
Ā©Leony/Bal
Dalam kurun dua dekade terakhir, relawan politik telah menjadi salah satu bagian dalam dinamika perpolitikan di Indonesia. Relawan politik merupakan sebuah kelompok yang dibentuk untuk mendukung seseorang atau pasangan calon (paslon) di luar struktur formal menurut undang-undang. Relawan politik biasanya bersifat lebih fleksibel tanpa adanya kaderisasi seperti yang terdapat di partai politik. Salah satu contoh gerakan relawan yang muncul menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, adalah Gerakan Perempuan untuk Indonesia Kuat (PINK).Ā
Untuk menggali lebih jauh fenomena relawan politik di Indonesia, BALAIRUNG berkesempatan untuk berbincang dengan Abdil Mughis Mudhoffir, Sabtu (04-11). Ia merupakan dosen Departemen Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta, sekaligus peneliti yang berfokus di bidang politik demokrasi, kapitalisme, liberalisme, kelompok-kelompok kekerasan, dan populisme Islam. Kemunculan relawan politik disebabkan oleh adanya anggapan bahwa calon yang diusung dapat menjadi penyambung kepentingan. Berikut hasil wawancaranya.
Secara historis, bagaimana relawan politik ini bisa terbentuk di Indonesia?
Sebenarnya, relawan politik merupakan fenomena baru di era demokrasi. Saya tidak melihat itu ada di era Orde Baru karena pada saat itu yang digunakan adalah mesin politik, yaitu [partai-red] Golkar oleh Soeharto. Saat itu, Golkar melakukan mobilisasi melalui birokrasi dan asosiasi-asosiasi profesi, ia mengooptasi berbagai elemen, seperti PNS, guru, dosen, dan mahasiswa lewat berbagai organisasi. Mesin politik lebih efektif, nggak lewat relawan. Jadi, saya kira ini adalah fenomena era demokrasi yang berangkat dari kegagalan partai politik.
Selain menggunakan mesin partai dan memobilisasikan lewat berbagai asosiasi profesi, Orde Baru juga menawarkan satu kebijakan yang disebut politik massa mengambang. Kebijakan ini membiarkan masyarakat menjadi apolitis dan takut berpolitik. Masyarakat tidak berani kritis dan melawan otoritarianisme. Tidak boleh ada basis suara massa, baik di tingkat daerah maupun di kampung sekalipun. Hal ini membuat orang-orang menjadi apolitis, bahkan cenderung takut berpolitik. Golkar memanfaatkan situasi tersebut untuk membuat masyarakat terasosiasi dengan Golkar.
Jadi bisa dikatakan bahwa politik relawan ini terbentuk setelah adanya Reformasi ā98, ya?
Iya. Terutama setelah pemilihan langsung. Itu yang mendorong terbukanya ruang untuk mobilisasi relawan. Hal ini kemudian terlihat sangat jelas terutama sejak tahun 2014, sebelumnya itu tidak terlalu muncul.
Bagaimana Anda memaknai relawan politik ini?
Kalau saya melihatnya, itu [relawan politik-red] sebenarnya lebih sebagai indikator tidak berjalannya fungsi partai politik dengan baik. Seharusnya partai politik yang bekerja sebagai mesin politik untuk mengusung calon yang diusulkan oleh partai politik, mencari dukungan di masyarakat, dan memobilisasi dukungan. Hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat tidak percaya dengan partai politik. Oleh karena itu, lebih memilih untuk mengorganisir diri dan membangun kendaraan politik untuk mengusung calon yang didukungnya. Nah, mereka [seolah-red] punya harapan dengan mendirikan relawan politik itu.Ā
Organisasi ini biasanya bersifat cair karena terorganisir sebagai satu relawan. Akan tetapi, sebagai satu wadah politik, ia sangat tidak cukup memiliki kekuatan yang signifikan karena tidak masuk di parlemen. Meskipun dia turut menjadi kendaraan atau mesin politik si calon yang didukung, yang mungkin bisa bekerja secara efektif memobilisasi dukungan di bawah. Tapi, ketika setelah menang, dia tidak terlalu punya kesempatan signifikan selain bisa membangun hubungan secara langsung dengan si calon yang terpilih
Apa yang membuat seseorang dengan sukarela berkontribusi sebagai relawan politik?
Satu kepercayaan, ya. Ada keyakinan bahwa calon yang mereka usung merupakan orang baik sekaligus bisa menyambung kepentingan mereka. Biasanya yang tergabung dalam relawan itu kelas menengah terdidik, seperti para aktivis umumnya. Mereka berbeda karena ada suatu kepercayaan seperti itu. Kepercayaan yang saya maksud adalah kepercayaan bahwa calon yang didukung lewat pengorganisasian relawan mampu membuat demokrasi menjadi lebih baik dan kebijakan yang lebih akomodatif bagi mereka.Ā
Di sisi lain, tentu relawan politik juga memiliki kepentingan yang sifatnya lebih pragmatis. Mereka berharap akan mendapatkan imbalan. Keuntungan politik berupa proyek maupun posisi politik,ketika calon yang didukung sudah memenangkan kontestasi politik tersebut.
Sejauh mana Anda melihat penggunaan relawan politik di Indonesia?Ā
Saat ini, kontestasi politik Indonesia banyak mengklaim pengusungan identitas anak muda. Hal ini karena profil demografi Indonesia memiliki jumlah kelas menengah dan usia muda itu cukup besar. Tentunya hal itu menjadi sasaran utama bagi mereka [partai politik-red]. Di sisi lain, segmen religi juga menjadi sasaran bagi para calon [yang ingin berkontestasi politik-red] ini.
Apakah politik relawan ini bisa dikatakan sebagai bentuk kebebasan berekspresi dan berpolitik masyarakat?
Iya, tentu saja bisa. Orang-orang berorganisasi sudah menggambarkan adanya kebebasan. Namun, tentu “relawan” tidak sepenuhnya bermakna kesukarelaan. Tidak jarang, oknum yang tergabung dalam gerakan relawan tersebut memiliki intensi untuk menjadi komisaris dan menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan.
Jadi politik relawan tersebut memiliki indikasi pada kemajuan demokrasi di Indonesia?
Enggak dong. Mereka tidak terorganisir, diberi imbalan, mereka dibangun juga mungkin pada pandangan idealāseperti yang saya kemukakan di awal, ada orang yang percaya karena misalnya ini [calon yang diusung-red] bisa membawa kebaikan. Tidak ada kekuatan nyata dari kehadiran politik relawan. Walaupun, pada awalnya mereka memiliki agenda yang progresif, tetapi akhirnya merekalah [relawan dengan niat tertentu-red] yang menduduki jabatan-jabatan menjadi komisaris dan menghancurkan makna demokrasi itu sendiri.Ā
Kehadiran politik relawan merupakan bukti kegagalan institusi demokrasi dan kegagalan partai politik. Masyarakat apolitis yang tidak berorganisasi dengan baik, pada akhirnya mereka membentuk gerakan untuk bisa memobilisasi kekecewaan dan kemarahannya dalam bentuk politik relawan yang kekuatannya tidak nyata. Masyarakat tidak memiliki kendaraan yang kuat untuk menampung agenda progresif. Membuat gerakan yang aksidental dan temporer merupakan jalan menuju kesia-sian.Ā
Apakah ada dampak yang harus dibayar oleh masyarakat sipil dengan keberadaan politik relawan?
Dampaknya ya, organisasi relawan ini dapat menjadi jalan pintas bagi para elite untuk bisa memobilisasi diri agar memiliki akses secara langsung pada kekuasaan lewat calon yang didukung. Hal ini bisa jadi karena partai politik terlalu rumit untuk dimasuki dan juga kegagalan fungsi partai. Bahkan relawan juga menjadi cenderung elitis. Relawan yang elitis tersebut dianggap sebagai hasil dari gejala masyarakat yang apolitis.
Di masyarakat apolitis yang kurang peduli politik, indikasi ini dapat dipandang sebagai konsekuensi dari sejarah panjang yang dicirikan oleh proses politik otoritarian. Proses tersebut memang mengarahkan masyarakat menjadi apolitis terhadap politik. Pada akhirnya, relawan politik tidak dapat bekerja menjadi instrumen yang secara positif bisa dimanfaatkan untuk membangun kesadaran yang lebih kritis dari masyarakat untuk terlibat secara lebih aktif dalam politik.
Penulis: Elvira Chandra Dewi Ari Nanda, Galih Akhdi Winata, Muhammad Ulil Abshar (Magang)
Penyunting: Rais Aulia
Ilustrator: Leony Excellenxia Angellica
1 komentar
Izin menginformasikan kak. Kalau beliau sudah bukan lagi dosen sosiologi UNJ š