Rabu (06-11), Penerbit Marjin Kiri bersama Organisasi Perempuan Lintas Batas dan BawaBuku mengadakan diskusi buku Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional. Bertempat di Arka Coffee and Space, Yogyakarta, acara ini menghadirkan Luh Ayu Saraswati sebagai penulis buku. Selain menyajikan perspektif penulis, acara ini juga membuka ruang diskusi bebas untuk bertukar pandangan dan refleksi akan kulit putih sebagai standar kecantikan di Indonesia.
Ayu menjelaskan bahwa konsep warna putih sebagai lambang kecantikan sudah dimulai sejak sebelum masa kolonial. Namun, menurutnya, konsep tersebut semakin diperparah seiring masuknya kekuatan kolonial. “Ketika Belanda masuk, putihnya adalah putih ras kaukasia,” ujar Ayu. Ia memandang bahwa pergeseran serupa juga terjadi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, ketika putih yang diidamkan adalah putih seperti orang Jepang.Â
Lebih lanjut, Ayu menyebutkan bahwa pergeseran definisi standar kecantikan ini dipengaruhi oleh afek, yakni perubahan sikap seseorang ketika terjadi proses penilaian terhadap suatu hal. Ia menjelaskan bahwa afek dan emosi secara tidak sadar mampu membentuk kuasa yang menanamkan sentimen atau ideologi tertentu dalam diri individu. “Artinya adalah kita kadang-kadang dikuasai oleh masyarakat, orang tua, dan negara, melalui bagaimana kita merasakan sesuatu terhadap diri kita sendiri, juga terhadap orang lain,” jelas Ayu.Â
Ditambah, Ayu memandang bahwa konsep ini tercermin dalam masyarakat melalui standar kecantikan yang turut dipromosikan oleh industri. Salah satu yang dicontohkannya, adalah maraknya produk kecantikan yang mengklaim mampu memutihkan kulit. “Mereka menggunakan kata-kata white detox. Berarti kulit kita ini perlu didetoks?” ujar Ayu.Â
Ayik, salah satu peserta dalam diskusi, menyadari bahwa pengaruh tersebut pun ada pada dirinya.. “Kedatangan saya kesini diawali dari candaan saya untuk suntik vitamin C dalam rangka memutihkan kulit,” tutur Ayik. Melalui kesadaran tersebut, Ayik menyadari perlunya penerimaan atas jati diri agar tidak mudah dikuasai oleh wacana-wacana standar kecantikan.
Di sisi lain, Ana, peserta diskusi lainnya, mengungkapkan keinginan mengubah warna kulit karena alasan yang jauh berbeda. Ia merasa kerap mendapatkan perlakuan berbeda sebab warna kulit putih yang melekat dengan etnisitas Indonesia-Tionghoanya.“Menjadi putih, menjadi lebih mudah untuk ditandai karena berbeda dari yang lain,” tuturnya.Â
Turut menanggapi, Ayu menyatakan bahwa pengalaman Ana sepenuhnya mencerminkan realitas standar kulit putih yang masih kental pada masyarakat Indonesia. Ia menyebutkan bahwa terdapat perbedaan atas definisi putih yang diidamkan. “Hal ini menunjukkan bahwa semua putih tidak sama. Ketika putihnya diartikan sebagai putih Cina, menjadi tidak diinginkan lagi,” ujar Ayu.Â
Melihat masalah ini, Ayu menyayangkan kurangnya kesadaran masyarakat akan permasalahan diskriminasi rasial yang berakar dari perbedaan warna kulit. “Bahkan ada akademisi sendiri yang bilang bahwa di Indonesia itu tidak ada masalah rasisme,” tambahnya. Menurut Ayu, nilai yang perlu difokuskan bukanlah pada pengabaian perbedaan yang ada, tetapi penerimaan keberagaman untuk mematikan diskriminasi yang terjadi.
Penulis: Salma Rahma, Satya Fadhlan Azhima, Levina R (Magang)
Penyunting: Winema Aleshanee Rasti Azzayna
Fotografer: Arfa Zhafif Hironaza (Magang)