Berbagai lapisan masyarakat, mulai dari mahasiswa, buruh, seniman dan unsur masyarakat sipil lainnya menggelar demonstrasi akbar di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) di bilangan jalan Gatot Subroto, Jakarta pada Kamis (23-08). Aksi demonstrasi serupa juga digelar serentak di berbagai kota lain di Indonesia. Seluruh aksi demonstrasi itu menyuarakan penolakan atas pengesahan Rancangan Perubahan Keempat Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (RUU Pilkada). Penolakan terjadi disebabkan oleh kemarahan masyarakat atas sikap DPR yang berusaha menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengenai batas usia pencalonan kepala daerah lewat RUU Pilkada.
Nugroho, salah satu mahasiswa dalam massa aksi, menyebutkan bahwa aksi demonstrasi ini merupakan bentuk akumulasi kemarahan masyarakat atas pemerintah yang semakin korup terhadap kekuasaan. Ia mengatakan bahwa perubahan peraturan di RUU Pilkada sangat kental dengan kepentingan Jokowi untuk meloloskan anaknya sebagai bakal calon kepala daerah. “Pemerintahan yang korup terhadap kekuasaan itu diperlihatkan dengan adanya revisi UU Pilkada yang dibuat dengan cepat hanya dalam kurun waktu sehari saja,” ujar Nugroho.
Menurut Andi (bukan nama sebenarnya), salah satu masyarakat sipil yang bergabung dalam massa aksi, mengatakan bahwa awalnya aksi demonstrasi berjalan dengan damai dan kondusif. Namun, setelah pukul lima sore, saat massa aksi sudah mulai mundur, tiba-tiba saja kerumunan dari aparat kepolisian maju merangsek ke tengah kerumunan massa aksi sembari menembakkan gas air mata. Andi menilai bahwa penyebab kericuhan selain dari tuntutan yang tidak diakomodir dengan cepat adalah karena ketidaksabaran polisi dalam menangani masalah. “Polisi tidak perlu langsung represif atau tidak perlu langsung melemparkan gas air mata, bisa memberitahukan terlebih dahulu,” ungkap Andi.
Kemudian, Andi juga mengungkapkan munculnya provokator yang berusaha mengacaukan jalannya demo. Ia menerangkan bahwa ada provokator yang menyuruh massa untuk tetap bergerak maju saat seharusnya massa dapat mundur untuk menghindari bentrokan dengan aparat. “Jadi ketika masyarakat mau mundur, ada yang di jembatan penyeberangan orang itu kayak membangun barikade yang mempersulit masyarakat untuk keluar untuk menyelamatkan diri,” ucap Andi. Akibatnya, bentrokan dengan aparat kepolisian tak terhindarkan.
Andi menjelaskan bahwa polisi membalas provokasi itu dengan represi membabi buta terhadap peserta demo tanpa henti. Ia mengatakan jika dirinya terkena lemparan batu yang datang dari kerumunan polisi. Batu itu menggores kepala Andi sampai bocor dan mengeluarkan darah. Selain itu, Andi juga mengatakan bentuk represifitas lain yang dialami massa aksi di sekelilingnya. “Aku juga ketemu sama wartawan yang mau diambil kameranya, ada yang temannya tiba-tiba ditarik padahal pakai almet dan tidak melakukan provokasi,” ungkap Andi.
Represifitas polisi juga dialami oleh Nugroho. Ia bersama dengan massa demonstran lainnya terperangkap di halaman depan gedung DPR pada malam hari akibat barikade polisi yang mengepung mereka di kedua sisi jalan keluar. Ia mengatakan bahwa pengepungan itu terjadi selama dua jam dan selama itu pula gas air mata secara masif ditembakkan ke tengah kerumunan. Selain itu, ia menceritakan bahwa terdapat beberapa peserta aksi yang ditangkap oleh polisi ketika gas air mata ditembakkan. “Kami semacam dijadikan samsak hidup oleh aparat, mitigasi kemana pun tidak bisa dan itu berlangsung sampai kurang lebih jam 10 malam,” ucap Nugroho.
Walaupun aksi demonstrasi berakhir dengan ditundanya pengesahan RUU Pilkada, Nugroho berpendapat bahwa masyarakat harus tetap mengawal isu ini, sebab masyarakat tidak boleh langsung percaya dengan pemerintah. Menurutnya terdapat informasi bahwa pemerintah masih menginginkan revisi ini berlangsung melalui cara lain, termasuk melalui celah di Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). “Nah sekarang ini kami akan adakan aksi juga di hari Jumat [di KPU-red] sebagai tindak lanjut dari aksi hari ini,” tutur Nugroho.
Penulis: Aditya Rizky Nugroho
Penyunting: Gayuh Hana Waskito
Fotografer: Aditya Rizky Nugroho