Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) bersama dengan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menggelar forum diskusi publik bertajuk “Mengukur Kualitas Kebijakan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi”. Forum yang diadakan secara daring pada Selasa (30-04) itu menghadirkan Andy Yentriyani, Pimpinan Komnas Perempuan; Khotimun Sutanti, perwakilan Asosiasi LBH APIK; Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan; dan Ruchman Basori, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama. Dalam forum ini, dipaparkan Indeks Kualitas Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi (IKK PPKS) yang bertujuan mengukur implementasi PPKS oleh perguruan tinggi.
Di awal forum, Andy menjelaskan bahwa seringkali tim PPKS tidak mendapatkan dukungan yang cukup baik di lingkungan kampus. “Di banyak situasi, tim PPKS tidak mendapatkan dukungan untuk mengatasi kasus yang sedang bergulir maupun mengembangkan sistem yang lebih baik untuk mencegah dan menanganinya,” ujarnya. Padahal, Andy mengatakan dengan gamblang bahwa tindak kekerasan seksual menjadi hambatan dalam mewujudkan kapasitas sumber daya manusia yang baik dan menciptakan lingkungan kampus yang aman dan nyaman.
“Terdapat berbagai macam tantangan dan hambatan di dalam pencegahan dan penanganan tindak kekerasan seksual,” sebut Khotimun. Ia lanjut menjelaskan jika dampak yang paling besar dari adanya hambatan itu adalah pada kualitas implementasi kebijakan, terutama pemenuhan hak-hak korban. Untuk itu, ia menegaskan perlunya upaya yang lebih sistematis dalam implementasi perumusan kebijakan. Salah satunya dengan cara menyusun instrumen yang berguna untuk mengukur peningkatan IKK.
“Tagihan atas instrumen ini, mudah-mudahan tidak terlalu administratif,” komentar Ruchman. Ia berpendapat bahwa jika demikian, penggunaan IKK justru berpotensi tidak menyasar pada masalah yang ingin dituju. Kemudian, Ruchman juga menyoroti pentingnya pendanaan bagi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus yang belum terfokuskan. Menurutnya, komitmen atas dukungan pendanaan dari pihak-pihak pemerintahan terkait masih perlu lebih didorong.
Setelah sesi pemaparan IKK PPKS, salah satu peserta forum, Hijrah Lahaling selaku anggota Satuan Tugas (Satgas) PPKS Universitas Ichsan Gorontalo turut berpartisipasi memberikan gambaran atas kendala dalam penanganan kekerasan seksual. Salah satunya terkait pelaporan kasus di kepolisian. “Ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, mereka tidak punya perspektif yang baik terhadap korban,” sebutnya.
Bagi Hijrah, tidak kooperatifnya kepolisian dalam penyelesaian kekerasan seksual menyebabkan perlunya pendampingan psikologis untuk Satgas PPKS sebagai pendamping penyintas. Selain itu, ia menilai bahwa pimpinan kampus masih tak suportif terhadap peran Satgas PPKS. “Tantangannya, di sini yang kita hadapi adalah rekan sejawat [pihak kampus yang terlibat dalam kasus -red],” papar Hijrah.
Menanggapi keresahan Hijrah, Khotimun mengatakan bahwa Komnas Perempuan telah mengupayakan pelatihan bagi aparat penegak hukum, juga pengada layanan dan pendamping kasus kekerasan seksual. Kendati demikian, prosesnya memang masih bertahap. “Masalah perlindungan Satgas PPKS saat ini memang sedang menjadi pekerjaan rumah kita untuk segera diadakan undang-undangnya atau aturannya,” kata Khotimun. Menurutnya, kondisi Satgas PPKS penting untuk diperhatikan mengingat tekanan emosional berlebih dalam pekerjaan mereka. Hal tersebut rentan menyebabkan efek trauma sekunder.
Alimatul menyetujui bahwa dukungan pimpinan kampus menjadi salah satu variabel yang menentukan berhasilnya penerapan PPKS. Bahkan, dalam pengukuran IKK PPKS terdapat poin-poin yang seharusnya menjadi tanggung jawab pimpinan untuk mengaturnya, seperti mengenai komitmen kebijakan anggaran. “Pimpinan perguruan tinggi harus selalu didorong untuk punya kebijakan yang lebih mendukung kepada Satgas PPKS,” ujar Khotimun.
Lebih jauh, menurut Alimatul, IKK memang hanya sebatas masukan dan rekomendasi dalam upaya menghadang kekerasan seksual. Namun, ia menginginkan agar bentuk rekomendasi ini dapat ditindaklanjuti bersama pihak-pihak terkait. Oleh karenanya, Alimatul mengharapkan sinergi yang lebih di antara berbagai perguruan tinggi. “Ini adalah hak yang perlu kita fasilitasi yang juga dijamin oleh negara, yaitu hak atas keadilan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual,” pungkasnya.
Penulis: Defindra Hafara dan Indira Zahra Mustika
Penyunting: Gayuh Hana Waskito
Ilustrator: Ahmad Farrel Baswara