JEJAK TAN
: Tan Malaka
apa yang kau buru sepanjang jalan cadas ini,
tan?
roda-roda kemiskinan berganti kulit,
berubah jadi menara baja,
tinggi menusuk langit,
serupa ular haus petir
pintu-pintu kebodohan terkunci rapat,
melahirkan manusia besi,
nyawanya terjebak listrik,
membelit kabel sunyi
kayu dan bajak sudah pulas,
merayakan mimpi panjang bermusim-musim,
mengubur hijau sawah dalam hamparan beton,
berasap dan tabah tergilas matahari,
waktu melilit mesin,
tak pernah tidur, tak kenal henti
mata sudah lama buta,
penat meneteskan air asin,
enggan berbagi lukisan,
egois memiliki warna sendiri,
hitam
tan,
walau jerit kesakitan sampai ke liangmu,
walau arwah busuk memanggilmu,
walau debu-debu palsu memelukmu,
jangan bangkit,
teruslah berbaring,
ingatlah buai rahim bumi,
yang melahirkanmu,
tatkala bukit masih berbaris sempurna,
tunggulah tunas masa depan,
bunga-bunga akan menyembul melampaui ilalang,
angin dan cahaya tak membiarkan,
mimpi-mimpi mati diberangus pengecut
Semarang, 1 Oktober 2024
DOA YANG TAK PANTAS
: Tan Ek Tjoan
di sini, tak ada tulip mekar, tak ada kincir air,
hanya ada bukit, gunung, dan rimba perawan,
berbisik-bisik dengan bahasa ganjil
di eropa jauh, suara mortir bernyanyi lantang,
seperti sangkakala dibunyikan lucifer,
mengiris-iris tulang setipis benang
kunikmati setangkup roti tawar semir mentega dan gula pasir,
kuseruput secangkir teh hitam priangan,
memandangi pekerja kebun lalu-lalang,
membungkuk memanggul pacul,
sungguh, kuk yang kau pasang tidak ringan,
dan aku tersenyum pada eden,
bumi asing yang menyusuiku siang malam
seharusnya kudoakan martir tanah lahir kekasih tuhan,
tapi aku tak pantas berbincang dengan tuhan,
sebelum pribumi mengutukku jadi anjing buduk,
biarkan kunikmati lagi roti dan teh ini,
hingga aku gila dan lupa dosa sejarah
bapa kami yang ada di surga,
jadilah sesuai kehendak-Mu,
namun di bawah matahari hindia,
jadilah segala kehendakku,
atas kepala orang-orang pribumi
Semarang, 15 September 2024
TAN DI MALAM PERAYAAN
: Tan Peng Liang
papa!
apa papa alpa,
di malam sincia ini,
ada pintu tua mendamba sapa,
meski tanpa ang pau merah menggigil di tangan
perayaan sederhana hanya ilusi bodoh,
di atas dipan rapuh,
mama menantimu,
walau dari dunia bawah tanah,
menggigit mawar cinta, kue keranjang tiga susun,
dan kue bulan biji teratai,
akankah hantu ca bau kan kalijodo itu,
hilang serupa asap dupa
sincia berlalu,
perayaan tahun baru tak berkilau,
mimpi musim semi berbalik arah,
peri bunga menutup kelopaknya,
dalam cinta yang tersayat keji,
hanya dewa akhirat yang tahu,
siapa terlebih dulu menjejak gerbang kekal itu,
papa,
ataukah mama?
Semarang, 18 Desember 2024
TAN DI RANTAU
: Tan Peng Nio
di dadamu pernah tumbuh hutan liar,
tempat rusa memadu kasih siang malam,
tempat burung pulang dari rantau tanpa sesat,
tempat hijau menghalang senja hingga hangus
di dadamu pernah mengalir ilmu beraroma teh hijau,
mendidih di dasar hati,
bergetar dalam napas para pencari kebenaran,
sehingga kuat meninju dunia,
seperti mesiu yang akan meledak
di dadamu pernah tumbuh pisau-pisau,
buas menggores kulit,
ganas mencacah daging,
garang memotong tulang,
menjadi debu tak berbau
di dadamu juga tumbuh rumah singgah,
tempat tinggal anak-anak patah sayap,
yang tercabik karena gagal terbang,
kalah bertarung,
agar bangkit menghadap mentari
akhirnya kita jumpa,
di bawah langit tanpa suara mandolin dan awan jambon serupa peoni,
aku menemui diammu
cici,
kau tidur di bumi asing,
waktu terus memburu bayang-bayang,
kau diam dalam pejam mata,
di tanah serupa ibu,
nisan tanpa sajak romantis,
dikelilingi ilalang, pohon pisang, dan perdu jawa,
serasa pulang ke tanah leluhur,
kota tembok sepuluh ribu li
yang memelukmu sambil meratap
Bekasi, 18 Desember 2023
SUARA TAN
: Tan Go Wat
menurut saya punya cerita,
dari tanah leluhur,
yang masyhur disebut tiongkok,
kita orang mata sipit, kulit kuning,
jago dagang, jago layar,
tiada takut mengadang ombak,
tiada jerih mengurai onak,
sampai tiba di tanah jawa,
bertemu pribumi yang sahaja
saya sematkan jin bun pada waktu,
sebuah mantra untuk bertahan hidup,
tangguh pada tubuh,
juga jiwa yang tak tergoyahkan
seperti brahma, wisnu, dan siwa,
manunggal dalam tiga murti yang luhur
seperti dharma dan sangga,
manunggal dalam harmoni tiga ratna budha yang agung
seperti dulur papat,
manunggal dalam satu pancer
seperti rasa, pikir, kata, laku yang tauhid,
manunggal menghadap kiblat barat
bulan basah,
hari kering,
saya memandang dunia yang hampir mati,
seperti secawan anggur yang terabaikan,
namun di tengah impitan batu dan lempung sawah,
tunas iman tumbuh mengelilingi,
sebentuk kubah wangi jadilah,
dilena waktu yang tak tidur
Semarang, 15 Oktober 2024
TAN DALAM LABIRIN
: Tan Tjeng Bok
pertunjukan usai,
layar jatuh,
musik merangkak pergi,
para pemain sandiwara lenyap dalam bayangan,
kursi penonton melompong,
dan kau, kau di sana,
berdiri di panggung kosong
tepuk tangan mati bersama siang,
apa yang kau hirup semasa hidup,
tak satu pun kau bawa menuju lahad,
engkau payah mengumpulkan jejak,
di hadapanmu hanya sebuah buku kosong,
kau kebingungan menulis lakon baru,
semua kata mencari pesta yang lebih meriah,
tak ada yang menunggumu,
dan kau, kau terlalu lambat,
terlalu abu,
terlalu gagu
Bekasi, 15 Desember 2023
Christya Dewi Eka
Lahir di Jakarta, berdomisili di Semarang, lulusan Fakultas Sastra
Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang tahun 2003. Beberapa karyanya dimuat dalam
puluhan antologi puisi, media cetak, dan media online, seperti Republika, Klasika Kompas,
Suara Merdeka, Radar Pekalongan, Ayo Bandung, Kurung Buka, dan lain-lain.