Sudah sepuluh tahun berlalu konflik perebutan ruang antara Monyet Ekor Panjang (MEP) dan masyarakat di Dusun Suru, Gunungkidul. Macaca Fascicularis atau MEP awalnya tidak terlalu mengkhawatirkan masyarakat Gunungkidul, tetapi seiring bertambahnya populasi, penyerangan MEP atas lahan-lahan warga mulai meresahkan warga. Ekspansi lahan tersebut menargetkan tanaman jagung milik masyarakat yang menjadi penghidupan utama masyarakat pula. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Gunungkidul dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta mengklaim telah melakukan upaya penanganan dengan penanaman pohon jambu sebagai sumber pangan monyet ekor panjang. Namun, usaha tersebut masih belum menghasilkan dampak yang signifikan, bahkan penyerangan monyet pun kian menyebar ke beberapa daerah lain.
Untuk mengetahui lebih lanjut terkait masalah penyerangan monyet di Gunungkidul, BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Edi Dwi Atmaja, seorang pengamat ekosistem karst di Gunungkidul pada Kamis (10-10). Kala tergabung sebagai relawan komunitas Pemuda Pecinta Alam Gunungkidul dan Save Rescue Indonesia, Edi aktif mendata keberadaan MEP di Gunungkidul sebagai bentuk penjagaan ekosistem. Bersamaan dengan ini, Edi yang juga merupakan penduduk asli Gunungkidul memaparkan sejumlah fakta lapangan terkait aktivitasnya. Menurutnya, kurangnya pendataan populasi monyet ekor panjang yang mengakibatkan konflik monyet ekor panjang di Gunungkidul tak kunjung usai. Simak wawancara selengkapnya.
Sejak kapan Anda mulai melakukan pendataan terkait ekosistem di Gunungkidul?
Dulu itu saya dan teman-teman satu sekolah di Gunungkidul sering main bareng, namanya [komunitas-red] pecinta alam, tapi bukan pecinta alam yang resmi. Sejak SMA kelas satu kita sudah melakukan pendataan, sekitar tahun 2002. Kuliah apalagi, kita semakin sering. Namun, yang jadi masalah adalah kita itu bukan organisasi resmi, data tidak terdokumentasi dengan baik, tetapi kalau kita ditanya pasti bisa jawab. Cuman, untuk data pastinya kita harus cek catatan-catatan dulu karena dokumentasi kita buruk. Namun, pendataan itu sebenarnya sudah jalan di tahun 2000. Kita fokusnya tidak hanya monyet, melainkan fokus pada banyak, terutama ekosistem gua karena itu yang paling rentan. Jadi, kalau monyet ekor panjang itu sebenarnya hanya sisipan. Kalau kita masuk gua lalu menemukan monyet, kita data, mengobrol dengan masyarakat, dijadikan data. Tapi intinya, pendataan kita mulai fokus itu di tahun 2010 sampai sekarang.
Bagaimana Anda melihat monyet ekor panjang yang kehilangan habitat karena rusaknya ekosistem?
Kalau bicara monyet ekor panjang, itu ada dua sisi. Kalau di sisi ekologis, mereka menyerang atau ada konflik di beberapa titik dengan warga itu karena kerusakan ekosistem. Jadi memang habitat mereka terdegradasi. Kemudian dari sisi lain, seperti sosial. Kenapa sih monyet ini menyerang? Pertama, karena tadi kerusakan habitat; kedua, karena area konflik muncul.
Jadi kalau hasil observasi kita monyet ekor panjang itu populasinya terus naik bahkan dalam dua tahun ini ada satu koloni yang pecah jadi dua bahkan empat koloni, artinya pertumbuhan populasi mereka sangat tinggi. Selanjutnya, kalau melihat kerusakan lingkungan seharusnya populasi fauna akan menurun karena daya dukung lingkungan menurun. Namun, yang terjadi pada monyet ini populasinya naik, berarti ada yang tidak beres, entah karena tidak ada fauna yang menjadi kompetitor atau tidak ada fauna yang menjadi predator. Atau faktor lain, daya dukung lingkungannya malah tinggi meskipun mengalami kerusakan. Contoh, mereka terpenuhi secara kebutuhan sumber pakan dengan menghancurkan lahan warga.
Sebenarnya yang menjadi masalah saat ini adalah belum ada data terkait monyet ekor panjang. Kalau selama ini, Save Rescue Indonesia sendiri hanya sekadar pendataan, hanya komunitas relawan, ya kami data semampunya. Yang menjadi masalah selanjutnya adalah data jumlah populasi monyet ekor panjang ini tidak ada terutama di Gunungkidul, di karst Gunungsewu. Terus parameter terkait daya dukung lingkungannya pun tidak ada. Contohnya, berapa sih lahan yang dirusak monyetnya? Terus itu habitat monyet apakah manusia yang masuk lalu menjadi konflik atau monyetnya yang masuk terus menjadi konflik? Belum ada data yang berani rilis.
Kemudian ketika kami hubungi dinas terkait, tidak ada jawaban. Contoh, kami hubungi BKSDA, mereka bilangnya monyet ekor panjang tidak termasuk hewan yang dilindungi. Namun, ketika kita tanya DLH mereka menyampaikan, “Ini hewan dilindungi, Mas. Jadi, ini ranahnya BKSDA.” Artinya, tidak ada kejelasan terkait yang mengatasi, mengontrol, atau melakukan pendataan terhadap monyet ini. Lalu, status monyet ini tidak dilindungi dalam Peraturan Pemerintah, tetapi dilindungi The International Union for Conservation Nature (IUCN). Jadi, kalau saya pribadi memang tidak tahu kejelasan monyet ini urusannya siapa.
Kita tidak bisa menyebutkan oh masyarakat salah atau oh monyet salah, kita enggak bisa seperti itu karena belum ada datanya secara resmi. Monyetnya mengalami kerusakan habitat, entah karena Jalur Jalan Lintas Selatan atau karena pembangunan-pembangunan di daerah selatan.
Lalu, di Gunungkidul baru mau membuat konservasi monyet di beberapa titik, ada yang mandiri [pemerintah daerah-red], ada yang bekerjasama dengan LSM seperti Walhi dan lain-lain. Namun sampai sekarang, yang kami temukan monyet mengekspansi lahan warga. Jadi, jika ingin fokus pada monyetnya, langkah awal sebaiknya dilakukan pendataan karena sampai sekarang belum ada pendataan terkait monyet ekor panjang tersebut.
Bagaimana tanggapan Anda terkait warga yang menyerang balik monyet ekor panjang yang masuk pemukiman warga?
Kalau warga menyerang balik, saya sendiri belum pernah dengar. Beberapa tahun terakhir ini, warga lebih mending, “Enggak usah nanem karena nanem pun yang panen monyetnya.” Akan tetapi karena warga tidak menanam, monyet itu melakukan ekspansi ke daerah lebih jauh, bahkan di tiga bulan ini kita mendata ada lima titik yang dulu tidak diserang monyet sekarang diserang monyet. Kalau menembak monyet sampai mati itu mereka enggak ada yang berani karena publikasi yang dilakukan pemerintah, dinas terkait, dan Tanoto Foundation. Mereka publikasi besar-besaran terkait perlindungan monyet. Namun, karena monyet menyerang secara membabi buta, ada beberapa warga yang menembakkan senapan, tidak ditembakkan ke monyetnya, tapi ke atas itu untuk menakut-nakuti monyetnya. Kalau enggak mengalami sendiri itu kita enggak tahu ya [rasanya diserang monyet-red], monyet itu sekalinya datang menggerombol dan mengerikan. Di beberapa titik, terutama di daerah lereng Gunung Merapi, itu mereka datang dengan lebih dari dua puluh monyet.
Bagaimana respons pemerintah terkait tidak adanya pendataan terhadap monyet ekor panjang?
Mungkin pemerintah sudah melakukan pendataan, cuma belum sampai ke kita. Di beberapa titik itu masih ada konflik, kita sudah sampaikan di beberapa forum terkait titik-titik baru penyerangan, koloni baru, perkembangan koloni, pemecahan koloni. Cuma sampai saat ini belum ada tindakan. Di titik-titik konflik itu sekarang mulai mereda bukan karena aktivitas manusianya, tapi karena sudah mulai turun hujan. Besok kemarau mungkin akan ada serangan lagi. Saat ini, saya belum melihat sebuah tindakan dari instansi dinas terkait untuk meredam masalah ini. Kalau sekadar rencana atau tindakan itu sudah ada pembangunan suaka margasatwa, daerah-daerah yang ditanami dengan tanaman sumber pakan, cuma saya kurang tau itu berbasis data atau enggak.
Kalau kita mau mendapatkan solusi terkait monyet ekor panjang ya harus berdasarkan data. Titik penyerangannya di mana saja, populasinya ada berapa. Nantinya, kita akan tahu populasinya itu sudah masuk ke hama atau masih dalam batas wajar. Kalau menurut saya pribadi, ketika sudah masuk ke masalah hama itu mau enggak mau harus dilakukan sebuah tindakan karena akan menjadi masalah sosial atau ekologis.
Seberapa efektif upaya yang dilakukan oleh pemerintah?
Saya enggak akan bicara efektif atau enggak, cuma kalau memang efektif kan harusnya penyerangan monyet ekor panjang tidak terjadi lagi. Jadi ya dinilai sendiri aja. Intinya monyet ekor panjang ini masih jadi pekerjaan rumah yang besar. Ini menjadi sebuah hal yang harus diselesaikan bersama-sama, bukan hanya tanggung jawab pemerintah, relawan, atau masyarakat, tapi tanggung jawab bersama.
Intinya, kita butuh media bareng untuk kumpul, ketemu, dan membahas ini semua. Pemerintah ada kebijakan apa, relawan ada data apa, masyarakat ada masalah apa, itu kan kalau enggak ketemu enggak akan menemukan solusi. Kita punya data dan kita bingung mau sampaikan ke siapa, kalau disampaikan pun rekomendasi minta pertanggungjawabannya ke siapa itu enggak ada. Sampai saat ini, kita sekadar ngobrol dan datang ke dinas terkait. Laporan sudah diterima, tapi apakah data-data ini harus kita jalankan atau enggak perlu lakukan itu lagi, kita enggak tahu.
Apakah pemerintah sudah berinisiatif mendiskusikan permasalahan ini bersama warga?
Sampai saat ini saya dan teman-teman relawan belum pernah dapet undangan untuk duduk bareng. Kalau denger dari obrolan, beberapa temen dari instansi katanya sudah ada beberapa pertemuan. Cuma kalau kita tanyakan, notulanya belum pernah sampai ke kami. Artinya kan kita enggak tahu; apakah sudah ada pertemuan atau memang belum ada atau sudah ada, tapi belum optimal.
Menurut Anda, upaya kumpul bareng seperti apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?
Kita hidup bernegara, ada peraturan. Segala sesuatu kan muaranya di kebijakan. Harapan saya sih kebijakan untuk permasalahan monyet ekor panjang dan lingkungan bisa dibuat berdasarkan data dan permasalahan yang ada. Saya ingin ada pertemuan antara masyarakat dan seluruh stakeholder. Kita diskusi, ngobrol, dan sharing data. Kemudian, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah itu sesuai data yang ada karena banyak kebijakan tidak melihat sisi lain seperti sosial dan lingkungan, kebanyakan justru melihat sisi ekonomi. Jadi, kebijakan tuh benar-benar bisa mengakomodasi kepentingan masyarakat, budaya, sosial, ekonomi, ekosistem. Itu akan jadi win-win solution buat semuanya.
Penulis: Aghits Azka dan Andreas Hanchel
Penyunting: Catharina Maida
Ilustrator: Nicholas Abby Oktavian