Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) menggelar diskusi publik bertajuk “Kenapa Sih Penting Punya Undang-Undang (UU) Anti Diskriminasi?” pada Jumat (18-10). Diskusi ini mengungkapkan pentingnya UU Anti Diskriminasi untuk mengatasi ketidakadilan kepada individu atau kelompok dengan keragaman Orientasi Seksual, Identitas Gender, Ekspresi Gender, dan Karakteristik Seksual (SOGIESC). Diskusi yang berlangsung melalui X Space itu menghadirkan tiga narasumber, yaitu Richa F. Sofyana dari Komunitas Arus Pelangi; Kim dari SINDIKASI Yogyakarta; dan Aisyah Assyifa, peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS).
“Diskriminasi terhadap kawan-kawan bener-bener multisektoral dan struktural,” ucap Richa membuka diskusi. Ia menuturkan bahwa diskriminasi terhadap kelompok dengan keragaman SOGIESC menghalangi mereka mendapatkan hak-hak dasar. Contohnya ketika seseorang dengan keragaman SOGIESC dituduh melanggar ketertiban umum hingga sulit mendapat tempat tinggal yang aman karena terjadi pengusiran oleh warga. Dalam persoalan kesehatan, Richa menceritakan mereka kerap diminta untuk mengecek status kesehatan karena dituduh mengidap penyakit menular seksual.
Richa menambahkan bahwa diskriminasi ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, tetapi juga melalui beberapa peraturan pemerintah meskipun tidak disebut secara eksplisit. “Ada 66 aturan diskriminatif, meliputi UU, peraturan pemerintah, dan surat edaran,” ungkapnya. Lebih lanjut terkait diskriminasi dalam bidang hukum, Richa mengungkapkan bahwa saat di dalam lapas seseorang dengan keragaman SOGIESC kerap mendapat kekerasan dari petugas.
Senada dengan Richa, Kim mengungkapkan bahwa dalam lingkup pekerjaan juga terdapat diskriminasi suku, agama, hingga perbedaan SOGIESC. Ia menganggap diskriminasi bermula pada tahap perekrutan sehingga banyak orang yang sebenarnya layak, tetapi justru tersingkir. “Saya banyak menemukan lowongan pekerjaan, misal posisi manajerial atau administratif, mereka punya syarat yang diskriminatif dan gak nyambung sama pekerjaan,” kata Kim.
Turut serta dalam diskusi, Aisyah mengatakan upaya pemerintah dalam melindungi kasus diskriminasi melalui UU Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (PDRE) belum cukup mengatasi diskriminasi dalam masyarakat. Berdasarkan kondisi tersebut, IJRS dan Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi menyusun naskah akademik terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Diskriminasi. “RUU Anti Diskriminasi nantinya memiliki pengertian diskriminasi yang lebih luas,” terang Aisyah.
Aisyah juga menyampaikan bahwa UU HAM dan UU PDRE masih memiliki kelemahan sehingga penanganan terhadap diskriminasi belum terlaksana secara efektif. Ia menuturkan kedua UU tersebut belum mengatur langkah pencegahan diskriminasi. Selain itu, aturan terkait pemulihan korban diskriminasi belum diatur dalam UU HAM, tetapi sudah disinggung dalam UU PDRE secara singkat. “RUU Anti Diskriminasi akan mengatur lembaga serta fungsinya dalam menangani diskriminasi,” kata Aisyah.
Lebih lanjut, Aisyah mengungkapkan RUU Anti Diskriminasi diharapkan dapat melindungi kelompok rentan dari segala bentuk diskriminasi. Ia menyebut RUU ini dirancang dengan cakupan perlindungan yang lebih luas. “Harapannya, UU itu bisa mencakup perlindungan bagi seluruh kelompok masyarakat,” jelas Aisyah. Tak hanya itu, menurutnya RUU ini masih membuka kesempatan perlindungan untuk kelompok yang belum tercantum dalam RUU sampai saat ini.
Dalam penerapan RUU Anti Diskriminasi, Aisyah mengatakan bahwa terdapat tantangan yang mungkin terjadi, yaitu memastikan kelembagaan yang berwenang diatur dalam RUU. Menurutnya, kemungkinan lembaga yang mengemban kewenangan RUU tersebut dapat diberikan kepada Komnas HAM atau lembaga baru. “Untuk membentuk lembaga baru akan menjadi tantangan tersendiri,” ucap Aisyah.
Diskusi ini ditutup dengan ajakan Richa untuk bersama-sama memahami urgensi penghapusan diskriminasi di Indonesia. Ia menegaskan bahwa dukungan kolektif sangat diperlukan untuk memastikan implementasi RUU berjalan sesuai harapan. “Mari kita bareng-bareng mengawal RUU ini agar dapat menjangkau semua identitas yang selama ini dipinggirkan oleh negara,” ungkapnya.
Penulis: Anggun Ravisti, Reza Faza, dan Shafi Rafi Syahrir (Magang)
Penyunting: Yasmin Nabiha Sahda
Ilustrator: Kayla Aubriana Callista (Magang)