Pria yang telah menjalani kehidupan lebih dari delapan dekade itu beberapa kali tampak dalam kerumunan massa aksi. Mulai dari sepanjang jalan Malioboro hingga Gedung Agung Yogyakarta. Kerutan di wajahnya tak lagi dapat disamarkan. “Nama saya Romo,” begitu katanya saat memperkenalkan diri.
Meski telah lanjut usia, Romo tak hanya diam. Ia beberapa kali mondar-mandir sembari menenteng tongkat dan sesekali mengambil gambar saat aksi bertajuk “Mimbar Demokrasi”, digelar pada Rabu (28-08). “Saya hanya ikut meramaikan aja, semua harus kita dukung,” kata Romo.
Mimbar Demokrasi yang dihadiri Romo ini bertempat di Gedung Agung Yogyakarta. Dan, merupakan bagian dari serangkaian aksi Jogja Memanggil. Ternyata, pasca-aksi pada Kamis lalu, Jogja Memanggil belum tuntas. Berbagai elemen masyarakat kembali melancarkan aksi selama tiga hari berturut-turut, mulai dari Selasa (27-08).
Sedikit berbeda dengan dua aksi sebelumnya, Reformati (bukan nama sebenarnya), salah satu seorang perangkat aksi, menjelaskan kemasan baru dalam aksi kali ini, yakni mengusung konsep mimbar bebas. “Jadi ini adalah gambaran dari demokrasi itu sendiri. Siapa pun dengan latar belakang apa pun, boleh menyampaikan pendapatnya dalam bentuk apa pun,” jelasnya.
Sekalipun dalam kemasan yang berbeda, Reformati tetap menegaskan bahwa tuntutan utama dari aksi ini masih sama, yakni mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengatur tentang ambang batas pencalonan kepala daerah dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang mengatur syarat usia minimal bagi calon kepala daerah.
Tak hanya isu elektoral, Jogja Memanggil juga mengakomodasi berbagai isu lainnya, seperti pendidikan gratis, represifitas aparat, Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PRT), dan relokasi pedagang kaki lima di Malioboro. “Untuk tuntutan-tuntutan lain ini adalah bentuk ekspresi dari teman-teman. Semuanya kecewa terhadap pemerintah dan aparat negara,” ujar Reformati sembari menerangkan.
Pengawalan putusan MK dan wacana penganulirannya melalui Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan hadirnya Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (RUU Pilkada), nyatanya tak hanya dipahami oleh massa aksi. Ramadan, seorang pedagang asongan di sekitaran Malioboro juga turut mengamininya. Pedagang yang baru enam bulan mengadu nasib di Yogyakarta ini mengaku sepakat dengan tuntutan yang dibawakan oleh massa aksi. Meski jauh dari kampung halamannya di Medan, ia mendaku bangga dengan adanya demonstrasi semacam ini. “Saya harap ini sampai tuntas, sampai benar-benar menang apa yang dituntut,” tuturnya.
Tak jauh dari tempat Ramadan berjualan, terlihat seorang mantan jurnalis Sinar Harapan dan aktivis gerakan 80-an yang turut hadir. Ia adalah Damairia Pakpahan. Perempuan peraih penghargaan S.K Trimurti pada 2023 itu mengaku datang seorang diri. Meski begitu, ia tak ragu menerangkan bahwa aksi yang dilancarkan beberapa hari ini bukanlah hal yang tiba-tiba. Bagi Damairia, tak hanya polemik RUU Pilkada 2024 saja yang membuatnya bergerak, tetapi juga kemarahan rakyat lantaran melencengnya rezim hari ini. “Itu akumulasi, kita merasa sebagai rakyat kita dimanipulasi dan dibodohi,” tukasnya.
Melencengnya sistem pemerintahan ini juga diperparah dengan brutalitas aparat terhadap gelombang aksi massa tolak RUU Pilkada di beberapa daerah. Damairia menyebutkan, alih-alih menekan massa dengan kekerasan, aparat kepolisian seharusnya dapat berdialog dengan masyarakat. “Represi itu nggak perlu, dia harusnya dialog,” ujarnya.
Massa Aksi dalam Bayang-Bayang Moncong Aparat
Siaran pers dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mencatat berbagai kekerasan yang dilakukan aparat keamanan kepada massa aksi. Di Bandung, 31 massa aksi tercatat menjadi korban kekerasan polisi. Di Jakarta terdapat 26 laporan mengenai represifitas polisi berupa kekerasan, doxing, dan penangkapan. Sementara di Semarang, tercatat setidaknya 18 massa aksi harus dilarikan ke rumah sakit akibat pemukulan dan penggunaan gas air mata oleh polisi.
Pemandangan cukup berbeda memang terjadi saat aksi Jogja Memanggil yang terlihat aman dan damai. Meskipun demikian, bukan berarti tak terjadi upaya-upaya pembungkaman. Kharisma Wardhatul Kurniah, anggota Divisi Internal Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, mengaku menerima beberapa laporan mengenai tindak kekerasan digital. Kekerasan ini berupa peretasan akun media sosial yang dialami oleh beberapa demonstran setelah aksi berlangsung. “Hotline kami juga mendapat ancaman untuk membubarkan aksi kemarin,” ujarnya menambahkan. Hingga saat ini, belum diketahui siapa oknum di balik pesan ancaman tersebut.
Menanggapi represifitas yang dilancarkan secara ugal-ugalan oleh aparat negara, Dian Fatmawati, dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada (UGM) dan staf Hubungan Eksternal Serikat Pekerja Fisipol (SPF) dengan tegas mengutuki segala tindak represi aparat. “SPF mengutuk semua tindakan yang mengkhianati prinsip demokrasi,” ujarnya.
Ia juga menyebutkan bahwa SPF mendukung demonstrasi yang terjadi dalam upaya mengawal putusan MK. Sebab, menurutnya, hal ini selaras dengan upaya SPF dalam perbaikan struktural di Indonesia. “Beberapa dari anggota kami juga turut berpartisipasi dalam demonstrasi yang terjadi pada 22 Agustus lalu,” katanya.
Menjelang pukul 18.00 WIB, diiringi adzan berkumandang, aksi terjeda sejenak. Beberapa massa aksi terlihat bergegas mengambil wudhu dan beberapa di antaranya juga memilih untuk tayamum. Mereka segera melaksanakan ibadah shalat berjamaah beralaskan berbagai spanduk tuntutan aksi.
Selepas tuntas beribadah, mereka kembali menyerukan keresahannya di bawah rezim Joko Widodo. Miftah Riza, salah seorang peserta aksi, tak luput menyuarakan kegeramannya mengenai represifitas aparat yang terjadi. Bagi Riza polisi seharusnya belajar dari tragedi-tragedi sebelumnya. Menurutnya, penggunaan gas air mata bukanlah satu-satunya solusi untuk membubarkan massa aksi. Ia juga menyoroti pernyataan Kepolisian Daerah Jawa Tengah yang menganggap bahwa gas air mata tidak terlalu berbahaya.
“Kalau memang tidak berbahaya, silakan tembakkan gas air mata ke rumah anda sendiri kalau begitu,” tanggap Riza.
Riza juga menegaskan bahwa persoalan represifitas aparat harus diselesaikan secara struktural dan prosedural. Pasalnya, polisi bergerak sesuai prosedur dan perintah. Dalam hal ini, ia menuntut ketegasan dari negara mengenai regulasi pengendalian massa dari kepolisian. “Regulasi tersebut sangat dibutuhkan karena penggunaan senjata seperti gas air mata tidak hanya melukai massa aksi, tetapi juga masyarakat sipil,” ucapnya.
Terkait penggunaan gas air mata yang menjatuhkan korban, Kharisma juga berpendapat bahwa hal tersebut merupakan bentuk penggunaan kekuatan yang berlebihan. Dalam aksi yang sejauh ini berlangsung, rakyat hanya menyampaikan aspirasinya, sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang. Sementara gas air mata, menurutnya, seharusnya digunakan untuk situasi darurat seperti perang. “Tentu ini mencederai hak,” tukasnya.
“Sabar sabar sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang”
Menjelang pukul 20.00 WIB, sepotong lirik dari lagu Iwan Fals dinyanyikan sembari mengiringi massa aksi yang satu demi satu meninggalkan Gedung Agung Yogyakarta.
Penulis : Tafrihatu Zaidan Al Akhbari, Gladwin Panjaitan, Maylafaizza Nafisha Zifa
Penyunting : Michelle Gabriela
Fotografer : Surya Intan Safitri