Anak berhadapan dengan hukum (ABH) masih menjadi fenomena yang umum ditemui di Indonesia. Anak-anak ini dibawa ke peradilan lantas diadili secara tidak adil. Mereka dipaksa menerima nasibnya dijerat tuduhan atas jahatnya dunia yang telah membesarkannya
Juna (bukan nama sebenarnya) sibuk mengamati ponsel genggamnya. Sembari menggulir beranda TikTok-nya, ia hisap rokok tersebut kuat-kuat. “Emang ini yang kutunggu, mas. Bisa kembali bebas di tanah airku,” terang Juna. Hampir dua tahun Juna mendekam di penjara khusus anak atau Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) sebab kasus pidana yang memberatkannya. Kisahnya bermula kala ia masih berusia 15 tahun ketika ia dan seorang temannya melancarkan pencurian. Nasib buruk langsung menimpa mereka. Bukan hanya tertangkap dan diadili, mereka juga tidak lolos diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana yang diproses di luar peradilan.
“Sebenarnya aku ngga mungkin mencuri kalau ngga karena terpaksa, mas.” ungkap Juna. Memang betul bahwa Juna tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Hidup di daerah rentan di ujung Selatan Provinsi Yogyakarta membuat Juna kesulitan mendapatkan akses bagi pemenuhan haknya sebagai anak. Baginya, tidak mendapatkan kekerasan di rumah saja sudah merupakan sebuah kemewahan. Juna tak pernah bermimpi untuk bisa berpendidikan tinggi apalagi menikmati masa rekreasinya sebagai seorang anak. Berada di rumah atau di penjara hampir tiada bedanya. Pengabaian hak anak selalu menyelimuti bagi kebanyakan anak seperti Juna.
Sepotong kisah Juna menjadi gambaran dari kebanyakan kasus anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) di Indonesia. ABH sendiri menghadapi mekanisme peradilan yang berbeda dengan orang dewasa. Tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh ABH telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang dipublikasikan oleh Kompas.id menunjukkan bahwa tiga tahun belakangan, kasus pelanggaran hukum oleh anak meningkat secara signifikan dari mulai 2020 sekitar 1.700-an kasus hingga menyentuh 2.000-an kasus pada pertengahan 2023. Baru-baru ini, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Dhahana Putra, menyebut peningkatan kasus ABH mengindikasikan perlu dilakukannya pembaruan terhadap sistem peradilan pidana anak yang diatur melalui UU SPPA. Dhahana menyatakan penanganan kasus pidana anak harus dipertanyakan ulang proses penanganannya karena terus-menerus menghasilkan residivisme atau berulangnya perilaku kriminal seseorang.
UU SPPA sendiri mengatur hampir seluruh aspek penanganan permasalahan ABH. Subjek ABH dibagi dengan rinci menjadi (1) anak yang menjadi korban, (2) anak yang menjadi saksi, dan (3) anak yang menjadi pelaku. Dalam UU SPPA dijelaskan bahwa penanganan permasalahan anak harus dibasiskan pada keadilan restoratif yang dijalankan lewat mekanisme diversi. Pendekatan keadilan restoratif digunakan untuk mengganti paradigma keadilan retributif alias penghukuman pelanggar hukum dengan paradigma “pembalasan” yang sebelumnya menjadi pakem penegakan hukum di Indonesia. Misalnya, seorang pelanggar hukum yang menyebabkan kerugian sejumlah A harus membayar pelanggarannya yang setimpal dengan A pula.
Di sisi lain, keadilan restoratif menawarkan pandangan berbeda yang bertujuan secara positif mendukung anak kembali terintegrasi dengan masyarakat. Pendekatan keadilan restoratif ini tidak berpakem pada pembalasan, tetapi juga berangkat dari paradigma bahwa pelanggaran hukum juga merupakan bagian dari reproduksi sosial sehingga diharuskan adanya pelibatan antara pelaku, korban, dan komunitas masyarakat yang ada di sekitarnya. Penerapan keadilan restoratif mengharuskan terjadinya proses dialog yang memadai antara terduga pelanggar hukum dengan terduga korban seperti yang saat ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Di Indonesia sendiri penegakan keadilan restoratif bisa dilakukan dengan pelaksanaan diversi yang bisa diturunkan menjadi hukuman pelayanan sosial, restitusi, dan bentuk lain yang berbasis disiplin positif (Djajadisastra 2020). Lantas, sejauh mana kiprah penerapan keadilan restoratif di Indonesia?
Gulir Sejarah Keadilan Restoratif di Indonesia
Penting bagi kita untuk mengurai kembali sejarah penegakan keadilan restoratif pada anak. Semua bermula lebih dari satu abad yang lalu ketika seorang reformis asal Inggris bernama Eglantyne Jebb menginisiasi sebuah gerakan perlindungan terhadap anak. Langkah advokasi Jebb diawali dengan pendirian Save the Children pada 1919, sebuah organisasi kemanusiaan yang berfokus pada perlindungan dan pemenuhan hak anak-anak pasca-Perang Dunia I. Kemudian, pada 1924, Jebb mempresentasikan idenya tentang hak anak dalam konvensi Liga Bangsa-Bangsa di Jenewa. Di sana, ia memperkenalkan Declaration of the Rights of the Child (Deklarasi Hak-Hak Anak) yang menjadi salah satu pedoman awal perlindungan anak hampir di seluruh dunia (Save The Children, t.t.).
Indonesia sendiri mulai memperhatikan hak anak dalam sistem peradilan melalui Surat Edaran Jaksa Agung No. P 1/20 yang menyatakan bahwa membawa anak ke pengadilan harus menjadi pilihan terakhir pada 1951. Gebrakan ini diperkuat dengan kemunculan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 1959 yang menekankan bahwa pemeriksaan anak harus dilakukan tertutup untuk melindungi kepentingan mereka. Dorongan internasional, terutama Resolusi PBB 40/33 pada 1985 atau dikenal juga dengan The Beijing Rules yang menerangkan bahwa ABH wajib memperoleh perlindungan hukum dan bantuan khusus untuk perkembangan fisik, mental, dan sosial selama proses hukum, turut menekan Indonesia untuk lebih memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak (Fernando 2020).
Dorongan internasional ini kemudian diikuti dengan kemunculan SEMA No. 6 Tahun 1987 yang menekankan perhatian pada kondisi psikologis anak dalam persidangan. Dua tahun kemudian, pada 1989, PBB mengesahkan Konvensi Hak Anak yang secara khusus mengatur perlindungan bagi ABH. Setelah Konvensi Hak Anak disahkan pada 1989 dan diratifikasi Indonesia pada 1990, Presiden RI mengajukan RUU Peradilan Anak pada 1995. Upaya ini menghasilkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.
Namun, pelaksanaan perlindungan anak masihlah lemah. UNICEF pada 2002 mencatat ada sekitar 4.000 kasus anak berkonflik hukum, 90% dijatuhi hukuman penjara, 88% di antaranya hukuman sekitar satu tahun, 73% kasus melibatkan tindak pidana ringan, dan 42% anak berbagi sel dengan tahanan dewasa. Berlanjut pada masa kini, Pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk melakukan pembaruan peraturan sistem peradilan anak dengan menerbitkan produk hukum baru yang menekankan proses keadilan restoratif. Lewat UU SPPA, Pemerintah Indonesia mengeklaim bahwa kepentingan terbaik bagi anak sudah terwadahi (Fernando 2020).
Reproduksi Kekerasan Masih Dilanggengkan
Lubang permasalahan dan pergumulan yang terjadi dalam penanganan ABH memang suatu hal yang kompleks. Pendekatan keadilan restoratif yang digunakan dalam penanganan kasus ABH harus ditujukan agar tercipta pendekatan hukum yang bersifat konstruktif dan kreatif. Selain itu, proses penanganannya juga ditentukan secara mandiri dengan adanya dukungan serta membuka kesempatan penanganan kasus untuk partisipasi kelompok alias menjadi masalah bersama. Terkhusus bagi anak, penerapan keadilan restoratif ini ditujukan untuk melepaskan anak dari jerat stigma (Zehr 2015). Namun fakta lapangan berkata sebaliknya.
Laporan “Pelaksanaan Sistem Peradilan Anak” pada 2020 oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat ada 29.228 ABH yang ditangani kepolisian pada periode 2017–2020, tetapi hanya 14,1% atau sekitar 4.126 kasus yang diselesaikan melalui pendekatan diversi. Data pada 2023 juga menunjukkan bahwa mayoritas ABH dijatuhi hukuman lebih dari satu tahun penjara, yaitu sebanyak 1.089 anak atau 72,3% dari total narapidana anak. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan diversi atau keadilan restoratif belum serius diterapkan. Minimnya penerapan diversi mengisyaratkan banyak anak menghabiskan waktu lama dalam proses hukum dan tidak terpenuhi haknya untuk berpendidikan, rekreasi, dan lain sebagainya (Sibuea 2023).
Masyarakat secara umum dan aparat penegak hukum kerap kali menstigmatisasi anak dengan menyatakan bahwa permasalahan penanganan ABH terletak pada sistem hukum yang belum mampu memfasilitasi pembinaan anak dengan ketat alias hukumannya kurang berat sehingga ABH berpotensi mengulangi perbuatannya. Narasi liar dan perspektif hukum yang tidak berpihak pada kepentingan anak juga cenderung menghakimi anak sebagai pendosa (Inderasi 2022). Bahkan, dalam sebuah kasus yang terjadi akhir-akhir ini, seorang jaksa dengan sadar pernah mengeluarkan tuntutan hukuman mati bagi ABH walaupun putusan hakim menyatakan ABH hanya mendapatkan putusan sepuluh tahun pembinaan dan satu tahun pelatihan kerja.
Peningkatan kasus ABH di Indonesia sebenarnya tidak terjadi sekejap mata. Peningkatan ini berangkat dari kekerasan yang terus menerus terjadi dalam proses keseharian. Kekerasan yang berangkat dari rumah, pertemanan, hingga aparat penegak hukum. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak per 1 Januari 2024 menunjukkan bahwa kekerasan yang paling sering terjadi adalah kekerasan seksual diikuti dengan fisik lalu psikis. Korban yang paling banyak berdasarkan kelompok usia adalah korban anak dengan jumlah 15000-an kasus dari total 20000-an kasus yang ada. Sebanyak 2000-an kasus kekerasan ini dilakukan oleh orang tua diikuti dengan 4000-an kasus dilakukan oleh pacar atau teman, 3000-an kasus dilakukan oleh suami atau istri, sekitar seribu kasus dilakukan oleh tetangga, dan seribuan kasus dari keluarga atau saudara serta sisanya berasal dari pihak lainnya. Hal ini yang mengindikasikan bahwa sebenarnya kekerasan yang dilakukan oleh seorang anak tidak semata-mata lahir dari niat buruk ataupun dosa asali yang ia miliki, melainkan diwariskan melalui lingkungan sosial yang tidak mendukung tumbuh kembang anak. Anak betul-betul diperhadapkan pada kekerasan sepanjang kehidupannya (Abhishek dan Balamurugan 2024).
Keadilan Restoratif yang Opresif
Berlanjut pada konteks penanganan hukum, seorang ABH juga terus dihadapkan pada kekerasan. Hampir 50% ABH ditangkap tanpa surat perintah, termasuk saat beberapa anak sedang tidur di rumah. Meskipun tidak ada bukti yang cukup, anak-anak sering ditahan setelah polisi menggunakan kekerasan untuk memaksa mereka mengaku. Anak-anak melaporkan perlakuan tidak manusiawi dari polisi, termasuk dipukuli, diancam dengan pistol, tidak diberi makanan, dipaksa telanjang, dicukur habis rambutnya, dan dipaksa berjalan dengan posisi jongkok di tempat umum. Bahkan, dalam kasus yang masih buram sekalipun ketika sekelompok anak diboyong ke kantor polisi dan dituduh melakukan kekerasan; anak tidak diberikan kesempatan untuk membela dirinya (Robson dan Davies 2016). Sebaliknya, anak justru dipaksa untuk mengakui kasus yang tidak ia lakukan dan tidak diberikan pendampingan hukum yang mumpuni apalagi dipenuhi hak-haknya seperti yang pernah terjadi pada 2022 di Yogyakarta.
Kekerasan oleh aparat penegak hukum bisa terjadi atas beberapa faktor, seperti (1) kurangnya pengetahuan petugas penegak hukum tentang hukum yang relevan; (2) pelatihan yang tidak memadai bagi seluruh anggota sistem peradilan anak; (3) sistem pengumpulan data yang tidak terintegrasi; (4) ketiadaan ruang khusus untuk interogasi; (5) kesalahan prosedur dalam penangkapan, penahanan, persidangan, dan pemenjaraan; (6) tidak diterapkannya hak untuk diam; (7) tidak diterapkannya hak untuk menghadapi dan memeriksa silang saksi; (8) kurangnya bantuan hukum; serta (9) kurangnya langkah-langkah untuk reintegrasi sosial (Robson dan Davies 2016).
Pasca-putusan pengadilan pun, ABH juga kerap tak terpenuhi haknya. Ketika ABH sudah ditempatkan ke dalam lembaga rehabilitasi sekalipun hak anak untuk berpendidikan pun belum terpenuhi. Sebanyak 31% populasi anak yang ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak tidak mendapatkan akses atas pendidikan. Hambatan untuk berpendidikan ini muncul dari berbagai faktor, seperti (1) kendala administrasi dari sekolah ABH, (2) minimnya penyediaan akses atas pendidikan oleh LPKA, dan (3) sulitnya mencari pendidikan yang terjangkau bagi anak (Prayitno, dkk. 2023).
Tindak tanduk kekerasan yang dilakukan anak merupakan rangkaian panjang reproduksi kekerasan yang dilanggengkan orang dewasa. Dalam konteks ABH, UU SPPA sebenarnya melibatkan masyarakat untuk turut berkontribusi dalam proses rehabilitasi. Namun, sampai saat ini belum ada perangkat masyarakat yang benar-benar ditujukan untuk memenuhi kepentingan terbaik bagi anak. Penyelesaian permasalahan di Indonesia kerap kali hanya diselesaikan satu per satu kasus, alih-alih menyelesaikan permasalahan strukturalnya. Pelabelan anak dengan stigma dan proses peliyanan anak dalam lingkungannya menjadi masalah yang pelik dan tak kunjung diselesaikan secara struktural di Indonesia (Hidayat 2024; Uglow, dkk. 2001).
Penulis: Vigo Joshua
Penyunting: Nafiis Anshaari
Ilustrator: Natasya Mutia Dewi
Daftar Pustaka
Abhishek, R, dan J Balamurugan. 2024. “Impact of Social Factors Responsible for Juvenile Delinquency – A Literature Review.” Journal of Education and Health Promotion 13 (1). https://doi.org/10.4103/jehp.jehp_786_23.
“Aku Bukan Pelakunya, Bu!” 2023. Balairungpress (blog). 1 April 2023. https://www.balairungpress.com/2023/04/aku-bukan-pelakunya-bu/.
antaranews.com. 2024. “Dirjen HAM: Revisi UU SPPA perlu untuk perjelas aturan bagi ABH.” Antara News. 15 September 2024. https://www.antaranews.com/berita/4334663/dirjen-ham-revisi-uu-sppa-perlu-untuk-perjelas-aturan-bagi-abh.
“Buram Keadilan Ihwal Kekerasan.” 2023. Balairungpress (blog). 5 April 2023. https://www.balairungpress.com/2023/04/buram-keadilan-ihwal-kekerasan/.
Davies, Sharyn Graham, dan Jazz Robson. 2016. “Juvenile (In)justice: Children in Conflict with the Law in Indonesia.” Asia-Pacific Journal on Human Rights and the Law 17 (1): 119–47. https://doi.org/10.1163/15718158-01701009.
Djajadisastra, Dadan M. 2020. “Understanding of Diversion as Regulated in Article 7 of the SPPA Law.” Nurani Hukum 3:15.
Fernando, Yory. 2020. “Sejarah Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia.” JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) 4 (4). https://doi.org/10.58258/jisip.v4i4.1398.
Hidayat, Alip Asya. 2024. “Perlindungan dan Penegakan Hukum Terhadap Anak Selaku Pelaku Tindak Pidana dalam Hukum Positif di Indonesia.” Verdict: Journal of Law Science 2 (1): 12–24.
Inderasari, Oryza Pneumatica, Nuning Juniarsih, Solikatun Solikatun, dan Nila Kusuma. 2022. “Realitas Sosial Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dalam Institusi Total di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Mataram.” RESIPROKAL: Jurnal Riset Sosiologi Progresif Aktual 4 (1): 40–64.
“JDIH Mahkamah Agung RI.” t.t. Diakses 17 November 2024. https://jdih.mahkamahagung.go.id/legal-product/sema-nomor-03-tahun-1959/detail.
Juna. 2024. Wawancara dengan Juna.
Krisdamarjati, Yohanes Advent. 2023. “Meningkatnya Kasus Anak Berkonflik Hukum, Alarm bagi Masyarakat dan Negara.” kompas.id. 28 Agustus 2023. https://www.kompas.id/baca/riset/2023/08/28/meningkatnya-kasus-anak-berkonflik-hukum-alarm-bagi-masyarakat-dan-negara.
Prayitno, Kuat Puji, Dwiki Oktobrian, dan Jaco Barkhuizen. 2023. “Addressing Prison Education and the Obstacles in Ensuring the Right to Education in Indonesian Juvenile Correctional Facilities.” Journal of Southeast Asian Human Rights 7 (2): 123. https://doi.org/10.19184/jseahr.v7i2.42656.
Putri, Vesa. 2024. “Menakar Tuntutan Pidana Mati pada Anak.” Kompas.id (blog). Oktober 2024. https://www.kompas.id/baca/opini/2024/10/23/menakar-tuntutan-pidana-mati-pada-anak.
Save The Children. 2024. “Eglantyne Jebb.” Save the Children. 24 April 2024. https://www.savethechildren.org/us/about-us/why-save-the-children/eglantyne-jebb.
Sibuea, Harris Y P. 2023. “UPAYA MEMPERKUAT PERLINDUNGAN HAK ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM.”
“SIMFONI-PPA.” t.t. Diakses 15 November 2024. https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan.
Uglow, Steve, David Miers, Shelagh Goldie, Karen Sharpe, Chris Hale, Ann Netten, Katherine Doolin, Angela Hallam, Jill Enterkin, dan Tim Newburn. 2001. An exploratory evaluation of restorative justice schemes. The Home Office.
“UU No. 3 Tahun 1997.” t.t. Database Peraturan | JDIH BPK. Diakses 17 November 2024. http://peraturan.bpk.go.id/Details/45923/uu-no-3-tahun-1997.
“UU No. 11 Tahun 2012.” t.t. Database Peraturan | JDIH BPK. Diakses 17 November 2024. http://peraturan.bpk.go.id/Details/39061/uu-no-11-tahun-2012.
“UU No. 35 Tahun 2014.” t.t. Database Peraturan | JDIH BPK. Diakses 13 November 2024. http://peraturan.bpk.go.id/Details/38723/uu-no-35-tahun-2014.
Zehr, Howard. 2015. The little book of restorative justice: Revised and updated. Simon and Schuster.