Dunia patriarki menuntut laki-laki untuk menunjukkan kejantanannya. Begitu pula polisi yang dibentuk berdasarkan dunia seperti itu. Akibatnya, kekerasan menjadi tak terbendung dari tangannya.
“Melindungi, Mengayomi, dan Melayani Masyarakat” begitulah penggalan misi mulia Polisi Republik Indonesia (Polri). Namun, misi mulia itu hanyalah bualan belaka. Tulisan Robinson (2023) di majalah Current Affair yang berjudul “The Police Are The Problem” dibuka dengan narasi, demikianlah inti permasalahan polisi, kekerasan ataupun ancaman kekerasan sebagai alat utama mengatasi suatu masalah. Mereka dapat memukulmu dengan sebatang tongkat, mengaliri listrik ke tubuhmu, atau menembak dan mencekik, bahkan tak sungkan-sungkan merenggut nyawamu. Polisi Indonesia tak jauh berbeda, terkenal dengan kebrutalan, kekerasan dan arogansinya pada masyarakat sipil (Galuh 2022). Mari sejenak memutar kaleidoskop kekerasan polisi yang begitu kronis.
Masih hangat dalam berita, seorang polisi menembak siswa SMK sampai meregang nyawa. Polisi dengan tega mengarahkan pistolnya pada seorang siswa yang bertangan kosong. Dalih yang diutarakan adalah untuk melerai tragedi tawuran, dan siswa tersebut melawan dengan senjata tajam. Padahal, sekolah mengeklaim bahwa siswa yang ditembak adalah anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka dan tidak ada riwayat tawuran semasa sekolah.
Tak hanya itu, beberapa bulan yang lalu, polisi melakukan kekerasan pada massa aksi #PeringatanDarurat di beberapa wilayah Indonesia. Jakarta, Semarang, dan Bandung menjadi saksi pembubaran massa aksi dengan gas air mata, meriam air, dan pentungan. Bahkan, sejumlah serdadu polisi terekam memukuli dan menendang massa aksi. Jurnalis pun tak luput dari sasaran kekerasan polisi. Sebelas jurnalis mengalami kekerasan fisik, ancaman pembunuhan, serta serangan gas air mata.
Cerita di atas hanyalah printilan kecil dari berbagai kasus kekerasan yang dilakukan polisi. Begitu banyak kasus kekerasan yang dilakukan polisi sepanjang waktu. Dalam tulisan Mulyartono (2022), Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan mencatat 11.431 kasus kekerasan polisi yang menyebabkan 1.358 kematian dan 13.265 luka-luka sejak tahun 2005–2015. Data KontraS menunjukkan Juli 2023–Juni 2024, polisi terlibat dalam 645 kasus kekerasan yang menimbulkan 759 korban luka hingga 38 korban jiwa. Angka-angka kekerasan ini akan berpotensi terus meningkat jikalau akar musababnya tidak dicari lalu diselesaikan.
Patriarki, Kekerasan, dan Polisi
“[Menjadi laki-laki berarti] tidak pernah menangis. Tidak pernah menunjukkan emosi. Membuat kekerasan fisik kepada yang mengganggu Anda,” ujar seseorang peserta dalam penelitian Adam Stanaland yang dimuat oleh Kompas. Penelitian ini menunjukkan bahwa tekanan laki-laki untuk membuktikan kejantanannya memengaruhi kecenderungan berperilaku agresif. Laki-laki tak segan meninju kerasnya tembok atau begitu mudah merendahkan kelompok minoritas hanya untuk terlihat maskulin (Nastitie 2023).
Persoalan di atas berakar dari konstruksi gender yang sudah lama dibahas oleh Simone de Beauvoir. Ia menjelaskan seksualitas sebagai karakter biologis yang melekat pada manusia, sementara ihwal laki-laki yang dilekatkan dengan maskulinitas dan perempuan dilekatkan dengan feminitas adalah konstruksi gender (Nastitie 2023). Sejauh mana laki-laki setuju dan mengakui ekspektasi sosial dan budaya tentang kepantasan dalam perilaku, tata krama, gerak tubuh, serta sikap disebut maskulinitas; berlaku pula pada perempuan yang disebut feminitas (Buchbinder 2013).
Konstruksi tersebut menyebabkan relasi yang begitu timpang. Beauvoir menyadari dunia sekitarnya amat maskulin, di dalamnya hanya ada laki-laki sebagai makhluk esensial, sementara perempuan adalah yang liyan. Tatkala maskulinitas menjadi ideologi bernama patriarki, ia mengeksploitasi perbedaan seksual untuk menciptakan sistem penindasan yang memosisikan dan menjebak perempuan dalam peran yang dipinggirkan (Bergoffen 2024). Selain perempuan, gender-gender lain yang tidak memiliki dan menunjukkan karakteristik maskulin tertentu juga berpotensi ikut tertindas, misalnya laki-laki yang cenderung feminin (Buchbinder 2013; Connell 1995).
Mengutip Connell (1995), sistem penindasan ini dilanggengkan oleh kelompok yang disebut maskulinitas hegemonik. Maskulinitas hegemonik didefinisikan sebagai bentuk-bentuk ideal seorang laki-laki yang dikonstruksi oleh masyarakat untuk mempertahankan legitimasi patriarki. Connel mengambil konsep hegemoni dari Gramsci tentang analisis hubungan kelas dalam dinamika budaya untuk memandang kelompok yang mengeklaim dan mempertahankan kekuasaan di kehidupan sosial. Dalam konteks ini, kelompok maskulinitas yang selalu mencoba mempertahankan kekuasaan. Namun dalam lakunya, posisi dominasi bentuk maskulinitas dapat mengalami perubahan tergantung dinamika budaya masyarakat tertentu.
Adanya maskulinitas hegemonik membuat laki-laki cenderung melakukan kekerasan. Ketidakstabilan identitas maskulin dalam menghadapi tekanan budaya patriarki membuat laki-laki membela identitas dirinya dengan cara-cara kekerasan. Dalam konteks struktur budaya maskulinitas Anglo-Amerika, laki-laki dibagi berdasarkan ras dan kelas. Misal, laki-laki kulit putih menempati struktur paling atas daripada laki-laki kulit hitam, sementara laki-laki pemilik modal menempati struktur paling atas daripada laki-laki kelas buruh. Laki-laki yang tidak berdaya karena status ras dan kelas akan berupaya mengembangkan cara alternatif memberontak untuk membuktikan kemaskulinan mereka. Sementara, pada saat yang sama, laki-laki yang dominan mungkin iri terhadap laki-laki subordinasi, dan laki-laki yang memberontak ingin sekali diterima dalam kelompok utama. Selain hubungan yang kompleks, semua laki-laki tertekan untuk tidak menjadi perempuan dan homo (Harris 2000).
Salah satu kelompok maskulinitas hegemonik adalah polisi. Berdasarkan penelitian pada polisi Britania Raya, stereotip nilai subkultur polisi termasuk bentuk maskulinitas hegemonik (Fielding 1994; Woods 2022). Stereotip nilai-nilai dalam kepolisian menekankan pada: (1) tindakan fisik agresif, (2) rasa kompetitif yang tinggi dan terlena dengan citra konflik, (3) orientasi heteroseksual berlebihan yang diartikulasikan dengan bentuk perilaku misoginis dan patriarki terhadap perempuan, (4) pembedaan internal dan eksternal kelompok yang kaku. Konsekuensinya adalah mereka eksklusif dalam ranah eksternal dan begitu tegas ihwal loyalitas dan afinitas dalam ranah internal (Fielding 1994). James Messerschmidt dalam Harris (2000) menyatakan, pekerjaan polisi secara budaya didefinisikan sebagai aktivitas yang hanya bisa dilakukan oleh laki-laki maskulin. Gambaran budaya polisi adalah jenis laki-laki yang “unik dan langka”: tangguh, keras, heroik, protektif, dan sangat dibutuhkan demi keberlangsungan hidup masyarakat. Polisi diharapkan menjadi cerminan dari paradigma penjahat kejam yang mengancam kehidupan dan keselamatan masyarakat yang tidak bersalah. Penjahat menggunakan kekerasan untuk melayani kejahatan, sementara polisi menggunakan kekerasan untuk mengatasi kejahatan.
Ekspektasi tersebut membuat polisi seringkali melakukan kekerasan, bahkan termasuk kekerasan yang brutal. Kekerasan polisi adalah produk dari pertemuan dua elemen: budaya kehormatan dan hiper-maskulinitas (Woods 2022). Budaya kehormatan dalam polisi berupa kondisi yang mempercayai bahwa penghinaan terhadap laki-laki adalah sebuah ancaman terhadap kedudukan sosial dan melakukan kekerasan dipandang sebagai cara yang tepat untuk mengembalikan kondisi tersebut. Sementara, hiper-maskulinitas adalah identitas maskulin yang menindas feminitas dan homoseksualitas, serta menjunjung tinggi kekuatan fisik dan agresivitas. Hal itu terlihat dalam syarat kualifikasi menjadi polisi yang menekankan pada hiper-maskulinitas, seperti penekanan pada latar belakang militer atau ukuran fisik (Woods 2022).
Tidak hanya itu, dalam artikel Rosa Brook menunjukkan survei terhadap polisi Amerika Serikat pada tahun 2017 menunjukkan sebanyak 11% polisi perempuan menembakkan senjata saat bertugas, sementara laki-laki sebesar 30%. Petugas perempuan juga 27% lebih kecil persentasenya dalam menunjukan perilaku pengendalian yang ekstrim seperti ancaman, pengekangan fisik, penggeledahan, dan penangkapan dalam interaksi mereka dengan masyarakat. Hal itu menunjukkan polisi laki-laki berpeluang lebih besar melakukan kekerasan daripada perempuan.
Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa maskulinitas hegemonik dalam polisi ditekankan melalui pelatihan di akademi. Calon polisi laki-laki maupun perempuan diajarkan bahwa maskulinitas merupakan persyaratan penting dalam pekerjaan. Para calon menerapkan pelajaran tersebut ketika membentuk dan memberlakukan identitas profesional mereka (Woods 2022).
Kondisi serupa juga terjadi di instansi kepolisian di belahan dunia lain. Sebutlah polisi Ghana dan Nigeria, dilatih untuk melepas atribut warga sipil dan menanamkan kualitas maskulin dalam diri rekrutan berupa semangat, ketekunan, kekuatan, disiplin, ketangguhan, keberanian, dan ketegasan (Yalley dan Olutayo 2020). Latihannya berupa parade, binaraga, pelatihan di hutan, dilatih selalu bangun pagi, pelatihan yang amat melelahkan, ceramah, dan penanganan senjata (Yalley dan Olutayo 2020).
Maskulinitas Hegemonik dalam Tubuh Polri
Polri sejak pembentukan sampai sekarang masih dibayang-bayangi oleh warisan kolonial (Bachtiar 1994). Belanda mewariskan struktur hierarki maskulinitas dan feminitas. Internalisasi struktur hierarki merupakan hasil dari dua lapisan kolonial: hubungan kolonial antara laki-laki Eropa dengan perempuan Eropa dan pribumi, serta hubungan kolonial antara perempuan Eropa dengan perempuan pribumi (Prianti 2019). Pemerintah kolonial Belanda menekankan karakter maskulin mereka yang superior. Misalnya, Pemerintah Belanda secara berkala menyebarluaskan foto-foto yang menggambarkan pemimpin pribumi yang berpakaian mencolok dan feminin, dilawankan dengan orang-orang kolonial yang digambarkan memakai seragam berstandar Barat (Prianti 2019).
Warisan tersebut membentuk tatanan masyarakat Indonesia yang hierarkis antara laki-laki dan perempuan. Hal itu terlihat dari kasus kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat. Berdasarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa), pada tahun 2023 tingkat kekerasan mencapai 29.883 kasus dan yang menimpa perempuan sebesar 26.161 kasus. Apabila dihitung mundur, kekerasan pada perempuan di tahun 2023 melesat 53% dari lima tahun terakhir. Tak hanya itu, kolonial mewariskan sikap anti terhadap homoseksualitas. Survei Saiful Mujani Research and Consulting menunjukkan 87,6% masyarakat Indonesia memandang homoseksual atau LGBT sebagai ancaman. Bahkan, 41,1% masyarakat Indonesia menyatakan homoseksual tidak layak diberi hak hidup (Faiz 2018).
Kondisi masyarakat yang demikian mengakibatkan Polri dibentuk menjadi maskulinitas hegemonik. Selaras dengan James Messerschmidt, Harsono (2009) mengatakan hal serupa dalam konteks Polri. Kepolisian adalah suatu pranata yang dibentuk berdasarkan kebudayaan patriarki yang diturunkan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi, dan selalu didefinisikan ulang.
Hal itu terlihat dari sejak pembentukan Polri sampai sekarang, Polri didominasi oleh laki-laki. Awal mula perempuan masuk dalam tubuh Polri pada awal tahun 1948–tiga tahun setelah pembentukan Polri–dengan enam calon anggota. Keterlibatan perempuan tersendat pada tahun 1961 dengan digabungnya Polri dengan TNI menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dampak penggabungan tersebut menyebabkan tidak ada perekrutan perempuan melalui Akademi Angkatan Kepolisian sejak tahun 1965, karena menyesuaikan ABRI yang tidak menerima taruni (Gitiyarko 2022). Pada tahun 2020, jumlah perempuan dalam Polri masih minim dengan 6% dari seluruh keanggotaan polisi (Gitiyarko 2022).
Masyarakat juga memandang polisi sebagai pekerjaan laki-laki yang hanya dikaitkan dalam ranah penegakan hukum. Pekerjaan polisi selalu diidentikkan dengan film-film yang menunjukkan polisi sebagai laki-laki yang berkelahi dan mahir menembakkan pistol kepada para penjahat (Harsono 2009). Selain itu, polisi merupakan pekerjaan yang diagungkan oleh masyarakat. Dalam wawancara yang dilakukan VICE, pengagungan masyarakat terhadap pekerjaan polisi memunculkan sifat kebanggaan berlebihan pada diri personel polisi. Apalagi narasi polisi sebagai menantu idaman selalu muncul dalam masyarakat. Misalnya, ketika mengetikkan “Polisi menantu idaman” di platform tiktok akan muncul video yang mengagung-agungkan pekerjaan polisi. Pengagungan tersebut berkelindan dengan pernyataan Wood (2022) bahwa polisi tak segan melakukan kekerasan ketika kedudukan sosial mereka terancam. Kekerasan polisi dapat dilihat dari pelbagai kasus yang menghiasi laman berita seperti, Polri yang tidak terima diklakson; Polri memukul warga karena tidak terima aksi punglinya direkam; bahkan mengancam pengendara dengan senjata tajam.
Kekerasan yang dilakukan Polri dibentuk sedari awal mereka ditempa dengan menekankan aspek-aspek hiper-maskulinitas di dalamnya. Selama empat setengah bulan dari tujuh bulan masa pelatihan, Polri hanya berkutat pada latihan fisik, alih-alih mengembangkan kecerdasan intelektual dan emosional (Galuh 2022). Buntutnya adalah kekerasan yang terjadi dalam internal Polri. Kondisi kekerasan dalam tubuh internal polisi diperkeruh dengan budaya senioritas di dalamnya. Dalam beberapa kasus, para junior hanya bisa berkata “Siap, Salah”, di samping para senior melampiaskan permasalahan mereka dengan memukul hingga kesakitan bahkan merenggang nyawa.
Selain itu, Polri begitu anti pada homoseksual. Hal ini terbukti pada kasus pemecatan anggota Polri di Jawa Tengah karena ketahuan homoseksual. Dalihnya adalah pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Pasal 11 huruf c Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri. Tidak ada aturan homoseksual dalam pasal tersebut, tetapi Polri menyimpulkan bahwa homoseksual merupakan tindakan yang melanggar norma agama dan kesusilaan; secara tersirat Polri mengatakan homoseksual adalah luka pengkhianatan bagi maskulinitas (Khaerunnisa 2019). Tak sampai di situ saja, Polri juga kerap membubarkan acara yang mengindikasikan homoseksual seperti kontes waria di Makassar dan pentas seni Bissu.
Akhir kalam, polisi adalah simbol laki-laki ideal dalam tatanan masyarakat Indonesia yang patriarkis. Buntutnya timbul budaya kehormatan dan penekanan pada hiper-maskulinitas. Dua elemen itulah yang menyebabkan polisi senang sekali dengan kekerasan. Tidak heran, jikalau polisi tak pernah absen mengisi laman berita kekerasan. Maka dari itu, kekerasan polisi perlu dihentikan dengan menyuarakan kembali pembubaran polisi.
Penulis: Achmad Zainuddin
Penyunting: Ahmad Arinal Haq
Ilustrator: Fanni Calista
Daftar Pustaka
Bachtiar, Harsya W. 1994. Ilmu kepolisian: suatu cabang ilmu pengetahuan yang baru. N.p.: Diterbitkan atas kerja sama Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
BBC NEWS INDONESIA. 2024. “Siswa SMK Ditembak Polisi: Polisi yang Diduga Melakukan Penembakan Ditahan, Apa Benar Kasus Ini Pembunuhan di Luar Proses Hukum? – BBC News Indonesia.” BBC News Indonesia. November 27, 2024. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cx2n8ky1kkzo.amp.
BBC NEWS INDONESIA. 2024. “Demonstrasi: Repetisi ‘Brutalitas Polisi’ dalam Aksi Tolak Revisi UU PIlkada, Mengapa Terus Berulang? – BBC News Indonesia.” BBC News Indonesia. September 8, 2024. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cx2ldpkz9n8o.
Bergoffen, Debra. 2024. “Simone de Beauvoir (Stanford Encyclopedia of Philosophy).” Stanford Encyclopedia of Philosophy. August 17, 2024. https://plato.stanford.edu/entries/beauvoir/.
Brooks, Rosa. 2020. “Perspective | One Reason for Police Violence? Too Many Men with Badges.” Washington Post, June 18, 2020. https://www.washingtonpost.com/outlook/2020/06/18/women-police-officers-violence/.
Buchbinder, David. 2013. Studying Men and Masculinities. London: Routledge.
Connell, R W. 1995. Masculinities. 2nd ed. Cambridge Polity.
Cooper, Frank Rudy. 2009. “‘Who’s the Man?’: Masculinities Studies, Terry Stops, and Police Training.” SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.1257183.
Dengo, Franco B. 2021. “Budaya Kekerasan Berujung Kematian di Barak Polisi.” Project Multatuli. September 13, 2021. https://projectmultatuli.org/budaya-kekerasan-berujung-kematian-di-barak-polisi/.
Faiz, Ahmad. 2018. “Survei SMRC: 87,6 Persen Masyarakat Menilai LGBT Ancaman.” Tempo. January 25, 2018. https://www.tempo.co/politik/survei-smrc-87-6-persen-masyarakat-menilai-lgbt-ancaman-987756.
Fielding, Nigel. 1994. Cop Canteen Culture Dalam Just Boys Doing Business? Men, Masculinities and Crime. London Routledge.
Galuh, Leo. 2022. “The Culture behind Indonesia’s Police Brutality.” FairPlanet. October 12, 2022. https://www.fairplanet.org/editors-pick/the-culture-behind-indonesias-police-brutality/ .
Gitiyarko, Vincentius. 2022. “Terendah di ASEAN, Peningkatan Jumlah dan Peran Strategis Polwan Menjadi Tantangan.” Kompas.id. 1 September, 2022. https://www.kompas.id/baca/riset/2022/09/01/terendah-di-asean-peningkatan-jumlah-dan-peran-strategis-polwan-menjadi-tantangan.
Harris, Angela P. 2000. “Gender, Violence, Race, and Criminal Justice.” Stanford Law Review 52 (4): 777. https://doi.org/10.2307/1229430.
Harsono, Irawati. 2009. Pengarusutamaan Gender Di Dalam Tugas-Tugas Kepolisian. Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan Untuk Organisasi Masyarakat Sipil. Geneva Centre for Security Sector Governance.
Hastanto, Ikhwan. 2021. “Kami Minta Polisi Muda Mengomentari Asumsi Banyak Aparat Norak Saat PDKT di Medsos.” VICE. 18 November, 2021. https://www.vice.com/id/article/penyebab-aparat-berseragam-norak-saat-pdkt-di-medsos-diarsipkan-txtdrberseragam/.
Hidayatullah, Achmad Zainuddin, dan Kornelius Hari. 2024. “Rajam Norma Hetero Melintang Zaman | Balairungpress.” Balairungpress. 27 April 2024. https://www.balairungpress.com/2024/04/rajam-norma-hetero-melintang-zaman/.
Kontras. 2024. “Laporan Hari Bhayangkara 2024 : ‘Reformasi Polisi Tinggal Ilusi.’” Kontras.org. 2024. https://kontras.org/laporan/laporan-hari-bhayangkara-2024-reformasi-polisi-tinggal-ilusi.
Khaerunnisa, Rizka. 2019. “Kasus Polisi Gay yang Dipecat Tanda Maskulinitas Rapuh.” Magdalene.co. Magdalene. 18 Juni 2019. https://old.magdalene.co/story/kasus-polisi-gay-tanda-maskulinitas-rapuh.
Liputan 6. 2024. “Kronologi Oknum Polisi Ancam Pengendara Pakai Senjata Tajam di Palembang.” Liputan6.com. 2024. https://www.liputan6.com/news/read/5486613/kronologi-oknum-polisi-ancam-pengendara-pakai-senjata-tajam-di-palembang.
Mulyartono, Siswo. 2022. “Can Indonesia Ever Put an End to Police Violence?” Indonesia at Melbourne. 10 November, 2022. https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/can-indonesia-ever-put-an-end-to-police-violence/.
Museum Polri. 2024. “Sejarah Polwan.” Museum Polri. https://museumpolri.org/home/sejarah_polwan.
Nastitie, Denty Piawai. 2023. “Kekerasan Remaja dan Maskulinitas Toksik.” Kompas.id. 16 Maret, 2023. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/03/14/kenapa-remaja-laki-laki-berkelahi?utm_source=link&utm_medium=shared&utm_campaign=tpd_-_website_traffic.
POLRI. 2024. “Website Resmi Polri – Visi Misi.” Polri.go.id. https://polri.go.id/visimisi.
Prianti, Desi Dwi. 2019. “The Identity Politics of Masculinity as a Colonial Legacy.” Journal of Intercultural Studies 40 (6): 700–719. https://doi.org/10.1080/07256868.2019.1675612
Prinada, Yuda, dan Yonada Nancy. 2024. “Sosok Lachlan Gibson dan Kasusnya Dengan Polisi Arogan.” Tirto.id. Tirto.id. 20 November, 2024. https://tirto.id/profil-lachlan-gibson-dan-kasusnya-dengan-polisi-arogan-g5WP.
Robinson, Nathan J. 2023. “The Police Are the Problem.” Current Affair. 20 Januari, 2023. https://www.currentaffairs.org/news/2023/01/the-police-are-the-problem.
Romadoni, Ahmad. 2019. “Heboh Video Polisi Pukul Warga Karena Tak Terima Direkam Saat Menilang.” Kumparan. 28 Maret, 2019. https://kumparan.com/kumparannews/heboh-video-polisi-pukul-warga-karena-tak-terima-direkam-saat-menilang-1553751316644675138.
Setiawati, Susi. 2024. “Kekerasan Terhadap Perempuan Melonjak, Paling Banyak Dilakukan Pacar.” CNBC Indonesia. cnbcindonesia.com. 12 Agustus, 2024. https://www.cnbcindonesia.com/research/20240812072035-128-562153/kekerasan-terhadap-perempuan-melonjak-paling-banyak-dilakukan-pacar.
Tempo.co. 2024. “11 Jurnalis Jadi Korban Kekerasan Aparat Saat Liput Demo Kawal Putusan MK, AJI: Pelanggaran Serius.” 25 Agustus, 2024. https://metro.tempo.co/read/1908111/11-jurnalis-jadi-korban-kekerasan-aparat-saat-liput-demo-kawal-putusan-mk-aji-pelanggaran-serius.
Woods, Jordan Blair. 2022. “Destabilizing Policing’s Masculinity Project.” Ssrn.com. 89 George Washington Law Review 1527. 15 Januari, 2022. https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=4009326.
Yalley, Abena Asefuaba, dan Molatokunbo Seunfunmi olutayo. 2020. “Gender, Masculinity and Policing: An Analysis of the Implications of Police Masculinised Culture on Policing Domestic Violence in Southern Ghana and Lagos, Nigeria.” Social Sciences & Humanities Open 2 (1): 100077. https://doi.org/10.1016/j.ssaho.2020.100077.