukin adalah salah satu bagian dari bobroknya sistem pendidikan di Indonesia. Ia mengkritisi kebijakan pemerintah terkait pendidikan yang semakin tidak jelas arahnya. “Pemerintah juga aneh, kepalanya dilepas, tapi ekornya dipegang. Urusan kebebasan akademik dipegang ekornya, giliran pendanaan suruh cari sendiri,” keluh Pipit.
Di lain sisi, salah satu dampak dari penunggakan Tukin adalah kekhawatiran akan kenaikan biaya kuliah. Kekhawatiran ini dijelaskan lebih lanjut oleh Suci Lestari dari SPF UGM. Ia mengungkapkan, meskipun dosen Perguruan Tinggi Berbasis Hukum (PTN-BH) menerima Insentif Berbasis Kinerja (IBK), tetapi tiap PTN-BH memiliki kemampuan finansial berbeda-beda. Misalnya, perbedaan kemampuan finansial untuk membayar imbalan kontribusi kinerja atau remunerasi dosennya. Hal inilah yang menghasilkan ketimpangan kesejahteraan antar kampus. “Akibatnya kampus harus mencari cara untuk menutupi kebutuhannya dan menghasilkan tingginya biaya kuliah di PTN,” tutur Suci.Â
Menanggapi kemungkinan tersebut, Muchtar Habibi juga menambahkan bahwa permasalahan Tukin adalah bukti bahwa negara lari dari tanggung jawabnya serta ikut berkontribusi dalam melanggengkan komersialisasi pendidikan tinggi. “Komersialisasinya harus dihentikan, negara harus mengambil perannya kembali. Anggaran untuk pertahanan saja banyak, anggaran untuk pendidikan nggak ada. Itu bukan soal duitnya, tapi soal prioritas negara ini mau kemana,” tegas Muchtar.Â
Setelah aksi berakhir, Suci Lestari juga menyampaikan proyeksinya terkait kelanjutan tuntutan Tukin. “Kalau memang betul-betul tidak direspons, teman-teman dosen ASN sudah mempersiapkan aksi yang lebih solid lagi, salah satunya adalah mogok kerja nasional,” ujar Suci. Ia juga turut menghimbau seluruh civitas akademika agar dapat bersatu lebih erat memperjuangkan kebijakan yang lebih adil bagi pendidikan tinggi Indonesia.
Penulis: Anggita Septiana dan  Nasywa Aulia Syah Raudhatul Jannah
Penyunting: Tafrihatu Zaidan Al Akhbari
Fotografer: Aiken Gimnastiar