Pada Sabtu (15-06), komunitas Let’s Talk about SEX n SEXUALITIES (LETSS Talk) menggelar forum publik ke-69 yang bertajuk “Kebebasan Berekspresi Jangan Diopresi: Mengapa Kita Harus Menolak RUU Penyiaran?”. Forum ini sebagai respons atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang mengancam kemerdekaan pers di Indonesia. Forum ini menghadirkan sejumlah pembicara dari Dewan Pers, Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi, akademisi, sutradara, dan lembaga lainnya.
Forum dibuka dengan pemaparan dari Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers, perihal anomali yang ada pada sejumlah pasal-pasal RUU Penyiaran. “Setidaknya ada delapan pasal yang kami minta untuk tidak digunakan di dalam draf RUU ini karena ini betul-betul tabrakan dengan Undang-Undang [Nomor-red] 40 [Tahun 1999-red],” ungkapnya. Di antara kejanggalan yang ada di dalam RUU ini, salah satu yang disoroti adalah tumpang tindih wewenang antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Dewan Pers.
Lebih lanjut, Ninik menjelaskan bahwa KPI pada akhirnya berwenang menerima pengaduan masyarakat dan melakukan mediasi sengketa. Padahal, kewenangan ini sebelumnya dipegang oleh Dewan Pers dan tercantum dengan jelas di dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang PERS. Ninik menilai bahwa perubahan ini juga mengaburkan fungsi Dewan Pers dan menurunkan independensi. “Kalau ini kemudian dipindah ke KPI, yang kita tahu dia adalah produk politik, anggota KPI itu dipilih oleh partai politik. Maka itu akan mengubah [pandangan-masyarakat kepada-red] orang-orang yang bekerja secara independen menjadi tidak independen,” tegasnya.
Di sisi lain, Melani Budianta selaku Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia mengkritisi RUU Penyiaran yang akan merepresi kemampuan publik dalam memperoleh pengetahuan dan berpikir kritis. Baginya, masyarakat tidak hanya menerima informasi, tetapi ikut serta untuk mempertanyakannya dan berpendapat atas informasi yang beredar. “Salah satu tugas kita semua sebagai intelektual publik adalah kemampuan untuk berpikir kritis,” tegas Melani.
Sejalan dengan Melani, Anis Hidayah dari Komnas HAM, mengatakan bahwa pembatasan akan informasi ini juga akan menjadi bentuk pelanggaran atas HAM di Indonesia. Hak manusia untuk mendapatkan informasi yang kredibel tidak dapat terwujud. “Berita [seperti-red] kerangkeng manusia diangkat oleh pers melalui investigasi jurnalistik, kalau hal tersebut tidak diinvestigasi, hak masyarakat atas informasi kredibel tidak akan terpenuhi,” jelas Anis.
Aan Anshori yang tergabung dalam lembaga Gusdurian juga menambahkan fakta pentingnya investigasi kasus yang dilakukan oleh jurnalis. Ia, yang turut mengawal kasus kekerasan seksual di salah satu pesantren di Jombang, Jawa Timur, menyebutkan bahwa investigasi jurnalistik oleh pers yang membantu pengungkapan kasus kekerasan seksual ini. Pelarangan terhadap investigasi jurnalistik menurutnya akan melanggengkan pelaku kejahatan untuk melakukan kasus serupa. “Pelakunya kebal hukum, bayangkan kalau tidak dihajar teman-teman pers melalui investigasi jurnalistik,” jelas Aan.
Melalui sudut pandang lain, Nia Dinata yang berprofesi sebagai sutradara dan produser, bercerita bahwa jauh sebelum munculnya rancangan RUU penyiaran, kebebasan berekspresi dalam industri perfilman sudah dibatasi. Filmnya yang kerap mengangkat isu gender dan kesetaraan sering dipersulit dalam proses birokrasi kepada Lembaga Sensor Indonesia dengan dalih “norma”. Pembatasan kebebasan yang sudah ia rasakan dari tahun 2001 membuatnya muak dengan kondisi perfilman di Indonesia. “Dengan demikian, saya nggak akan bikin film layar lebar lagi sampai kebebasan berekspresi itu saya dapatkan,” ujar Nia.
Kemudian, Aan juga menilai bahwa RUU Penyiaran merupakan representasi ketakutan dan sisi amoral penguasa serta para pelaku kejahatan terkait. Oleh karena itu, ia mempertegas agar RUU ini sebaiknya tidak buru-buru disahkan. Ia menyatakan bahwa akan terus menolak dan melawan pengesahan RUU yang tidak diikuti peninjauan ulang. “Kalau negara ini mau selaras dengan Pancasila, ya RUU ini harus diperbaiki lah,” pungkas Aan.
Penulis: Muhammad Riendy Tri Putra dan Winema Aleshanee Rasti Azzayna
Penyunting: Rais Aulia
Fotografer: Nabillah Faisal