
©Hadrian/Bal
Penobatan UGM sebagai kampus hijau pada peringkat tiga Universitas Indonesia (UI) GreenMetric hanya memperlihatkan pencapaian di mata publik belaka. Transportasi ramah lingkungan acapkali dijadikan UGM sebagai media dalam ajang penjenamaan diri semata. Setelah lima tahun menempati “pencapaian” ini, UGM tetap menjadi kampus yang sesak dengan kendaraan berbahan bakar konvensional alih-alih menjadi kampus hijau yang ramah lingkungan.
Setelah beberapa tahun berlalu sejak pengadaannya, bus listrik Trans Gadjah Mada (Transgama) UGM kian bertambah jumlahnya. Awalnya, UGM hanya memiliki dua buah armada hasil sumbangan Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di masa itu. Hingga saat ini, jumlah tersebut bertambah menjadi lima buah armada.Â
Kala beroperasi, satu dari lima bus Transgama bisa sesak dengan penumpang yang sibuk berkutat dengan kegiatannya masing-masing. Pada waktu yang lain, tak jarang kursi penumpang Transgama justru kosong atau hanya dipenuhi satu dua penumpang. Namun di antara para penumpang tersebut, hanya sedikit yang naik untuk memenuhi kebutuhan mobilitasnya. Hal ini kontradiktif dengan klaim UGM ihwal layanan transportasi bebas emisi, lantaran beriringan dengan sesaknya kantong parkir UGM oleh kendaraan berbahan bakar konvensional.
Manifestasi Kampus Hijau dalam Transportasi Publik
Pada peluncuran layanan Transgama (22-03-2022), Direktorat Aset UGM sebagai perwakilan Rektor UGM, Ova Emilia, mengeklaim bahwa UGM telah berkomitmen menunaikan wacana kampus hijau melalui pengadaan bus listrik Transgama. Transportasi ini digadang-gadang sebagai perwujudan transportasi publik ramah lingkungan. Mendukung klaim ini, Suryanto sebagai Staf Pengelolaan Sarana dan Prasarana Direktorat Aset UGM, mengatakan bahwa UGM memang berupaya mewujudkan kampus hijau melalui transportasi ramah lingkungan. “UGM mengarah ke green campus untuk menciptakan infrastruktur yang ramah lingkungan,” ucapnya.
Di lain sisi, Mia Wimala, peneliti yang berfokus dalam pembangunan, menerangkan bahwa pengadaan transportasi publik ramah lingkungan adalah bagian dari perwujudan wacana kampus hijau. Hal ini sesuai dengan salah satu indikator berskala global yang menetapkan transportasi publik sebagai bentuk kampus ramah lingkungan. Indikator global ini, UI GreenMetric, juga dijadikan sebagai kiblat ramah lingkungan oleh UGM. “Nah, kalau green transportation, nanti akan dikaitin sama green campus,” tutur Mia.
Melihat indikator transportasi publik, gelar kampus hijau makin gencar digunakan kala UGM menggunakanan transportasi berbahan bakar listrik. Menurut Suryanto, pengadaan transportasi publik dengan energi yang ramah lingkungan akan menciptakan area kampus yang bebas emisi. “Mengurangi emisi itu salah satunya dengan penggunaan moda transportasi yang ramah lingkungan,” ujarnya. Alasannya, area kampus yang bebas emisi dirasa lebih nyaman karena dapat menciptakan sirkulasi udara yang baik.
Senada dengan Suryanto, Kemal Fardianto dari Project Amerta, merasa pengadaan transportasi publik diperlukan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan sekitar. Menurut pandangannya, pengadaan transportasi publik memang bisa mengurangi jumlah penggunaan kendaraan berbahan bakar konvensional di UGM. Sebab dalam pengamatan Kemal, jumlah kendaraan berbahan bakar konvensional yang keluar-masuk area UGM kerap menyebabkan kemacetan dan pencemaran udara. “Kalau UGM tidak ingin menimbulkan eksternalitas [dampak-red] negatif terhadap lingkungan sekitarnya ya harus mengelola transportasi dengan baik,” tuturnya.
Klaim upaya pengurangan emisi di area kampus juga dijelaskan oleh Mia. Menurutnya, peningkatan emisi tidak hanya disebabkan oleh penggunaan transportasi, tetapi juga penggunaan gedung yang berukuran besar dan penggunaan teknologi seperti air conditioner (AC). Bahkan bagi Mia, terkadang gedung-gedung tersebut menghasilkan kadar emisi karbon yang lebih besar dari transportasi. Dalam pandangan Mia, hal ini disebabkan oleh masa penggunaan gedung yang lebih lama daripada masa penggunaan transportasi. “Ternyata pada porsinya, [emisi karbon-red] transportasi sama gedung lebih gede gedung. Gedung itu bisa 19% dari emisi total,” ujar Mia.
Wajah Cacat Moda Transportasi UGM
“Pada kenyataannya [penggunaan transportasi publik di UGM-red] masih kurang dari segi implementasinya,” ujar Kemal. Ia menilai bahwa rencana UGM untuk menerapkan kampus hijau lewat memprioritaskan pejalan kaki, pesepeda, dan pengguna angkutan umum tidak diimplementasikan dengan baik. Kemal menyadari bahwa di antara berbagai upaya yang dilakukan di atas, satu pun tidak memperlihatkan hasil yang konkret.
Sepakat dengan pendapat Kemal, Naufal, seorang mahasiswa Fakultas Teknik UGM menilai fasilitas transportasi seperti sepeda kampus belum efektif karena tidak dapat menjangkau area luar kampus. Ia juga menyadari bahwa lajur sepeda yang ada justru tidak aman bagi para pesepeda karena bersinggungan langsung dengan lajur kendaraan lain. Akibatnya, para pengendara sepeda motor kerap melaju secara demonstratif di lajur sepeda. “Saya melihat bahwa jalur sepeda di UGM itu masih ekstrem,” ucap Naufal.
Berkaca dari pengamatannya, Kemal juga menjelaskan bahwa masih terdapat setumpuk halangan bagi mahasiswa pengguna sepeda. Salah satunya adalah lokasi penyimpanan atau tempat pemberhentian sepeda yang letaknya cukup jauh dari gedung perkuliahan. Selain itu, Kemal juga melihat bahwa lajur khusus atau markah penanda jalur pesepeda di area luar kampus juga tidak disediakan. “Terutama [lajur khusus-red] yang menghubungkan UGM dengan akses utama sirkulasi di luar, kayak daerah Jalan Kaliurang dan Jalan Monjali,” tutur Kemal.
Bagi Naufal, adanya permasalahan-permasalahan yang disebutkan oleh Kemal membuat kebiasaan membawa sepeda ke kampus tak lagi diminati oleh mahasiswa. “Mahasiswa itu malah cenderung lebih enggak suka kalau naik sepeda ke kampus,” keluhnya. Imbasnya, mayoritas mahasiswa UGM lebih memilih membawa kendaraan berbahan bakar konvensional ke kampus.
Berbanding terbalik dengan penggunaan sepeda, Kemal kembali mengingat masa Ia berkuliah di UGM. Ia melihat bahwa penggunaan kendaraan bermotor di UGM jauh lebih dimudahkan dalam prasarananya. Hal ini dapat dilihat melalui tempat-tempat parkir kendaraan pribadi seperti mobil dan motor yang lebih dekat dengan gedung perkuliahan. “Jadi, kayak aku harus parkir sepeda di mana gitu, tapi masih harus jalan jauh buat aku mulai kuliah,” ungkap Kemal.
Selain sepeda, pengkerdilan fungsi transportasi oleh UGM kian dirasakan Naufal pada Transgama. Hal ini Ia sampaikan melalui keluhannya terhadap jumlah Transgama yang terlalu sedikit sehingga berakibat pada lamanya waktu interval antarbus. “Jadi headway [jarak waktu interval antarbus-red] itu bisa sampai satu jam sendiri, itu sebenarnya tidak fleksibel sama sekali,” kata Naufal. Masalah tersebut membuat Naufal yang sering menggunakan Transgama perlu menyisihkan waktu yang lebih lama untuk berangkat ke kampus. Hanya untuk menunggu kedatangan bus, Naufal seringkali harus berangkat satu sampai dua jam sebelum waktu perkuliahan dimulai.
UGM mengeklaim telah berbenah selepas berbagai kritik mengenai waktu interval antarbus dilontarkan mahasiswa. Hal ini disampaikan oleh Suryanto, Ia menyebutkan bahwa evaluasi ini mereka lakukan dalam bentuk kajian, utamanya kajian rute Transgama. Ia menjelaskan bahwa kajian-kajian ini dilakukan untuk menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang ada. Namun, hingga saat ini, Suryanto mengaku bahwa proses dari kajian tersebut masih dalam proses pembenahan. “Memang kita istilahnya kalau jalan itu, bahasa Jawanya timik-timik, pelan-pelan,” elaknya.
Akan tetapi, berkebalikan dengan Suryanto, Naufal merasa langkah yang diambil oleh UGM justru menambah daftar masalah. Upaya UGM memangkas durasi interval antarbus dengan perubahan rute menurutnya tidak berhasil karena malah membuat Transgama tidak bisa menjangkau beberapa fakultas sehingga memutus hubungan antarklaster. “Kalau dulu rutenya antara gedung pusat, Sekolah Vokasi, sama Fakultas Kedokteran itu terhubung. Kalau sekarang enggak, muter-muter doang di gedung pusat,” kata Kemal.
Berkaca dari pengalamannya, Naufal merasa permasalahan tersebut merupakan penyebab dari berkurangnya penumpang Transgama. Ia bercerita bahwa perubahan rute membuat Transgama tidak menjangkau fakultasnya lagi. Padahal, sebelum perubahan rute, Naufal adalah salah satu penumpang setia bus tersebut. “Dulu itu kan rute bus Trans Gadjah Mada muter Fakultas Teknik, jadi saya sering pakai,” ungkapnya. Tak hanya Naufal, beberapa temannya yang berkuliah di SV atau tinggal di asrama mahasiswa milik UGM juga mengalami nasib serupa.
Salah seorang sopir Transgama, Yanto (bukan nama sebenarnya), secara pesimis mengakui bahwa beragam permasalahan Transgama berimplikasi pada pergeseran fungsi Transgama. Baginya, Transgama yang awalnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa telah bergeser menjadi wahana jalan-jalan intrakampus belaka. “Kebanyakan penumpang kalau siang cuma mau main,” imbuhnya.
Tumpang Tindih Kebijakan Kampus Hijau
Menurut dugaan Mia, pengadaan berbagai moda transportasi di UGM tidak murni dilangsungkan guna memenuhi tujuan UGM menciptakan lingkungan kampus yang hijau. Baginya, motivasi utama UGM menggunakan wacana kampus hijau dalam kebijakan transportasi tak ubahnya upaya penjenamaan belaka. Hal itu, menurutnya, dapat dilihat melalui keikutsertaan UGM dalam pemeringkatan internasional UI GreenMetric buatan UI. Mia merasa kesempatan ini adalah ajang mencari keuntungan UGM untuk menunjukkan eksistensinya di mata dunia. “Jeleknya, kalau tujuan pertamanya bukan peduli lingkungan, tetapi branding, maka penerapannya hasil bikin-bikin,” ungkap Mia.
Mia mengibaratkan kampus hijau UGM mirip dengan upaya pendirian bangunan hijau oleh suatu perusahaan. Pengandaian ini didasarkannya lewat pengalamannya sebagai konsultan bangunan hijau di berbagai perusahaan. Menurutnya, perusahaan akan rela bersusah-payah membayar sertifikasi bangunan hijau hanya demi memperluas relasi dengan perusahaan internasional. Lantaran label “hijau” acapkali digunakan sebagai alat pelancar penjenamaan birokrasi yang rumit, seperti pemberian dana usaha. “Kamu bisa koneksi dengan international company gampang karena kalau sama mereka, semuanya minta yang green,” ungkap Mia.
Selain itu, Mia mengatakan, ketidakseriusan perguruan tinggi dalam penerapan kampus hijau disebabkan oleh peraturan yang tidak jelas. Suryanto lantas mengakui bahwa permasalahan tersebut adalah buntut nihilnya peraturan dan standardisasi yang gamblang mengenai wacana kampus hijau. Imbasnya, penerapan kampus hijau belum terimplementasi dengan baik. “Kebijakan yang pasti, seperti peraturan rektor atau SK itu kan belum clear,” ungkap Suryanto.
Kala ditanya mengenai regulasi resmi kampus hijau, Suryanto secara kebingungan mengatakan bahwa UGM hanya menggunakan Rencana Induk Kampus (RIK) UGM sebagai acuan. RIK tersebut merupakan rencana pengembangan kampus UGM yang tercantum dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah RI Nomor 67 Tahun 2023 tentang Statuta UGM. Menurut pengakuan Suryanto, RIK berkiblat pada regulasi yang lebih tinggi seperti peraturan gubernur. Namun, saat didesak menjelaskan secara rinci mengenai aturan tersebut, Suryanto hanya mengatakan bahwa acuan UGM hanya terantuk pada RIK saja. “Iya, memang ada dari itu [RIK-red] saja,” ungkapnya.
Di sisi lain, Mia menjelaskan bahwa terdapat sejumlah instansi pemerintah yang mengeluarkan kebijakan berskala nasional. Kebijakan tersebut di antaranya aturan-aturan seperti UI GreenMetric dan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 76 Tahun 2021 tentang Sistem Manajemen Transportasi Cerdas di Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun baginya, kebijakan yang ada tidak membawa dampak yang signifikan. “Peraturan di Indonesia itu berantakan,” ungkap Mia.
Mia berpendapat bahwa beragam kebijakan yang muncul justru menimbulkan kebingungan di kalangan publik. Menurutnya, kebingungan ini terjadi karena setiap instansi memberlakukan kebijakan yang tidak sejalan. Lebih-lebih, beberapa kebijakan yang ada justru tumpang tindih dan tidak memiliki pedoman yang cukup rinci sehingga tidak terkoordinasi dengan baik. “Semuanya ngeluarin [kebijakan-red], jadi kita yang mengikuti bingung,” tutur Mia.
Penulis: Muhammad Muflihun, Rifky Wildhani, Ulfa Dwi Damayanti (Magang)
Editor: Aghits Azka Aghnia
Ilustrator: Hadrian Galang (Magang)