Pada Rabu (23-10), Deliberaksi bersama Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan diskusi bertajuk “Lungguh Bareng: Pendidikan Setara, Jogja Sejahtera”. Diskusi ini dihadiri oleh Faisal Marwah Yusuf sebagai moderator, Sari selaku mantan kepala sekolah SMPN 7 Yogyakarta, Sesil selaku guru di SMPN 16 Yogyakarta, dan Mala selaku guru pendamping murid difabel di SMPN 16 Yogyakarta. Diskusi yang diselenggarakan di Taman Sansiro, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM ini membahas mengenai pendidikan inklusif.
Mengawali pembahasan pendidikan inklusif, Sari membawakan kebijakan zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Ia menyebutkan bahwa kebijakan tersebut membuka kuota sebanyak 15 persen bagi anak berkebutuhan khusus melalui jalur afirmasi difabel. “PPDB Zonasi sebenarnya adalah kebijakan yang memiliki tujuan baik untuk memberikan akses kepada kelompok-kelompok rentan,” ungkap Sari.
Akan tetapi, Sari juga menuturkan adanya permasalahan mengenai kesiapan sekolah terhadap kebijakan tersebut. Ia berpendapat bahwa guru dan lingkungan sosial belum terbiasa dengan keberagaman akademik di dalam kelas. “Gurunya sudah dilatih apa belum? Lingkungan sosialnya sudah disiapkan apa belum? Jangan-jangan masih ada bully,” ujarnya.
Senada dengan Sari, Sesil pun menyoroti kekacauan yang terjadi pada penerapan jalur penerimaan afirmasi difabel di sekolah-sekolah dengan program inklusi. Ia menjelaskan bahwa guru-guru yang mengajar di sekolah inklusi tidak dibekali dengan fasilitas dan ilmu yang memadai untuk mengajar siswa-siswa berkebutuhan khusus. “Kota Yogyakarta membuat kesempatan untuk peserta didik berkebutuhan khusus itu masuk ke sekolah negeri, tetapi faktanya adalah bapak dan ibu guru tidak dibekali dengan ilmu,” keluh Sesil.
Lebih lanjut, Mala menyampaikan bahwa Unit Layanan Disabilitas (ULD) terkesan memaksakan anak-anak yang berkebutuhan khusus agar bisa masuk ke sekolah inklusi. Padahal, ia menyebutkan bahwa jika dilihat hasil tes psikologisnya, siswa tersebut direkomendasikan untuk masuk ke Sekolah Luar Biasa (SLB). “Jadi, ULD itu masih memaksakan bahwa anak-anak yang bisa masuk ke sekolah inklusi itu minimal IQ-nya adalah 50, sedangkan yang kami temui, anak-anak yang IQ-nya rata-rata 50 ke bawah belum dapat memahami konsep dasar huruf dan angka,” ungkap Mala.
Selain mengeluhkan kebijakan tersebut, Mala juga merasa bahwa kurikulum yang diterapkan pada siswa-siswa berkebutuhan khusus tidak cocok bagi mereka. Ia melihat para siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi kesulitan dalam mengikuti pembelajaran. “Mereka dipaksa, yang tidak bisa membaca harus membaca dan tidak ada penyederhanaan materi ataupun tujuan pembelajaran yang berbeda,” tutur Mala.
Terkait masalah ini, Faisal menyoroti adanya ketidaksinkronan dalam birokrasi pusat dengan praktik lapangan tingkat daerah di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa pemerintah pusat seakan menutup mata dalam melihat kerumitan birokrasi di level bawah. “Ini menunjukkan ada kesenjangan juga tentang bagaimana pemerintah dan pekerja lapangan melaksanakan tugas mereka,” pungkasnya.
Penulis: Muhamad Muflihun, Nisa Ayu Taqwalin, Rifky Wildhani (Magang)
Editor: Reyhan Maulana Adityawan
Fotografer: Hadrian Galang Widyadhana (Magang)