Pada Kamis (30-05), Perpustakaan Nasional (Perpusnas) melaksanakan diskusi bertajuk “Surat, Hata, Poda: Merawat Budaya, Menolak Punah” sebagai bagian dari rangkaian Diskusi Naskah Nusantara ke-48. Diskusi ini diselenggarakan bersama Kawan Pustaha sebagai komunitas pegiat budaya batak yang turut aktif dalam kegiatan konservasi aksara batak. Acara yang diadakan secara daring melalui Zoom beserta kanal Youtube WBS Radio Perpusnas itu menghadirkan Sepwan Partogi Sinaga selaku budayawan Batak dan Jorliman Sidabutar selaku pengrajin pustaha Laklak.
Diskusi dibuka dengan pemaparan Sepwan mengenai kaidah pembuatan pustaha yang ia nilai memiliki kerumitannya sendiri. Ia menjelaskan bahwa aksara Batak tidak pernah mengenal tanda baca sehingga perlu perhatian untuk memastikan kesamaan antara yang terucap dengan yang tertulis. “Memang butuh orang yang betul-betul tahu bahasa Batak untuk membaca [aksara Batak-red],” ujar Sepwan.
Selain itu, Sepwan juga menjelaskan adanya tingkatan-tingkatan bahasa Batak yang perlu diperhatikan pembuat pustaha. Ia menjelaskan mengenai tiga tingkatan hata atau bahasa Batak yakni, hata somal yaitu bahasa sehari-hari, hata andung yaitu bahasa halus, dan hata hadatuon yaitu bahasa perdukunan. Menurut Sepwan, penulisan pustaha lazimnya tidak menggunakan bahasa sehari-hari. “[Penulisan pustaha-red] lebih banyak menggunakan bahasa-bahasa yang kita sebut sebagai hata-hata andung,” imbuhnya.
Di sisi lain, Jorliman menuturkan mengenai perbedaan bahasa yang digunakan pada pustaha yang dibuat pada zaman dulu dan sekarang. Menurutnya, bahasa Batak telah mengalami pergeseran, salah satunya adalah penambahan huruf K. “Contohnya dulu mau bilang kacang, bukan kacang, hasang,” ucap Jorliman.
Tak hanya itu, menurut Sepwan cukup banyak generasi muda yang tidak tahu cara menulis aksara batak. “Ketika kita membahas surat, hata, dan poda, agak sulit untuk mengatakannya tidak punah,” ucap Sepwan. Ia menyoroti anggapan bahwa pustaha sudah ketinggalan zaman.
Hal yang sama pun dikeluhkan oleh salah satu peserta diskusi, Manimbu Sihotang, seorang mahasiswa perantau. Ia menceritakan bahwa teman-temannya dari suku Batak yang tidak berasal dari Samosir kesusahan memahami budaya Batak, terutama bahasa dan aksaranya. ”Apa hal yang perlu dilakukan mereka ini agar bisa memahami bahasa ini, bahasa Batak ini, aksara Batak ini secara sederhana?” tanya Manimbu.
Menjawab Manimbu, Sepwan berpendapat bahwa pembelajaran aksara bagi generasi muda akan lebih mudah dilakukan menggunakan teknologi zaman sekarang. Ia mengajak untuk memulai mempelajarinya dengan menggunakan aplikasi huruf aksara Batak yang dapat diunduh pada gawai dan komputer. “Kita memang harus membawa ranah kekunoan zaman dahulu itu ya memang ke zaman sekarang,” ucap Sepwan.
Di akhir, Sepwan mengatakan pelestarian budaya dapat dilakukan oleh masyarakat tanpa harus menunggu bantuan dari pemerintah. Ia menjelaskan bahwa memelihara budaya perlu datang dari kesadaran masyarakatnya sendiri. Hal ini disetujui oleh Jorliman yang merasa komunitas dapat membantu memelihara aksara batak dan juga merangkul anak-anak muda dalam pelaksanaannya. “Menurut aku ujung tombaknya ini komunitas,” pungkasnya.
Penulis: Catharina Maida
Penyunting: Edo Saut Hutapea
Ilustrator: Nabillah Faisal