Pada Sabtu (27-04), Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mengadakan diskusi bertajuk “Perlindungan Terhadap Pers Mahasiswa”. Diskusi ini membahas perjanjian hukum untuk perlindungan Pers Mahasiswa (Persma) dalam aturan Dewan Pers dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Diskusi yang diadakan melalui media daring ini dihadiri oleh Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers; Noval Kusuma, anggota Badan Pekerja Advokasi PPMI Dewan Kota Tulungagung; beserta Persma dari berbagai universitas.
Noval mengawali diskusi dengan menjelaskan isi Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang ditandatangani Kemendikbud Ristek dengan Dewan Pers pada Senin (18-03). Ia menyebutkan bahwa Perjanjian Kerja Sama ini adalah nota kesepakatan untuk memperkuat posisi hukum Persma. Lewat ini, aktivitas jurnalistik Persma di lingkungan kampus akan jauh lebih terjamin. Noval mengakui bahwa hal ini adalah sebuah kemajuan, tetapi ia merasa bahwa Memorandum of Understanding (MoU) ini belum cukup. “MoU itu bukanlah sebuah produk hukum. Jadi, tidak bisa untuk dijadikan sebagai landasan hukum,” ungkapnya.
Walau telah disepakati, Noval menyebutkan bahwa terdapat banyak celah dalam MoU karena tidak memiliki konsekuensi hukum. Tak hanya dari konsekuensi hukum, celah atas “kontrak” ini juga bisa ditemukan dalam pengimplementasiannya nanti. Noval menilai, MoU tidak memberikan instruksi yang jelas atas keberadaan kampus sebagai sebuah instansi. “Perjanjian tersebut menjadi hal yang cuma-cuma karena tidak memuat perjanjian khusus dengan kampus mengenai kebebasan bagi Persma,” ujar Noval.
Menanggapi Noval, Arif menegaskan Dewan Pers mengambil inisiatif untuk membuat PKS karena ingin membahas peraturan teknis terlebih dahulu. Ia menyoroti PKS sebagai hal yang mendesak karena kasus represi terhadap Persma di lingkungan kampus yang meningkat. “Saya mengambil inisiatif untuk jalan dulu di level PKS,” ungkap Arif.
Lebih lanjut, Arif menjelaskan bahwa perlindungan Persma menjadi hal yang penting mengingat dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers bahwa Persma tidak diakui sebagai pihak yang harus dilindungi. Selain itu, ia menambahkan bahwa adanya perlindungan bagi pers berbadan hukum merupakan akibat dari ledakan pers pasca orde baru yang mengharuskan adanya pengkhususan dari badan pers. “Pers mahasiswa tidak memenuhi syarat karena pers mahasiswa sebuah badan yang bernaung di bawah universitas dan bentuknya macam-macam,” jelas Arif.
Selain itu, Arif menyoroti isi dari PKS yang sudah disepakati. Ia menjelaskan adanya kerjasama dari pihak Persma dan civitas akademika kampus untuk melibatkan Dewan Pers. Selanjutnya, Dewan Pers dan civitas akademika diharapkan saling membantu meningkatkan kapasitas wartawan Persma. “Jika hal ini berjalan maka tidak akan ada lagi pembredelan pers mahasiswa, tidak ada lagi kriminalisasi terhadap mahasiswa yang bersalah karena dia akan di mediasi oleh Dewan Pers,” ujar Arif.
Melihat PKS hanya disetujui oleh Dewan Pers dengan Kemendikbud Ristek saja, hal ini mengundang respons dari Persma yang berada di bawah naungan Kementrian Agama. Salah satunya adalah Persma dari Universitas Islam Negeri. Untuk menanggapi keresahan ini, Arif hanya mengatakan bahwa ia sudah bertemu dengan Kementerian Agama. “Itu sedang diusahakan,” ucapnya singkat.
Sementara itu, Noval menegaskan perlunya perlindungan terhadap Persma yang lebih serius. Ia menyarankan untuk membuat mekanisme dan badan khusus yang menangani sengketa Persma. Selain itu, ia menyampaikan perlunya keterlibatan Persma dalam membuat peraturan sebagai pihak utama. “Persma menginginkan suatu peraturan atau suatu regulasi yang benar-benar menjaga hak akademik kita ataupun hak daripada kita sebagai Persma,” pungkas Noval.
Penulis: Andreas Hanchel Parlindungan Sihombing dan Resha Allen Islamey
Penyunting: Ester Veny
Ilustrator: Nabillah Faisal