Krack! Studio bersama Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) mengadakan diskusi bertajuk “NgeKrack Urun Rembug: Kerja Kerja Kerja Seni” pada Sabtu (27-04). Diskusi ini digelar di studio milik Krack dan menghadirkan dua pemantik yaitu Pitra Hutomo, perwakilan SINDIKASI Jogja dan Muchtar Habibi, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM). Diskusi ini membahas kerentanan dalam pemenuhan hak pekerja yang dialami para pekerja seni.
Pada awal diskusi, Muchtar memaparkan data pekerja seni di Indonesia. Ia menyampaikan jumlah pekerja kreatif di Indonesia mencapai 15% dari jumlah seluruh pekerja. Muchtar juga menerangkan bahwa sekitar 80% dari pelaku industri kreatif adalah pekerja. “Berarti pekerja seni itu yang katanya sering kali dianggap independen, ternyata nggak juga, banyak dari mereka yang justru hanya menjadi buruh,” ucap Muchtar.
Melanjutkan pemaparannya, Muchtar mengungkapkan bentuk kerentanan lain yang dialami oleh pekerja seni, yaitu kesenjangan upah di antara jenis-jenis pekerjaan dalam sektor kreatif serta permasalahan jam kerja. Ia mengatakan bahwa kelompok pekerja seni yang paling tereksploitasi adalah mereka yang berasal dari bidang seni kriya, musik dan fotografi. Ketiga kelompok tersebut memiliki rata-rata upah paling rendah, hanya sebesar Rp2.400.000,00. Mengenai masalah jam kerja, Muchtar menyampaikan adanya jam kerja yang berlebih di kalangan pekerja seni. “Pekerja kreatif itu 30% bekerja berlebih,” ujarnya.
Muchtar berpendapat pengesahan Undang-Undang Ciptakerja dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan mempengaruhi kondisi kerentanan ketenagakerjaan di masa kini. Ia menekankan bahwa terbitnya PP tersebut telah menghapus peran Dewan Pengupahan selaku kelompok buruh yang menyusun upah layak berdasarkan harga kebutuhan pokok. “Penghapusan mekanisme Dewan Pengupahan ini bener-bener mendepolitisasi buruh, ” tegas Muchtar.
Adit, salah satu peserta diskusi yang bekerja sebagai pekerja seni, turut menuangkan keresahannya. Ia mengalami kesulitan dalam proses negosiasi pengupahan sesuai dengan tenggat waktu dan jumlah revisi yang harus ia kerjakan. Adit menyebutkan bahwa sulitnya proses negosiasi tersebut karena adanya relasi kuasa antara pekerja dan pemberi upah.“[Pekerja-red] sangat rentan untuk digantikan orang lain, dengan istilahnya predatory atau kontrak-kontrak yang ternyata tidak berpihak ke pekerjanya,” ujarnya.
Senada dengan Adit, Pitra memaparkan berbagai kegelisahan yang dialami pekerja seni. Salah satu kegelisahan tersebut adalah tidak tetapnya penghasilan dan mulai bergesernya peran pekerja seni. Pitra menyebut pekerja seni kerap diremehkan karena dianggap tidak memiliki pekerjaan yang jelas. Pitra juga memberi contoh pergeseran peran pekerja seni yang dianggap dapat digantikan oleh perkembangan teknologi. “Apalagi sudah ada Canva kan, [Orang-orang berpikir-red] ngapain bayar seniman buat bikin spanduk gitu,” ucapnya.
Melanjutkan pemaparannya, Pitra menganggap bahwa permasalahan pekerja seni tidak hanya terbatas pada hal-hal prosedural saja. Ia mengatakan bahwa ada hal yang lebih krusial dari sekadar masalah prosedural, seperti kondisi kerja dan pemenuhan hak pekerja. “Untuk topik-topik semacam ini, kita nggak bisa lepaskan dari kondisi sosial politik di luar dimensi pekerjaan tersebut. Asosiasi profesi sayangnya mentok hanya mengatur kisi-kisi saja,” ungkap Pitra.
Muchtar berpendapat bahwa kondisi rentan pekerja seni tidak bisa diterima begitu saja. Ia juga menyampaikan urgensi untuk membentuk suatu aksi kolektif untuk menuntut pencabutan peraturan tersebut. Muchtar menegaskan bahwa kekuatan utama para pekerja untuk melawan sistem adalah jumlah. “Pekerja itu kekuatannya yah cuma satu, numbers. Nggak punya modal nggak punya ini, ya, kekuatannya cuma di jumlah,” tegasnya.
Penulis: Anggita Septiana dan Hafidh Zidan Nur Ridho
Penyunting: Fachriza Anugerah
Fotografer: Mishbakhul Huda