Pada Kamis (16-05), Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) mengadakan konferensi pers mengenai wacana Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pendanaan Pendidikan DIY. Dihadiri oleh Ide dan Analitika Indonesia (IDEA) Yogyakarta, Persatuan Orang Tua Peduli Pendidikan (Sarang Lidi), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Konferensi pers yang diadakan di kantor LBH Yogyakarta itu, AMPPY menyampaikan pernyataan sikapnya terhadap pencanangan Raperda tersebut.
Yuliani Putri, Ketua Sarang Lidi, menyampaikan bahwa Raperda tersebut akan membebani masyarakat jika disahkan. Pasalnya, Raperda akan melegalkan adanya pungutan di luar sumbangan sukarela yang sudah dilarang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 mengenai pendidikan. “Perda ini agak rancu cantolan hukumnya,” ucap Yuli.
Selain itu, Yuli juga menyampaikan audiensi yang telah diadakan oleh DPRD Yogyakarta dengan mengundang perwakilan AMPPY pada Senin (06-05) lalu. Menurutnya, hadirnya AMPPY dalam audiensi tersebut seolah sudah memenuhi persyaratan pelibatan masyarakat. Nyatanya, perwakilan AMPPY tidak diberi ruang untuk berbicara. “AMPPY tidak diberi kesempatan untuk ngomong dan memberikan masukan, maupun menolak itu,” tutur Yuni.
Hal serupa juga disampaikan oleh Purnomo Sidi Tambi, anggota Sarang Lidi, yang ditolak saat ingin berbicara pada audiensi tersebut. Ia mengaku, tanggapannya dipotong oleh ketua Panitia Khusus (Pansus) Raperda saat ingin menyanggah akademisi yang menurutnya terlalu berpihak terhadap penerbitan Raperda dan tidak mendukung masukan dari masyarakat. “Saya ingin menanggapi dan akhirnya di-cut sama ketua Pansusnya,” jelas Purnomo. Menurutnya pula, alih-alih menerima masukan dan pertanyaan dari masyarakat, ketua Pansus hanya memberikan pemaparan dari narasumber lain seperti komite dan kepala sekolah.
Selanjutnya, Purnomo menjelaskan usulan yang tidak dapat ia sampaikan saat audiensi. Ia melihat pentingnya fungsi pengawasan dalam penyusunan Raperda tersebut. Menurutnya, pengawasan harus melibatkan pihak internal, eksternal, dan fungsional. Ia melihat bahwa hanya dua fungsi pengawasan yang sudah berjalan, yaitu internal oleh komite dan fungsional oleh pemerintah. Pihaknya ingin mengusulkan pengawasan eksternal oleh masyarakat untuk pelibatan publik. “Harus ada pengawasan dari aliansi masyarakat, yaitu eksternal,” ucap Purnomo.
Purnomo tak luput untuk menyampaikan surat penolakan dari Sarang Lidi dengan mengusulkan Raperda DIY BA 6 Tahun 2024 mengenai pedoman pendanaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31. Ia melanjutkan, sumbangan dan pungutan tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan bertentangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 yang melarang pungutan dalam lingkungan sekolah. “Jadi ini bentuk reaksi kami untuk melaporkan ke Kementerian Dalam Negeri,” lanjut Purnomo.
Muhammad Rakha Ramadhan dari LBH menyampaikan, upaya advokasi akan dilakukan dalam mengawal Raperda ini ke depan. Ia menuturkan bahwa akan dilakukan audiensi ke Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam waktu dekat. Surat penolakan juga sudah disiapkan untuk dikirimkan kepada Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Jangan sampai Raperda ini lolos menjadi Perda karena secara substansi sangat banyak permasalahan,” pungkasnya.
Penulis: Andreas Hanchel Parlindungan Sihombing
Penyunting: Fanni Calista
Fotografer: Cahya Saputra