Rasa cemas yang menyelimutinya kala itu perlahan kembali mengisi benaknya. Teh yang masih samar menguap seakan mencoba menarik perhatiannya untuk sekadar menyesap kehangatan. Wajahnya berkerut, mencoba mengingat rangkaian peristiwa pahit yang tak akan pernah pudar tergerus usia yang sudah lanjut.
Magdalena Kastinah, atau yang akrab disapa Kastinah, menuturkan kisahnya sebagai salah satu korban Tragedi 1965. Tuduhan sebagai anggota Gerwani membuatnya harus menghabiskan masa remajanya, empat belas tahun mendekam di balik jeruji besi. “Saya ditanya, dikira Gerwani, dikira ikut ke lubang buaya, padahal saya nggak tahu lubang buaya itu mana,” ujar Kastinah.
Tergabungnya Kastinah dalam aksi Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) masih ia yakini melatarbelakangi penangkapannya dulu. Selama menjadi tahanan politik, Kastinah mengalami kekerasan secara fisik dan seksual. Memori gelap tersebut masih terus menghantuinya bahkan setelah ia dibebaskan. “Saya sudah bebas dulu itu, walaupun lihat tentara itu takut [sampai sekarang-red]. Kalau melihat baju hijau itu takut kalau itu baju tentara,” tuturnya.
Raga yang telah bebas tak menjamin trauma ikut terentas. Emosi yang sedari lama dipendam seakan mendesak Kastinah untuk menuturkan ceritanya. Kehadiran Sekretariat Bersama (Sekber) ’65 yang memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan 65 menjadi sebuah rumah dan ruang berekspresi bagi Kastinah. Di sana, ia menuangkan kisah kepada kawan-kawannya yang senasib tanpa harus merasa takut akan dihakimi oleh stigma tahanan politik.
Sekber ‘65 hadir di tengah karut-marut pecahnya organisasi pemuda pada tahun 2005. Runtuhnya rezim Soeharto memberikan kesempatan bagi semua orang terutama para pemuda untuk menyuarakan kebenaran di balik tragedi 1965. Winarso, salah satu dari mereka, merasa tali-tali yang mengekang mereka satu per satu mulai terlepas. Bersamaan dengan itu, tiga organisasi muncul ke permukaan.
Ketiga organisasi itu adalah Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP), Paguyuban Korban Orde Baru (PAKORBA), dan Lembaga Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (LPKP-65). Namun, selayaknya lembaga baru, kebingungan dan kekacauan muncul akibat perbedaan visi dan misi antara ketiganya. Winarso sebagai salah satu inisiator Sekber ‘65 menyayangkan organisasi yang seharusnya menjadi alat perjuangan justru melemah karena adanya perbedaan visi ini. “Makanya, harus ada sebuah organisasi proper yang kuat, yang mampu mengonsolidasikan korban, mampu mengampanyekan soal ‘65,” ujarnya.
Bersama beberapa pegiat isu Hak Asasi Manusia (HAM) lainnya, Winarso mengusung sebuah sekretariat bersama untuk korban tragedi 1965 di Jakarta. Namun, sekretariat ini tidak bertahan lama akibat konflik internal para pengurus di dalamnya. Sekretariat bersama di Jakarta mau tak mau harus berakhir begitu saja pada tahun 2003. Winarso pun akhirnya memilih pulang ke Solo.
Perasaan iba kala melihat keadaan korban Tragedi 1965 menggerakkan hati Winarso untuk mendirikan Sekretariat Bersama ‘65 di Surakarta. “Nah, saya akhirnya balik ke Solo. Saya melihat korban-korban ini lama-lama kasihan,” terangnya. Winarso menyadari bahwa para korban tidak diberikan ruang yang cukup untuk mengomunikasikan seluruh perasaannya.
Dengan tekad bulat, sembari mengumpulkan sisa-sisa semangat sekretariatnya di Jakarta dahulu, pada tahun 2005 ia membuat Sekber ‘65. Winarso menjelaskan bahwa Sekber ‘65 lahir sebagai bentuk perjuangan para korban Tragedi ‘65.Tujuan pendiriannya hanya satu: Menuntut pengakuan negara secara sah terkait kasus pelanggaran HAM berat bertahun-tahun silam.
Sembari menunggu pengakuan yang tak kunjung diberikan, ia bersama anggota-anggota Sekber ‘65 mengupayakan pemulihan hak korban, khususnya di bidang kesehatan, pendidikan, dan sosial ekonomi. Pemulihan ini menjadi tuntutan yang bisa mereka dapatkan pemenuhannya oleh pemerintah melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023. “Tujuan kita secara visi-misi sebenarnya sudah tercapai lewat Inpres kemarin,” ujar Winarso.
Inpres tersebut akhirnya melatarbelakangi pembentukan Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia (PKKP-HAM) oleh Kementerian Hukum dan HAM Indonesia. Seakan menebus dosanya, negara hanya melimpahkan semuanya ke dalam lembaga ini. Namun, Didik sebagai salah satu Koordinator Sekber ‘65 menilai bahwa semuanya masih dipengaruhi oleh kepentingan politis. Didik menyayangkan ketidakjelasan kinerja PPKP-HAM sejak majunya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sebagai Calon Wakil Presiden di Pemilihan Umum 2024. “Nah, sekarang menterinya sedang nyalon [wakil presiden-red], agenda PKKP HAM gimana? Ganti menteri, ganti kebijakan, makanya itu perlu kita dampingi,” tegas Didik.
“Salah satu hal yang kita perjuangkan adalah mendapatkan pengakuan dari negara,” tambah Didik. Ia menyebutkan pengakuan ini dilakukan dengan mendorong pemerintah untuk memberikan Surat Keterangan sebagai Korban Pelanggaran HAM (SKKP HAM). Namun, Didik memaparkan bahwa proses mendapat SKKP HAM juga teramat pelik. Birokrasinya semakin dipersulit dengan persuratan yang bahkan sudah hilang tergerus waktu.
Jika pun berhasil menerima SKKP HAM, korban hanya dapat memperoleh bantuan materi, medis, dan psikologis, tanpa pendampingan lebih lanjut. Hal inilah yang membuat Sekber ‘65 tetap bertahan dan turut membantu proses administrasi serta pendampingan bagi para penyintas. Ruang-ruang kebebasan kepada para korban masih Didik dan pengurus Sekber ‘65 lainnya usahakan setiap harinya.
Di lain sisi, meskipun para penyintas telah mendapatkan penanganan lewat aturan formal yang telah disahkan, ambivalensi pemerintah dalam menangani para penyintas Kekerasan ‘65 justru semakin terlihat. Pasalnya, SKKP HAM tak sepenuhnya membuktikan bahwa pemerintah telah mengakui dan memberdayakan penyintas Kekerasan ‘65. Kenyataannya, pengakuan di atas kertas tersebut tidak serta-merta membebaskan ruang gerak korban maupun keluarganya.
Keluarga para penyintas yang sudah mendapat SKKP HAM tetap dipersulit. Didik menyebutkan bahwasanya keluarga yang mencoba untuk mendaftar sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih dilabeli sebagai mantan tahanan politik di KTP Korban. “Sebenarnya masih ada kok yang jadi TNI atau Polri, tapi harus disiasati,” ungkapnya.
Syahdan, Didik menjelaskan siasat yang ia maksud, misalnya dengan memutus hubungan antara orang tua dan anak, lalu memberikan hak pengakuan anak kepada saudara yang lain. Menurutnya, beberapa mekanisme semacam itu menjadi bentuk pemaksaan yang dilakukan oleh negara kepada para korban. Sejatinya hal tersebut masih menghambat kebebasan para korban beserta keluarganya untuk menjadi warga negara dan mendapatkan hak sebagai warga negara.
Sebagai “rumah” baru bagi para korban, Sekber ‘65 rutin melakukan pertemuan bulanan. Memantau perkembangan kesehatan fisik dan mental para korban yang sudah lanjut usia menjadi tujuan utama pertemuan ini. Melalui pertemuan ini, para korban dapat saling berinteraksi, berkomunikasi, dan mulai membuka diri. Sari, salah satu staf Sekber ‘65 bercerita bahwa para korban sebelumnya sangat tertutup dan membentengi diri mereka sendiri. “Seiring waktu, dengan saya mau mendengar, terus saya bercerita, akhirnya mereka mau membuka diri,” kisah Sari.
Selain itu, Sekber ‘65 juga mengadakan kegiatan-kegiatan kecil seperti kursus memasak atau kursus membuat kerajinan. Salah satunya adalah prakarya dari lintingan koran. Dari kegiatan tersebut, dihasilkan karya berupa kotak tisu, alas gelas, dan hiasan ruangan yang terpajang di ruang sekber. “[Kerajinan-red] ini, koran bekas, sangat laku sekali. Anak-anak korban dan cucu korban [membuat dan menyukainya-red],” ucap Winarso sambil menunjuk hasil tangan mereka.
Dari sudut pandang Sari, kehadiran Sekber ‘65 seolah telah menjadi angin segar bagi kehidupan para korban ‘65. Kehangatan yang ditawarkan tempat ini seakan membalut luka yang membekas di hati para korban puluhan tahun silam. Di tempat ini, mereka menghilangkan sekat-sekat yang membuat mereka tereksklusi dari dunia. Keberanian mereka muncul seiringan dengan penguatan yang diberikan para korban satu sama lain.
Sari turut merasakan keberanian tersebut. Ia melihat kemauan dari setiap korban untuk membuka diri dan tidak menyimpan traumanya sendiri. Walaupun trauma itu tidak serta-merta hilang, Suharman yang menjadi penyintas di Sekber ‘65 sudah berani untuk menyerukan penindasan yang ia alami. “Saya adalah korban,” terangnya.
Pada akhirnya, ketakutan dan trauma yang dialami oleh para korban selama puluhan tahun tidak luntur begitu saja. Diskriminasi dan stigma negatif dari masyarakat dan pemerintah terus berlanjut hingga lintas generasi. Namun, pendampingan, advokasi, dan kampanye kemanusiaan akan tetap gencar dilakukan. Bersama dengan Sekber ‘65, mereka percaya bahwa keadilan akan terus ada dan mereka akan tetap bertahan.
Reporter: Maylafaizza Nafisha Zifa, Safira Aisyah, dan Shalma Putri Adistin
Penulis: Anggita Septiana dan Annisa Dwi Nurhidayati
Penyunting: Ester Veny
Illustrator: Nabillah Faisal