Pada Senin (28-10), pameran Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso membuka diskusi publik yang bertema “Kaum Muda: Seni dan Aktivisme” di Pendopo Ajiyasa, Jogja National Museum. Diskusi ini menghadirkan beberapa narasumber; yakni Rocky Gerung sebagai akademisi, Enin Supriyanto sebagai pengamat seni, dan Melati Suryodarmo sebagai penampil seni. Dolorosa sendiri menjelaskan bahwa diskusi kali ini menjadi bentuk untuk pembacaan situasi aktivisme hari ini, terutama pasca pelantikan pemerintahan yang baru.
Menurut Enin, sekelompok pelaku seni dengan metode, cara berpikir, dan praktik tertentu menjadi bentuk gerakan perlawanan lewat seni. Ia juga menjelaskan salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode kolektif. Agar metode ini dapat berlangsung dengan baik, Enin menyadari bahwa kesadaran publik mempengaruhi kerja kolektif seni yang menjadi bagian dari publik itu sendiri juga penting. “Kata aktivisme yang kita maksud adalah kedekatan dan relasi yang terbentuk antara seniman dengan persoalan-persoalan sosial politik di dalam masyarakat,” tutur Enin.
Enin turut menambahkan bahwa kolektif seni sebagai bagian masyarakat yang muncul dari berbagai kalangan menjadi pertanyaan bersama. Ia sendiri menilai adanya konteks keterbukaan setelah reformasi menjadi variabel utama yang mendorong terbentuknya kolektif seni. “Keterbukaan ini telah mendorong terbentuknya kolektif dan menciptakan kesadaran akan pentingnya kebebasan,” tegas Enin.
Lebih lanjut, Enin membagi pentingnya kebebasan ini ke dalam dua aspek. Pertama, untuk belajar dan bekerja bersama masyarakat. Kedua, medan seni yang digunakan untuk memperluas dan meminimalisir masalah sulitnya akses masyarakat terhadap seni dan budaya. “Kolektif sebagai sebuah metode di dalam seni budaya untuk memanfaatkan seni budaya sebagai strategi dalam menghadapi masalah lainnya,” tutur Enin. Di luar dari keramaian dan kesibukan kolektif seni, ia menyebutkan bahwa seni rupa masih dikelola dengan melibatkan sosial politik di dalam karyanya.
Melati sendiri memiliki pandangan mengenai peran seniman dalam memotori perubahan sosial. Baginya, aktivisme memiliki fungsi lain, bukan hanya bentuk perlawanan dari sekelompok orang tertentu saja. “Saya yakin sekali karena aktivisme itu bukan hanya perlawanan terhadap struktur kuasa,” ujarnya. Melati percaya bahwa aktivisme melahirkan perubahan dari bawah, yang muncul dari kebersamaan masyarakat atas realitas yang terjadi di sekitarnya.
Berbeda dengan Melati, menurut Rocky sendiri aktivisme lahir sebagai wujud dari penundaan reaksi dan pemanfaatan media seni. “Dasarnya aktivisme itu timbul karena kita menunda reaksi kita dan manfaatkan wacana kesenian, tetapi kita menunda bukan membatalkan ekspresi itu,” terangnya.
Rocky juga ikut menambahkan dengan penggunaan analogi manusia dengan patung. “Semua hal yang membuat kita tidak punya kemampuan untuk mengucapkan kegembiraan, tidak punya evaluasi melalui seni, artinya kita adalah patung,” jelasnya. Rocky lanjut menjelaskan bahwa ada perbedaan antara patung dengan manusia, patung dapat ditafsirkan, sedangkan manusia yang diam mematung diartikan berhenti dalam memberikan tafsiran.
Lebih jelas lagi, Rocky menerangkan jika persatuan dan kesepakatan didasari atas kemajemukan. Baginya, tanpa kemajemukan, kesepakatan dalam sebuah masyarakat tidak akan terwujud. Hal ini juga berlaku dalam aktivisme. “Jadi, buat apa ada konsep NKRI harga mati, itu justru mematikan keberagaman,” pungkasnya.
Penulis: Sharim Dezhneva Denalis, Najla Indah Dewanto, Zabrina Kumara Putri (Magang)
Penyunting: Ester Veny
Fotografer: Acintya Zahra Loveviarisci (Magang)