Pada Selasa (02-07), Aku Juga Terdampak mengadakan diskusi dan nonton bareng film dokumenter Climate Witness. Diskusi yang diadakan di Kedai Kopi Randu Kuning itu mengangkat tajuk “Pangan Adalah Maut?”’ sebagai respons atas persoalan alih fungsi lahan di Yogyakarta. Forum diskusi ini dihadiri oleh tiga narasumber utama; yakni Wasi Ismoyo, pegiat lingkungan Sanggar Pawuhan; Risa Vibia, pendiri Pasar Wiguna dan Sporadies; serta Dewa Saputra, seorang jurnalis lepas yang memiliki perhatian khusus pada isu lingkungan.
Forum dibuka dengan pemaparan hasil liputan Dewa soal pertanian kota di Yogyakarta. Ia mengatakan, telah terjadi penurunan lahan pertanian secara signifikan. Penurunan dilatarbelakangi oleh masifnya laju industrialisasi, khususnya di bidang pariwisata dan pendidikan. Pada tahun 2022, lahan pertanian di Yogyakarta tercatat 55,7 ribu hektar. Namun pada tahun 2023, jumlah lahan menurun hingga hampir 60% dan hanya tersisa 25,5 ribu hektar. “Nah, dari industrialisasi tersebut, kemudian lahan pertanian digantikan dengan hotel, kos, dan ruko,” jelas Dewa.
Warga sekitar Sungai Code menjadi kelompok yang ikut terdampak dari penurunan lahan pertanian. Menurut Dewa, penurunan lahan tersebut menjadi alasan warga untuk berswadaya pangan dengan membentuk kolektif tani kecil di tingkat RT/RW. Ia menyebutkan bahwa kelompok kolektif Kebun Kali Code mengkampanyekan gerakan mencintai lingkungan lewat pembukaan lahan pertanian yang bersifat organik di wilayah kota. Hal tersebut berangkat dari kesadaran bahwa lingkungan kota semakin terhimpit akibat kegiatan industrialisasi. “Alasannya cukup sederhana karena mereka [masyarakat kota-red] udah bosan menikmati makanan-makanan yang mengandung bahan-bahan kimia,” ungkapnya.
Selanjutnya, Risa menuturkan pentingnya konsep pangan berkesadaran yang memburuk. Ia menyebutkan bahwa salah satu dampaknya adalah terjajahnya lidah manusia oleh ultra processed food (UPF), yaitu makanan yang menggunakan tambahan zat aditif. Ia menjelaskan bahwa UPF telah membuat lidah tidak lagi terbiasa dengan makanan-makanan rasa alami seperti pare. Selain itu, Risa menyebutkan bahwa adanya tren kuliner membuat masyarakat sulit mengetahui kandungan dalam makanan yang dikonsumsinya. “Tren kuliner membuat kita tidak sadar sebenarnya yang kita makan tuh apa,” tutur Risa.
Bagi Risa, untuk mewujudkan pangan berkesadaran, masyarakat dapat berkontribusi lewat hal-hal kecil, seperti pertanian kota atau belanja ke pasar tradisional. Ia menilai bahwa kegiatan tersebut dapat menjadi pemantik bagi masyarakat untuk memperhatikan makanan yang mereka konsumsi. “Hal-hal seperti itu yang akhirnya membuat kesadaran pangan menjadi kesadaran masing-masing untuk bisa ikut berkontribusii,” kata Risa.
Senada dengan yang dikatakan oleh Risa, Wasi memaparkan bahwa kesalahan umum yang sering kali dilakukan oleh masyarakat adalah tidak memperhatikan bahan dari produk yang mereka konsumsi. “Kesalahan yang banyak dilakukan kebanyakan orang adalah mereka tidak melihat produk itu dihasilkan dari apa, dari sesuatu yg mencemari lingkungan, dan sehat atau tidak,” ungkapnya. Oleh karena itu, hadir konsep konsumsi berkesadaran yang memfokuskan dalam menemukan solusi untuk memilah dan memilih produk yang layak untuk dikonsumsi. Menurut Wasi, gerakan ini hadir sebagai bentuk untuk mengatasi dampak perubahan iklim terhadap pangan.
Di lain sisi, Wasi menjabarkan, konsumsi berkesadaran merupakan solusi dari sistem ekonomi linear yang seringkali memakai barang mentah untuk membuat produk sekali pakai. Melalui Sanggar Pawuhan, Wasi memanfaatkan sampah untuk membuat produk sekali pakai alih-alih memakai barang mentah. Produksi ini disebut sebagai sistem ekonomi sirkel yang mengedepankan prinsip daur ulang. “Nggak jadi waste [produknya-red], alam jadi tidak ada limbah,” jelasnya.
Pada sesi tanya-jawab, salah seorang peserta bernama Ipung, menambahkan informasi mengenai kondisi relasi sosial-ekonomi petani dan pasar. “Pasar kita ternyata juga diskriminatif. Timun yang bentuknya nggak sempurna itu tidak dibeli oleh pasar dan itu jumlahnya sangat banyak,” ucap Ipung. Menurutnya, hal ini menjadi salah satu alasan tingginya pembuangan makanan di Indonesia. Selain itu, Ipung menambahkan kondisi pangan di Indonesia juga tidak ramah lingkungan akibat ketergantungan pangan pada pupuk kimia yang merusak kesuburan tanah.
Penulis: Elvira Chandra Dewi Ari Nanda dan Gladwin Panjaitan
Penyunting: Gayuh Hana Waskito
Fotografer: Catharina Maida