Pada Kamis (11-07), Komite Persiapan Serikat Pekerja UGM menyelenggarakan diskusi bertajuk “Paparan dan Diskusi Hasil Survei Kondisi Kerja di UGM”. Diskusi di Taman Sansiro Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM itu memaparkan hasil riset kondisi pekerja UGM yang diikuti 136 dosen dan 75 tenaga kependidikan (tendik). Diskusi yang dimoderatori Suci Lestari Yuana menghadirkan Muchtar Habibi selaku perwakilan Komite Persiapan Pekerja UGM dan Amalinda Savirani selaku Ketua Umum Serikat Pekerja Fisipol.
Mengawali diskusi, Muchtar memaparkan hasil riset mengenai kondisi kerja di UGM. Ia menyebutkan bahwa kontrak kerja yang mengatur hak dan kewajiban dosen maupun tendik tidak diatur dengan spesifik. “Di kontrak enggak ada kewajibannya, upah juga tidak diatur,” ujarnya.
Terkait pendapatan dosen maupun tendik, lebih dari 60% dosen menganggap gaji yang diterima tidak sesuai dengan beban kerja, kualifikasi, dan kinerja. Hal yang sama juga dirasakan oleh 40% tendik yang gajinya ditambah Insentif Berbasis Kerja. “Tuntutan kerja banyak, tapi pendapatannya tidak begitu banyak. Sampai ada dosen yang jadi [menambah pendapatannya-red] entah sebagai konsultan, business man, blantik mobil, atau pemilik toko,” ungkapnya lebih lanjut.
Muchtar juga menambahkan bahwa dosen merasa adanya beban kerja berlebih sehingga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaan menjadi timpang sebelah. Ia menilai bahwa hal ini semakin diperparah oleh pekerjaan yang harus dilakukan di luar lingkungan kampus. “Dosen kecenderungannya [di luar lingkungan akademik-red] mroyek,” terang Muchtar.
Tidak hanya itu, Muchtar juga mengatakan lebih dari setengah dosen UGM merasakan adanya gangguan fisik dan mental. Ia menyebut salah satu dosen kerap merasa stres dan cemas karena tidak adanya kepastian waktu pencairan honor. “Sedangkan banyak tanggungan yang harus dibayar,” lanjut Muchtar mengutip ucapan informan.
Menanggapi Muchtar, Amalinda menyebut bahwa pekerja di sektor pendidikan tinggi berada dalam kondisi yang rentan, termasuk dosen. Menurutnya, tidak ada hubungan antara kenaikan biaya pendidikan tinggi dengan upah dosen karena telah terkunci di kontrak kerja. “Jadi, kita keren simbolnya aja, oh dosen UGM,” keluh Amalinda.
Lebih lanjut, Amalinda menyampaikan pentingnya berserikat di UGM untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah pekerjaan para pekerja kampus. Ia melihat masing-masing pekerja tidak menganggap penting solusi secara kolektif sehingga massa sulit terbentuk. Bagi Amalinda, hal ini pula terjadi karena keterbatasan kehadiran di tengah kesibukan sebagai staf pengajar maupun tendik. “Akhirnya ngelibatin mahasiswa juga karena kita enggak punya waktu,” pungkasnya.
Penulis: Dhony Alfian dan Felycia Devizca
Penyunting: Alfiana Rosyidah
Fotografer: Aiken Gimnastiar