
©Natasya/Bal
Permasalahan tata ruang kerap menghantui masyarakat Yogyakarta. Persoalan ini semakin terlihat dari adanya fenomena penggusuran PKL Malioboro, PKL Borobudur, ataupun perampasan ruang hidup proyek pariwisata di Gunungkidul. Dampak dari permasalahan tata ruang inilah yang membuat kesejahteraan mereka terenggut karena pengelolaan tata ruang selalu didasari kepentingan pemerintah. Sampai saat ini, pemerintah masih abai dengan nasib masyarakat yang terdampak.
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang permasalahan tata ruang di Yogyakarta, BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Anggalih Bayu Muh Kamim, seorang peneliti yang berfokus ke dalam tata ruang. Dalam wawancara yang dilakukan pada Senin (16-11-2023), ia menyampaikan bahwa buruknya pengelolaan tata ruang memengaruhi persepsi masyarakat terhadap tata ruang itu sendiri. Berikut wawancara lengkapnya.
Sebelumnya, menurut Anda sendiri apa yang dimaksud dengan ruang dalam hal ini?
Sebenarnya, susah bicara tentang ruang yang ideal. Apalagi yang namanya rencana tata ruang wilayah akan selalu diubah [definisinya-red], mengikuti perubahan fungsi ruang yang ada. Ruang itu selalu berubah, sesuai dengan perkembangan, jadi kita susah untuk mendefinisikan ruang yang ideal. Kalau versi idealnya, ruang itu tentang keseimbangan relasi manusia dengan alam. Fungsi ruang didefinisikan berdasarkan ikatan antara masyarakat dengan ruang hidupnya karena yang namanya ruang itu melekat dengan basis produksi atau sumber nafkah masyarakat.
Bagaimana dengan permasalahan ruang di Yogyakarta?
Kalo pemerintah secara teknokratis, dalam konteks dokumen kebijakan, pemerintah mendefinisikan fungsi ruang sesuai dengan kepentingan pemerintah untuk tujuan ekstraksi ekonomi. Apalagi pemerintah daerah, bagaimana cara wilayahnya bisa mendapatkan pendapatan asli daerah. Tergantung dari sektor daerah yang mau dikejar, kalau di Yogyakarta, yang dikejar pariwisata. Terutama semenjak tahun 80-an, bisa dilihat titik penting campur tangan pemerintah pusat buat mengembangkan turisme massal atau pariwisata dalam skala besar di Yogyakarta.
Hampir di semua daerah, itu dimulainya dengan pertanian. Tapi, seiring berjalannya waktu, dari pihak pemerintah menggenjot pertumbuhan daerah ekonomi saja. Fungsi ruang berubah, udah nggak lagi berdasarkan ikatan manusia dengan alamnya. Perubahan seperti itu yang menjelaskan mengapa beberapa daerah yang dalam tanda kutip minus sumber daya seperti Gunungkidul, Kulon Progo tingkat kemiskinannya besar.
Berarti ada gap pemahaman ruang antara masyarakat dengan pemerintah, apakah perbedaan persepsi itu yang memengaruhi bentuk ruang yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat?
Sebenarnya bukan soal persepsi doang, tetapi perubahan basis penghidupannya juga. Masyarakat mengikuti celah ekonomi yang bisa menghidupi mereka. Karena dalam basis kehidupan sebelumnya pun mereka ada ketimpangan, ada petani kaya, buruh tani, dan segala macam. Mereka yang terlempar dari perubahan fungsi ruang itu biasanya kalangan bawah, akhirnya kalo mereka tidak mencoba bertahan hidup dengan mengambil pekerjaan sampingan, ya mereka full meninggalkan sektor penghidupan tani sepenuhnya.
Sebenarnya antar satu warga dengan warga lain dalam memanfaatkan ruang juga saling mengeksploitasi satu sama lain. Memang kasusnya kompleks, baik dalam konteks basis penghidupan, pemenuhan hak-hak seperti hak atas air atau bahkan hak atas hunian. Makanya dalam interaksi warga sendiri itu juga ada hubungan yang sangat kompleks. Ketika mereka berhadapan dengan kebijakan pemerintah mereka sudah kalah, terutama dalam basis produksi dan mendefinisikan fungsi ruang itu.
Apakah permasalahan ruang bisa kita asumsikan dipengaruhi peran besar pemerintah, Mas?
Iya.
Lalu, menurut Anda bagaimana masalah ruang di Yogyakarta dalam kaitannya dengan politik agraria?
Kalau kita bicara soal politik ruang, kompleks banget. Pertama, dari segi kebijakan, kelembagaan, maupun dinas dan pengaturan itu sangat tumpang tindih. Pendefinisian ruang bermasalah dan bisa diubah seenaknya. Apalagi dengan adanya regulasi-regulasi, seperti UU Keistimewaan Yogyakarta, dengan statusnya Sultan Ground dan segala macam itu, ya. Tumpang tindih itu yang menjelaskan ketika ada masalah soal basis penghidupan, penggusuran, atau fungsi ruang yang tidak sesuai itu sering kali adanya gontok-gontokan antara dinas ataupun pemangku kepentingan yang lain. Ini sebenarnya tanggung jawab siapa, sih?
Kedua, menariknya Yogyakarta itu masih punya lahan pertanian berkelanjutan, atau “sawah abadi”. Mereka mengalokasikan jumlah lahan tertentu untuk kebutuhan pangan di kota, tapi aku kurang tahu apakah itu memenuhi atau tidak. Yang jelas, kebijakan lahan pertanian berkelanjutan seperti itu di seluruh wilayah Yogyakarta justru tidak akan berhasil karena kita nggak bisa mematikan mekanisme pasar tanpa adanya proteksi dari pemerintah. Nggak ada perlindungan-perlindungan yang lain terhadap konversi atau rekonsentrasi penguasaan tanah.
Dalam melihat relasi agraria itu harus dibedakan antara kepemilikan dengan penguasaan. Kepemilikan itu mereka bisa menggunakan sumber daya yang secara sah mereka pegang dan ada bukti fisik yang mendukungnya; sedangkan ke-penguasaan itu bukan cuma soal kepemilikan, tapi di dalamnya juga ada hak kelola lain. Misalnya, petani penggarap, sewa, itu masuk ke dalam penguasaan. Termasuk orang dapat melakukan spekulasi lahan untuk mengembangkan real estate. Penguasaan yang timpang itu juga yang merubah fungsi ruang yang tidak sesuai. Dalam konteks reclaim Sultan Ground, warganya digusur, sering kali kita nggak bisa melihat ruang atau basis penghidupan masyarakat dari segi legal formal karena bisa dipakai untuk memuluskan kepentingan tertentu. Apalagi ketika kemudian masyarakat atau dalam hal ini warga negara, nggak punya kendali kebijakan untuk memengaruhi pengambilan keputusan atau mengambil hal-hal dasar menyangkut tata ruang.
Adanya politik ruang ini berdampak kepada masyarakat, salah satunya masyarakat terpaksa berpindah pekerjaan ke ruang informal. Apa pendapat Anda atas dampak yang didapatkan masyarakat ini?
Sektor informal itu apa ya, dia bisa menampung limpahan pekerja yang terlempar dari sektor pertanian atau sektor primer yang mulai menyusut. Untuk dibilang cukup menghidupi belum tentu. Jadi selama ini yang diromantisasi dalam konteks daerah maupun nasional, “Oh, kontribusi serapan tenaga kerja dari UMKM kita, misalnya 98%. Wah, UMKM kita bisa menghidupi masyarakat Indonesia.” Tapi, tidak dibicarakan di situ kondisi kerjanya gimana, pemenuhan hak-haknya gimana, bisa nggak orang yang kerja di sektor informal mendapatkan hunian layak di Yogyakarta.
Kemudian, sektor pertanian juga kan sektor informal, seperti buruh tani karena tidak mendapat perlindungan dari negara. Sebenarnya definisi formal-informal dalam konteks keberpenghidupan itu sangat-sangat cair. Ketika ada marjinalisasi dalam sektor pertanian, sektor informal menjadi satu-satunya cara buat warga bertahan hidup. Jadi, ekonomi skala kecil itu sebenarnya usaha subsistensi. Orang bisnis bukan untuk mendapat untung yang lebih atau mengembangkan usaha, tapi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, terutama makan. Untuk pemenuhan kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan, itu belum bisa tercakup.
Nah, menurut Anda sendiri pemerintah berarti kurang memberikan perhatian akan permasalahan-permasalahan terkait tata ruang dan membuat masyarakat jadi takut bersuara??
Ya jadi gini, voiceless itu tidak hanya terjadi dalam konteks warga dengan pemerintah aja, tapi antara sesama warga juga. Pertama, sederhananya, orang mau berkeluh kesah di ruang publik dalam konteks kehidupan sehari-hari warganya juga takut. Misalnya mereka untuk menceritakan, “Wah, sekarang pupuk mahal, nyari pupuk susah,” atau “Sekarang nyari hunian kok susah,” itu kan juga mereka takut di-bully sama sesama warga. Kedua, masyarakat juga saling bersaing, mereka menyebabkan konversi juga. Orang bangun rumah di lahan yang tadinya lahan pertanian, kan bikin saluran irigasi ditutup sama orang yang menyebabkan konversi. Buat penyelesaian itu kan juga nggak mudah. Ketiga, dalam konteks masyarakat Jawa apalagi di Jogja, orang cerita soal masalah penghidupan itu dianggap aib. Mereka malu dirinya dicap miskin. Itu juga yang bikin mereka nggak mau menceritakan kondisi sebenarnya. Pun ketika mereka misalnya disurvei, ‘kan ngasih tahu kasih tahu informasi soal pendapatan, kepemilikan rumah, luas, dll., nggak bakal jujur.
Di sisi lain, strategi bertahan hidup warga sudah susah, mereka takut memberikan informasi yang jujur karena nanti objek pajaknya naik. Nah, warga juga antipati gara-gara kesannya selama ini mereka ditarikin duit, dimintain a–z, tapi nggak ada pelayanan juga yang balik ke mereka. Itu yang menyebabkan mereka voiceless dalam konteks antipati ya.
Kalau dari konteks pemerintah mah jelas. Forum-forum kayak Musrenbang [Musyawarah Perencanaan Pembangunan-red], baik itu di desa, pemerintah daerah, ataupun di konteks Musrenbang yang sifatnya nasional itu cuma formalitas aja, sebenarnya sosialisasi. “Nih, pemerintah udah punya program, lu mau setuju terserah, lu mau nggak setuju terserah, pokoknya programnya kayak gini.” Apalagi kalau kemudian janji-janji programnya itu dari gubernur, yang diwujudkan dalam RPJMD [Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah-red]. DPRD pun nggak bisa mencampuri, makanya kalau teman-teman lihat indeks demokrasi Yogyakarta di BPS, partisipasi kebijakan masyarakat itu kecil banget dari tahun ke tahun menurun.
Dan menarik kalau dimasukin data partisipasi kebijakan di Yogyakarta kecil, bisa dicek ketika UU Keistimewaan itu diterapkan sekarang. Itu bisa mengevaluasi UU Keistimewaan, sebenarnya bermanfaat nggak sih buat basis penghidupan rakyat? Jangan-jangan nih nggak. Partisipasi kebijakannya gimana sih dari indeks demokrasi? Gimana sih dari segi kebebasan berserikat berkumpul itu kan juga ada di indeks demokrasinya BPS. Gimana sih dalam konteks kebebasan berorganisasi, kebebasan berkeyakinan? Itu kan juga bisa menjelaskan konteks voiceless juga. Dan yang selalu aku tulis juga soal Jogja, dalam setiap kebijakan itu menambah voiceless masyarakat juga tuh, peran dari teknokrat-teknokrat atau guru pendidikan yang condong ke penguasa, korporasi, buat melegitimasi mega proyek. Itu semakin bikin voiceless.
Jadi menurut Anda, apa saja usaha-usaha dari pemerintah yang bisa dilakukan untuk menangani problem tersebut?
Sebenarnya, salah satu usaha yang bagus dari pemerintah menurut aku adalah upaya membuat usaha kecil itu bisa naik kelas karena pariwisata itu kan punya kerentanannya. Sektor pariwisata selama ini menjadi jalan bagi pengusahanya untuk mewajarkan upah murah, dengan alasan pendapatan pengusahanya didasarkan pada fluktuasi kunjungan wisatawan. Kemudian, usaha yang udah bagus itu berusaha menaikkan usaha kecil supaya secara bertahap jadi industri sedang.
Menariknya ketika pandemi, bahkan beberapa industri kecil di Jogja itu bisa ekspor, loh. Nah, upaya pemerintah daerah untuk mendukung itu, aku sih setuju. Dengan adanya industri, penghidupan bisa lebih layak dibandingkan bergantung pada sektor pariwisata yang fragile ataupun sektor informal yang nggak bisa mencapai UMR. Itu yang paling realistis untuk kondisi dari segi ekonominya. Tapi, yang susah itu dari segi lingkungannya. Semua itu harus dimulai dari reforma agraria karena reforma agraria nggak cuma soal bagi bagi akses tanah, tapi juga soal menempatkan fungsi ruang pada tempatnya. Jadi, kuncinya warga harus terlibat di dalam kebijakan.
Penulis: Achmad Zainuddin dan Nasywa Aulia Syah Raudhatul Jannah
Penyunting: Ester Veny
Illustrator: Natasya Mutia Dewi